Berbagai cara terus dilakukan demi memperjuangkan masyarakat adat. Misalnya, mendorong undang-undang dan peraturan daerah yang terkait pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat terhadap calon kepala daerah.
Pemilihan kepala daerah secara serentak di Indonesia yang diperkirakan berlangsung pada Desember 2015, dimanfaatkan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Sumatera Selatan dengan membuat kontrak politik pada para calon kepala daerah. Kontrak politik itu isinya adalah jika terpilih menjadi kepala daerah akan menelurkan peraturan daerah mengenai pengakuan dan perlindungan masyarakat adat.
“Di Sumatera Selatan ada tujuh kabupaten yang melaksanakan pemilihan kepala daerah. Semua calon sudah kami kirim surat yang isinya menawarkan kontrak politik terkait masyarakat adat,” kata Rustandi Adriansyah, Ketua BPH AMAN Sumsel, Selasa (18/08/15). “Ada 21 pasangan calon yang kita tawarkan kontrak politik tersebut,” lanjut Rustandi yang akrab dipanggil “Boat”.
Adapun kabupaten yang akan melakukan pemilihan bupati pada Desember 2015 ini adalah Ogan Ilir, Ogan Komering Ulu (OKU), OKU Timur, OKU Selatan, Penukal Abab Lematang Ilir (PALI), Musirawas, dan Musirawas Utara.
Rencananya, pasangan calon yang bersedia melakukan kontrak politik, akan dipertemukan dalam sebuah kegiatan seminar pada Oktober 2015. “Saat kontrak politik tersebut dilakukan, kita juga sudah menyiapkan draf peraturan daerah mengenai pengakuan dan perlindungan masyarakat adat,” kata Rustandi.
Artinya, jika pasangan tersebut terpilih, mereka sudah memiliki draf dan naskah akademik yang ditawarkan AMAN Sumsel yang memperjuangkannya bersama koalisi lembaga non-pemerintah lain di Sumatera Selatan.
“Tidak ada alasan teknis lagi jika mereka terpilih,” ujarnya.
Mengenai naskah akademik peraturan daerah, AMAN Sumsel saat ini telah membentuk tim yang dipimpin Dr. Tarech Rasyid. “Pembuatan perda ini merupakan perwujudan dari partisipasi publik dalam melahirkan peraturan daerah,” kata Tarech, Rabu (19/08/15).
Terkait naskah akademik, Tarech menjelaskan tim yang dipimpinnya akan melakukan beberapa tahapan kerja. Pertama, akan melakukan penelitian apakah marga—sebagai payung hukum masyarakat adat di Sumatera Selatan—masih bertahan di masyarakat. Sebab dengan pencabutan pemerintahan marga tahun 1983 berdasarkan Keputusan Gubernur Sumatera Selatan Nomor 142/KPTS/III/1983 tentang Penghapusan Pemerintahan Marga, kemungkinan besar hukum adat sudah hilang atau tergantikan dengan pemerintahan desa. “Mungkin dari 170 marga hanya tersisa beberapa marga yang masih bertahan dengan hukum adatnya. Tapi asumsi ini harus dibuktikan melalui penelitian,” ujarnya.
Kedua, dibutuhkan adanya keinginan masyarakat tersebut untuk membentuk komunitas adat. Ketiga, selanjutnya dilakukan penyusunan naskah akademiknya.
“Prinsipnya peraturan daerah ini untuk menjamin kesejahteraan dan identitas masyarakat, khususnya yang hidup di sekitar hutan atau yang berada di pedalaman,” kata Tarech.
Bagaimana dengan pasangan yang tidak mau melakukan kontrak politik? “Kita tidak memaksa mereka. Kita hanya akan mengumumkan pasangan mana saja yang siap melakukan kontrak politik. Jika ada lima pasangan, itu artinya di Sumatera Selatan, hanya lima pasangan tersebut yang memiliki kepedulian terhadap persoalan masyarakat adat,” kata Rustandi, Ketua BPH AMAN Sumsel periode 2013-2018.
“Jika tidak ada pasangan yang bersedia. Itu pertanda partai politik di Indonesia gagal membina kadernya yang peduli dengan persoalan masyarakat adat. Selanjutnya. Penilaian diserahkan kepada masyarakat Indonesia,” paparnya.