TNI AL Tangkap Kapal Asal Thailand yang Diduga Lakukan Illegal Transhipment

Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut (TNI AL) menangkap satu kapal kargo Silver Sea 2 berbendera Thailand sekitar 80 mil laut dari Pulau Weh, Sabang, Aceh. Penangkapan kapal yang memuat hampir 2.000 ton berbagai jenis ikan tersebut dilakukan karena diduga melakukan illegal transhipment.

Panglima Komando Armada RI Kawasan Barat (Pangarmabar), Laksamana Muda TNI Taufiqurrahman, Jumat (14/8) menyebutkan, kapal Silver Sea 2 ditangkap oleh KRI Teuku Umar, Kamis (13/8) dini hari. “Kapal tersebut tidak memiliki Surat Izin Kapal Pengangkut/Pengumpul Ikan (SIKPI) dan bukan kapal penangkap ikan. Tapi, kapal yang menampung ikan dari kapal lain dan memiliki pendingin untuk menyimpan ikan. Saat ini, kapal berada di Dermaga TNI AL Sabang.”

Taufiqurrahman menjelaskan, penangkapan tersebut berawal dari informasi Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) kepada  Armada RI Kawasan Barat yang mengatakan ada dugaan bongkar muat ikan hasil tangkapan di Laut Arafuru. “Ini penangkapan terbesar yang pernah di lakukan dan kapal ini telah dicari selama seminggu. Awalnya, kapal terdeteksi di perairan Pulau Jawa, hendak ke Thailand. Informasi dari KKP juga menyebutkan, SIKPI kapal tersebut telah habis.”

Kapal milik Silver Sea Reefer Co. LTD yang beralamat di Bangkok, Thailand, dengan bobot 2.385 GT ini membawa 19 anak buah kapal dan mengangkut ikan campuran sebanyak 1.930 ton. Menurut Taufiqurrahman, KKP sudah tidak mengizinkan ikan yang ditangkap di perairan Indonesia langsung dibawa keluar negeri tanpa dibawa ke pelabuhan yang ada di Indonesia. Hal ini sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 57 Tahun 2014. “Kami hanya menangkap, setelah itu pemeriksaan dan lainnya akan dilakukan oleh KKP.”

Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti dalam pernyataannya menyebutkan kapal Silver Sea 2 diduga memuat atau menampung ikan hasil tangkapan dari perairan Indonesia. Bahkan, menurut Susi, Surat Izin Kapal Pengangkut Ikan (SIKPI) telah habis sejak Mei 2015 lalu. “KKP akan berkoordinasi dengan pemerintah Thailand agar perusahaan pemilik Silver Sea 2 dihukum berat,” ujar Susi.

Kapal Silver Sea 2 ini  tidak memiliki Surat Izin Kapal Pengangkut/Pengumpul Ikan (SIKPI) dan bukan kapal penangkap ikan. Foto: Junaidi Hanafiah
Kapal Silver Sea 2 ini tidak memiliki Surat Izin Kapal Pengangkut/Pengumpul Ikan (SIKPI) dan bukan kapal penangkap ikan. Kapal ini juga mengibarkan bendera Indonesia untuk mengelabui petugas. Foto: Junaidi Hanafiah

Terkait pencurian ikan, nelayan Aceh mengakui hingga saat ini masih ada kapal asing yang melakukan aksi tersebut di Selat Malaka maupun samudera Hindia. Untuk mengelabui petugas, kapal asing itu mengibarkan bendera merah putih dan memakai nama Indonesia.

“Mereka biasanya beroperasi malam hari. Nelayan lokal tidak berani mendekati karena kapal mereka lebih besar dan setiap mencuri ikan selalu berkelompok,” ungkap Mukhlis, nelayan Idi Rayeuk, Kabupaten Aceh Timur.

Pimpinan Adat Laut Aceh atau Panglima Laot, Teuku Bustamam mengatakan, pihaknya sangat berterima kasih kepada TNI AL dan KKP yang telah menangkap kapal kargo asing. “Nelayan tradisional di Aceh sangat ingin nakhoda dan ABK kapal tersebut di hukum seberat-beratnya. Hal yang sama juga harus dilakukan terhadap perusahaan pemilik kapal dan kapal tersebut juga harus dihancurkan.”

Bustamam mengaku, kapal-kapal pukat harimau yang berasal dari Thailand masih sering melakukan pencurian ikan di perairan Aceh.  Kapal tersebut bukan hanya menguras ikan, tapi juga merusak ekosistem laut seperti terumbu karang dan benih ikan. “Padahal, hukum adat di Aceh melarang nelayan menangkap ikan dengan pukat harimau karena merusak laut,” ungkapnya.

Anak buah kapal Silver Sea 2 yang ditangkap sekitar 80 mil laut dari Pulau Weh, Sabang, Aceh. Foto: Junaidi Hanafiah
Anak buah kapal Silver Sea 2 yang ditangkap sekitar 80 mil laut dari Pulau Weh, Sabang, Aceh. Foto: Junaidi Hanafiah

Modus

Modus kapal pencuri ikan asal Thailand yang menyaru sebagaimana kapal ikan Indonesia memang sudah dideteksi keberadaannya dan dibenarkan oleh Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan Dan Perikanan Asep Burhanudin. Menurutnya, desain kapal pencuri tersebut dibuat semirip mungkin. “Lebih rendah dan alat tangkapnya dibuat seakan sama, sehingga jika dilihat dari jauh tidak kentara sebagai kapal asing,” ujarnya di Pontianak, 8 Agustus lalu.

Asep menjelaskan, kapal asing tersebut kini coba mengelabui petugas dengan mengibarkan bendera merah putih dan menunggu di tepi luar batas laut Indonesia. Ketika gelap, mereka baru memasuki perairan untuk menghindari kapal patroli TNI AL, Bea cukai, Polisi, KKP, maupun nelayan setempat. “Biasanya, nelayan akan mengontak aparat jika melihat kapal asing, walau berbendera Indonesia.”

Asep mengungkapkan, Kapal Pengawas Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan kini bisa optimal melakukan pengawasan sumber daya laut Indonesia dengan dukungan bahan bakar yang maksimal. Kalau 2014 hanya bertahan 66 hari, kini bisa 360 hari dalam setahun. “Tetapi, saya tetapkan 280 hari saja agar para kapten kapal pengawas bisa bergantian istirahat.”

Saat ini, KKP mempunyai 27 unit kapal patroli perikanan. Namun jika dibandingkan dengan luas laut yang harus diawasi, jumlah tersebut masih kurang. Menurut Asep, KKP masih membutuhkan kapal patroli yang lebih besar dan kuat untuk menjalankan tugasnya. Untuk menyiasatinya, KKP meningkatkan sinergitas dengan institusi lain di bawah Badan Koordinasi Keamanan Laut Indonesia. “Ini harus dilakukan, mengingat potensi laut Indonesia yang melimpah. Sekitar 48 persen jenis ikan yang dikonsumsi masyarakat dunia, ada di perairan Indonesia,” ujarnya.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , ,