,

Atasi Kekeringan dengan Nabung Air, Alat Ini Bisa jadi Jawaban

Beberapa wilayah di Indonesia, rawan kekeringan, terlebih memasuki musim kemarau, seperti tahun ini El-Nino diprediksi cukup panjang. Data BNPB, saat ini kemarau di Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara menyebabkan defisit air sekitar 20 miliar meter kubik. Kekeringan melanda 16 provinsi, meliputi 102 kabupaten/kota dan 721 kecamatan hingga akhir Juli 2015. Seluas 111.000 hektar lahan pertanian kekeringan.

BMKG dan beberapa lembaga meteorologi dunia menyatakan Indonesia mengalami El-Nino moderat, ada kecenderungan menguat hingga awal 2016. “Masalah utama situasi ini krisis air. Perilaku keseharian belum memanfaatkan dan mengelola air dengan bijaksana, termasuk menyiapkan perangkat kebijakan,” kata Agus Maryono, peneliti Universitas Gadjah Mada.

Indonesia, kala hujan banjir, kala kemarau, kekeringan. Untuk itu, penting menyiapkan langkah preventif dan kuratif. Preventif, katanya, pencegahan agar tahun depan tidak terjadi kekeringan, misal, budaya panen atau tampung air hujan. Bisa pula buat sumur resapan, embung atau telaga di setiap daerah.

Budaya menampung air hujan minim menyebabkan tidak ada cadangan air di masyarakat hingga kemarau berkepanjangan berakibat krisis air. Tindakan kuratif, dengan mencari sumber mata air di perkampungan, gali sungai kering, telaga, rawa, sumur kering diperbaiki. “Kalau digali, air akan terkumpul dan keluar lagi.”

Jadi, katanya, penerapan teknologi sederhana terkait pengelolaan air hujan melalui budaya gerakan TRAP (tampung, resapkan, alirkan, dan pelihara) harus menjadi gerakan bersama. Pola gerakan, bisa menjadi program jangka panjang, melalui perencanaan dengan koordinasi antarkementerian dan lembaga, hingga peran langsung masyarakat.

Agus sendiri memulai budaya TRAP di Yogyakarta. Dia membuat alat sederhana penampung air bernama rain filter, terdiri dari rangkaian pipa menuju ke bak penampung dan sumur resapan. Melalui rangkaian pipa  ini, air hujan yang masuk bisa tersaring dari debu dan kotoran. Jadi, yang masuk bak penampungan sudah air bersih. Bila bak penuh, air akan mengalir ke sumur resapan dan menjadi cadangan air tanah.

“Alat ini sangat sederhana. Buatnya mudah, siapa saja bisa, cocok dimana saja, desa maupun kota,” kata Agus.

Dia sudah meneliti kandungan fisika dan kimia air hujan tampungan ini. “Lebih jernih dari air PDAM, bisa langsung diminum kalau mau,” katanya sambil meminum air hujan sampel, hasil penelitian dia April lalu.  “Alat ini sudah diminati hingga Australia, Jerman, Singapura, Malaysia. Saya ingin budayakan di Indonesia.”

Di Indonesia, memanen air hujan merupakan budaya lokal. “Sudah ratusan tahun lalu tetapi sekarang mundur. Masyarakat malu, takut, atau gengsi, menampung air hujan, mengandalkan air PDAM.”

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , , , , ,