Majelis hakim yang diketuai Marsudin Nainggolan, menemukan fakta keterlibatan terdakwa, Soemiarto Budiman alias Abeng (61) sebagai orang yang bertanggungjawab. Dia berulang kali mengirimkan trenggiling ke sejumlah negara di Asia, seperti Malaysia, dan Tiongkok.
Abeng mengakui, ribuan trenggiling dikirim ke Malaysia dan Tiongkok. Pada 20 April 2015, setidaknya 400 kg lebih trenggiling dikirim ke luar negeri. Pada 22 April 2015, terdakwa melalui empat anak buah, mengirim 500 kg lebih trenggiling, ke Malaysia baik jalur laut maupun udara.
Ketika ditanya hakim siapa yang mengatur pengiriman di luar negeri, Abeng mengaku ada pria bernama Halim, berkewarganegaraan Malaysia.
Setelah barang dikirim, Halim menemui langsung di Medan, dan memberikan uang tunai. Uang itu upah kerja mencari dan mengirimkan satwa.
“Saya disuruh Halim. Itu punya dia, saya hanya menjalankan perintah mencari trenggiling, mencari pekerja, hingga membawa trenggiling.”
Sidang sempat memanas, karena majelis hakim kesal dengan penjelasan Abeng. Dia berbelit-belit dan selalu membantah semua isi dakwaan Jaksa Penuntut Umum.
Awalnya hakim menanyakan berapa kali mengirim trenggiling, terdakwa menyatakan tidak pernah. Setelah ditunjukkan bukti rekapan tulisan buku pengiriman, baru mengakui. Begitu juga ketika ditanya pencarian pekerja, terdakwa membantah. Ketika ditunjukkan berita acara pemeriksaan (BAP), baru mengaku. Atas keterangan berbelit-belit inilah, majelis hakim kesal.
“Anda saat ini sendiri. Anda yang menentukan soal memberatkan dan meringankan hukuman. Jadi bicara jujur. Jangan waktu ditunjukkan BAP baru mengakui. Jujur anda bicara,” kata Marsudin.
Sidang ini, JPU juga menghadirkan saksi ahli dari Balai Besar Konservasi Sumberdaya Alam (BBKSDA) Sumatera Utara, yaitu Markus Sianturi.
Dalam keterangan sidang Markus menjelaskan, berdasarkan UU Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya, trenggiling satwa dilindungi. Jadi, dipidana jika ada yang memelihara, menjual atau memperdagangkan baik hidup maupun mati.
Terkait trenggiling ini, ada dua perusahaan penangkaran, yaitu PT Heksa Putri Bahari di Pantai Cermin, Langkat, dan UD Multi Jaya Abadi di Kota Binjai. Namun izin sudah mati sejak 2012, hingga akan dipidana jika kedua perusahaan berusaha ilegal.
Sidang ditunda pekan depan, dengan agenda mendengarkan tuntutan tim JPU Kejaksaan Negeri Belawan.