,

KIARA: Membangun Kemaritiman itu Tak Melulu dengan Infrastruktur

Komitmen Pemerintah Indonesia untuk mewujudkan Indonesia menjadi negara maritim yang kuat, seharusnya bisa diimplementasikan dengan baik oleh semua sektor di lapangan. Salah satunya, oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) yang menjadi institusi sentral berkaitan dengan program Nawacita yang dideklarasikan oleh Presiden Joko Widodo.

Komitmen yang dimaksud, salah satunya bisa diwujudkan dengan mengalokasikan anggaran sebaik mungkin dari APBN. “Pemerintah melalui KKP seharusnya bisa melihat kondisi terkini berkaitan dengan dunia kelautan dan perikanan,” kata Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) Abdul Halim di Jakarta, Selasa (18/8/2015).

Dengan meningkatkan kepekaan, KKP seharusnya bisa memperbaikinya untuk penyaluran anggaran di tahun berikutnya. Menurut dia, cara tersebut bisa menjanjikan keberhasilan karena kebutuhan lebih dasar akan diperhatikan.

“Saat ini (2015), penyaluran anggaran dari KKP lebih banyak terserap untuk pembangunan infrastruktur. Itu seharusnya tidak boleh lagi ada di penyaluran anggaran tahun 2016,” tuturnya.

Untuk itu, Halim mengatakan, KKP mesti lebih selektif dan kreatif dalam melaksanakan penyaluran anggaran di tahun mendatang dengan tujuan lebih baik lagi. Termasuk, dengan melaksanakan pemberdayaan masyarakat di kawasan pesisir yang ada di Tanah Air.

“Apa yang menjadi kekurangan pada tahun ini jangan diulangi lagi di tahun mendatang. KKP bisa melakukannya asalkan dalam merencanakan program dilakukan dengan kreatif dan tidak monoton,” cetus dia.

Untuk tahun 2016 sendiri, Halim menjelaskan bahwa KKP mendapat alokasi anggaran lebih besar dibanding tahun 2015. Peningkatannya, mencapai angka Rp5 triliun atau menjadi Rp15 triliun untuk Rancangan APBN 2016.

“Namun sayang, kenaikan tersebut tercatat dialokasikan sebagian besar untuk pembangunan infrastruktur di sektor kelautan. Sementara untuk program pemberdayaan masyarakat seperti nelayan dan maritim belum ada,” jelas dia.

Padahal, Abdul menambahkan, dengan alokasi sebesar itu, seharusnya KKP bisa melaksanakan program pemberdayaan untuk nelayan. Misalnya, pengadaan rumah untuk nelayan yang jumlahnya saat ini mencapai 2,7 juta orang.

“Ini tinggal kemauan dari KKP saja. Jika itu tidak terjadi, tidak akan ada keharmonisan antara program Nawacita kemaritiman dan pelaksanaannya di lapangan. Sangat disayangkan,” tegas dia.

Nelayan mengangkat ikan hasil tangkapannya di Pelabuhan Ikan Melonguane, Kepulauan Talaud, Sulawesi Utara. Foto : Jay Fajar
Nelayan mengangkat ikan hasil tangkapannya di Pelabuhan Ikan Melonguane, Kepulauan Talaud, Sulawesi Utara. Foto : Jay Fajar

Seperti diketahui, dalam RAPBN 2016, kelompok bidang kemaritiman direncanakan mendapat alokasi anggaran sebesar Rp80,74 triliun atau lebih rendah 13,3 persen bila dibandingkan dengan APBNP tahun 2015 sebesar Rp93,16 triliun.

Daya Serap Anggaran Rendah

Akan tetapi, walau kelompok bidang kemaritiman, khususnya Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mendapat alokasi tambahan untuk RAPBN 2016, daya serap anggaran untuk tahun 2015 masih sangat rendah.

Menurut Halim, hingga semester I berakhir pada Juli 2015, serapan anggaran dari KKP baru mencapai 9,2 persen. Kondisi tersebut seharusnya tidak terulang lagi pada akhir semester II 2015.

“Sangat disayangkan jika itu terjadi. Walau setiap tahun memang selalu berakhir minus karena serapan anggaran yang rendah, namun ini harus diperbaiki karena RAPBN 2016 memiliki visi yang lebih jelas untuk poros maritim dunia,” jelas dia.

Salah satu strategi yang bisa diterapkan untuk menghindari terulangnya kembali daya serap rendah, bisa dilakukan dengan membuat program yang kreatif dan tidak hanya berfokus pada pembangunan infrastruktur saja.

Selain masalah tersebut, KIARA juga menyoroti tentang kebijakan Pemerintah dalam membuat setiap program. Belajar dari waktu sebelumnya, tambah Halim, sudah seharusnya setiap kebijakan anggaran yang dibuat jangan bentrok antara satu kementerian dengan kementerian yang lain.

Optimalkan Pendapatan Negara

Sementara itu Manajer Advokasi dan Investigasi Forum untuk Transparansi Anggaran (FITRA) Apung Widadi, mengatakan, walau terjadi kenaikan jumlah alokasi anggaran dalam RAPBN 2016, namun tidak ada yang signifikan karena pelaksanaannya tidak ada yang baru.

“Tidak terlihata ada upaya untuk mengoptimalkan pendapatan dan penangananan defisit yang terjadi hampir setiap tahun. Tidak terlihat juga bagaimana rencana detil untuk mengantisipasi jika terjadi krisis nantinya,” tutur dia.

Menurut Apung, secara umum, pendapatan negara pada RAPBN 2016 ditargetkan sebesar Rp1.848,1 triliun dan itu mengalami kenaikan Rp86,5 triliun dari APBNP 2015. Sedangkan, Penerimaan Negara Bukan Pajak dalam RAPBN 2016 ditetapkan sebesar Rp280 triliun atau naik Rp11 triliun dibanding APBNP 2015.

“Ini seharusnya tidak seperti itu. Pemerintah harus bisa meningkatkan sumber-sumber penerimaan negara dengan cara melakukan koreksi terhadap kebijakan perpajakan dan nonpajak. Misalnya, peningkatan pendapatan BUMN dan sumber daya alam,” papar dia.

Namun demikian, walau mendesak untuk menambah sumber-sumber penerimaan negara, namun Apung menegaskan bahwa Pemerintah jangan asal membuat program untuk menghadirkan sumber baru. Karena, jika itu terjadi maka akan terjadi kesalahan lagi.

Contoh nyata, menurut Apung, dalam program kemaritiman, pemerintah fokus untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir. Seharusnya, jika memang ingin mencapai target tersebut, Pemerintah fokus untuk membuat program pembangunan nyata.”Jangan sampai malah seperti dijual ke investor asing. Karena, misalnya jika anggarannya terbatas,” pungkas dia.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , , , , , ,