,

Wisata Terumbu Karang Belum Dimanfaatkan Maksimal. Kenapa?

Kekayaan bahari di Indonesia hingga saat ini masih belum dimanfaatkan dengan maksimal. Pemanfaatan hanya untuk keperluan eksplorasi perikanan dan kelautan saja, khususnya untuk perikanan tangkap. Padahal, kekayaan bahari sebenarnya bisa dimanfaatkan untuk sektor lain, salah satunya adalah pariwisata.

Pariwisata bisa bergerak dengan leluasa untuk memanfaatkan keindahan alam beserta isinya yang ada di lautan luas. Di antara keindahan alam yang bisa dieksplorasi itu, adalah terumbu karang yang jumlahnya masih sangat banyak di Tanah Air.

Hal tersebut diakui sendiri oleh Direktur Jenderal Kelautan Pesisir, dan Pulau-pulau Kecil (P3K) Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Sudirman Saad di Jakarta, Kamis (20/08/2015). Menurutnya saat ini terumbu karang di Indonesia masih banyak yang belum dimanfaatkan untuk kepentingan pariwisata.

“Hanya di beberapa wilayah saja, terumbu karang sudah bisa dimanfaatkan dengan baik dan menghasilkan devisa negara. Namun, selebihnya masih banyak terumbu karang yang belum dimanfaatkan untuk pariwisata,” ucap Sudirman Saad kepada Mongabay di Hotel Pullman, Jakarta.

Namun, menurut Sudirman, walau layak untuk dimanfaatkan sektor pariwisata, pemanfaatan terumbu karang harus tetap memperhatikan ekosistemnya. Sehingga, kelestarian terumbu karang ke depan bisa tetap terjaga dengan baik.

Regional Business Forum

Untuk mengembangkan terumbu karang sebagai destinasi wisata, Pemerintah Indonesia menggandeng enam negara tetangga yang tergabung dalam Coral Triangle Forum (CTF) Indonesia, Filipina, Malaysia, Timor Leste, Papua Nugini, dan Kepulauan Solomon.  Diketahui, pada Segitiga Terumbu Karang Dunia (Coral Triangle) terdapat lebih dari 2.000 jenis  ikan  karang  dan  600  spesies  karang.

Menurut Deputi Bidang Pengembangan Destinasi dan Industri Pariwisata Kementerian Pariwisata Dadang Rizki, saat ini sumbangsih terumbu karang untuk sektor pariwisata masih sangat rendah. ”Pariwisata bahari baru menyumbang 10 persen saja untuk kunjungan wisatawan. Dari persentase tersebut, hanya 15 persen yang melakukan wisata terumbu karang,” ujarnya.

Dengan kondisi tersebut, Dadang melihat Indonesia masih tertinggal jauh dibandingkan negara tetangga dalam pengembangan pariwisata terumbu karang. Kondisi itu harus segera diperbaiki karena pada 2020 Indonesia menargetkan jumlah kunjungan wisatawan mancanegara mencapai 20 juta orang.

Untuk bisa menggapai target tersebut, salah satu cara yang dilakukan adalah Indonesia menggagas pertemuan 4th Coral Triangle Initiative on Coral Reefs, Fisheries and Food Security (CTI-CFF). Dari pertemuan yang akan digelar pada 27-29 Agustus mendatang di Nusa Dua, Bali itu, diharapkan ada hasil untuk mengembangkan pariwisata terumbu karang dengan tetap menjaga kelestariannya.

Acara CTI-CFF ke-4 bakal dihadiri Menteri Lingkungan dan Konservasi Papua Nugini dan Ketua Dewan Menteri CTI-CFF John Pundari, Menteri Pariwisata dan Budaya Malaysia Dato Seri Mohamed Nazri Abdul Aziz, Menteri Budaya dan Pariwisata Kepulauan Solomon Bartholomew Parapolo dan Duta Besar Amerika untuk Indonesia Robert Blake, serta Ketua  Dewan Pariwisata Berkelanjutan Dunia dan Penasehat UNWTO, Luigi  Cabrini.

Dalam siaran persnya, Luigi Cabrini mengatakan  kawasan  Segitiga  Karang  memiliki  sumber  daya  laut  yang  luar  biasa.  “Di  antaranya  termasuk atraksi-atraksi  unik  yang  harus  kita  jaga  bersama  untuk  generasi  mendatang.  Pendekatan  nilai sosial, ekonomi dan  keberlanjutan lingkungan sangat baik untuk diterapkan  karena  tidak  hanya memberikan  manfaat  bagi  komunitas  lokal  dan  upaya  konservasi  namun  juga  membuka kesempatan pemasaran lokasi-lokasi wisata di kawasan ini seiring meningkatnya minat turis untuk berlibur di kawasan wisata yang ramah lingkungan,” kata Cabrini.

Kekayaan terumbu karang di perairan Desa Tumbak, Minahasa Utara, Sulut. Foto Yoan Parizot
Kekayaan terumbu karang di perairan Desa Tumbak, Minahasa Utara, Sulut. Foto Yoan Parizot

Sedangkan Direktur  Eksekutif Sekretariat Regional CTI-CFF, Widi  A.  Pratikto  mengatakan kegiatan  tersebut menjadi ajang bertemunya seluruh pemangku  kepentingan  termasuk  dari  sektor  swasta,  komunitas,  pemerintah  dan  lembaga swadaya masyarakat. “Forum ini memberikan ruang untuk menegaskan komitmen mereka terhadap praktik  pariwisata  bahari  yang  berkelanjutan. Regional Business Forum juga menjadi ajang bagi negara-negara anggota Segitiga Karang untuk memasarkan lokasi wisata mereka sebagai tujuan wisata dunia,” katanya.

Data  dari  World  Travel  and  Tourism  Council  menunjukkan  bahawa  industri  perjalanan  dan pariwisata  di enam  negara kawasan  Segitiga Karang telah  memberikan  dampak ekonomi  yang signifikan. Di tahun 2014, industri ini berkontribusi sebesar 58 miliar USD terhadap GDP di enam negara serta telah menyediakan lapangan kerja kepada lebih dari 5 juta orang. Diperkirakan sekitar 3 miliar USD pendapatan pariwisata bahari di kawasan Segitiga Karang didapat dari pertukaran mata uang di area tersebut.

Akan tetapi, walau pertemuan tersebut baru akan digelar, namun Indonesia sudah menyadari ada salah satu faktor penghambat lambatnya pemanfaatan terumbu karang untuk pariwisata. Menurut Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman Safri Burhanuddin, faktor utama yang menghambat hingga saat ini adalah masalah infrastruktur.

“Kita ini masih belum punya infrastruktur memadai di wilayah-wilayah yang punya terumbu karang. Hanya di beberapa wilayah saja yang sudah ada. Karenanya, kita akan programkan untuk pembangunan bandara, jalan raya, jaringan telekomunikasi dan yang lain,” jelas Safri.

Berdasarkan data dari CTI-CFF, saat ini wilayah yang mengalami peningkatan kunjungan wisman ke pot terumbu karang, adalah di Taman Nasional Komodo; Raja Ampat, Papua Barat; Wakatobi, Sulawesi Barat; dan Sabang, Aceh.

“Pengelolaan bisnis pariwisata yang baik akan berdampak pada pelestarian di kawasan Segitiga Karang dan itu membantu 120 juta orang yang menggantungkan hidupnya dari ekosistem di laut,” ungkap Direktur Eksekutif Coral Triangle Center Rili Djohani.

Kondisi Faktual

Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mencatat, kondisi terumbu karang (coral reef) di Indonesia saat ini cukup memprihatinkan. Karena, dari semua wilayah perarian yang memilki terumbu karang, kondisinya saat ini banyak yang rusak.

Menurut LIPI, walau terus terjadi kerusakan, namun saat ini terumbu karang Indonesia tetap menjadi yang terkaya di dunia. Dengan luas 2,5 juta hektare, terumbu karang di Indonesia juga tercatat memiliki keragaman hayati tertinggi di dunia. Dari 750 jenis karang yang ada di Indonesia, LIPI mencatat seluruhnya merupakan bagian dari 75 marga terumbu karang dunia.

Terumbu Karang Kepulauan Komodo. Foto: Michael W. Ishak
Terumbu Karang Kepulauan Komodo. Foto: Michael W. Ishak

Selain mendominasi jenis terumbu karang di dunia, terumbu karang di Indonesia juga diketahui memiliki keanekaragaman hayati yang sangat tinggi. Itu diketahui dari keberadaan 2.500 jenis ikan, 590 jenis karang batu, 2.500 jenis moluska, dan 1.500 jenis udang-udangan.

Tidak cukup disitu, identitas terumbu karang Indonesia di dunia semakin dikenal karena keberadaannya menjadi bagian dari coral triangle atau segitiga karang dunia yang melipti enam negara, yakni Indonesia, Filipina, Malaysia, Timor Leste, Papua Nugini dan Kepulauan Solomon.

Di antara wilayah perairan yang memiliki terumbu karang banyak adalah Kepulauan Raja Ampat di Papua Barat. Menurut kajian ekologi yang dilakukan The Nature Conservancy (TNC) pada 2002, di perairan Raja Ampat terdapat sedikitnya 537 jenis karang dan 1074 jenis ikan. Catatan tersebut menasbihkan Raja Ampat menjadi kepulauan yang mengoleksi jenis terumbu karang terbanyak di dunia.

Selain Raja Ampat, wilayah lain di Indonesia yang dikenal karena reputasi terumbu karangnya, adalah Kepulauan Derawan (Kalimantan Timur), Pulau Banda (Maluku), Nusa Penida (Bali), Pulau Komodo (Nusa Tenggara Timur), Bunaken (Sulawesi Utara), Kepulauan Wakatobi (Sulawesi Tenggara), dan Teluk Cendrawasih (Papua).

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , , , , ,