,

Hanya di Indonesia, Manusia dan Gajah Saling Memahami dengan Meriam Karbit (bagian – 2)

Syam selalu mengawali pelatihannya dengan penyampaian perilaku gajah. Ada peserta yang bertanya mengapa gajah tidak mau pindah dari satu kawasan meski sudah diusir berkali.

Menurut Syam, gajah butuh makanan hingga 200 kilogram per hari. Untuk mendapatkan makanan  mereka akan berpindah tempat. Semakin banyak makanan, semakin lama gajah akan bertahan. Gajah biasa bergerak mengikuti jalur tertentu yang sudah tetap. Jalur ini dibuat oleh generasi gajah sebelumnya dan diwariskan kepada keturunannya.

“Biasanya sering ada kasus, setelah dicek ada gajah yang terluka atau melahirkan, sehingga pergerakan kawanan gajah melambat karena menunggu kawannya yang berjalan lambat.”

Kata Syam, dari awal para petani harusnya sudah tahu konsekuensi membuka kebun di jalur gajah. “Saya tidak melihat siapa yang lebih dahulu ada di tempat itu, gajah atau manusia. Yang penting bagaimana ketika ada gajah, masyarakat tidak salah memperlakukan gajah yang bisa mengakibatkan gajah mati atau sebaliknya, manusia yang jadi korban. Dengan tahu perilaku gajah maka kita akan tahu bagaimana memperlakukan mereka saat pengusiran,” jelasnya.

Ini yang selalu diwanti-wanti Syam kepada setiap orang yang dilatihnya:

“Gajah itu punya kecepatan lari 60 kilometer per jam, jangan coba lomba lari dengan gajah!”

“Siapa bilang kalau dikejar gajah kita harus lari zig-zag karena gajah tidak bisa berbelok? Gajah bisa dengan cepat berbalik arah saat lari meski badannya besar.”

“Jangan bersembunyi di balik pohon saat mengusir gajah. Gajah harus tahu ada manusia di sekitarnya agar dia bisa berpikir ke arah mana yang paling aman dia lari.”

“Jangan mengusir gajah saat ada gajah jantan yang sedang birahi atau ada gajah betina yang baru punya bayi. Mereka akan sangat agresif dan bisa menyerang balik.”

“Mengusir gajah grup berbeda dengan gajah soliter. Untuk gajah grup cari siapa pimpinan kelompoknya, giring ke jalur jelajahnya maka semua anggota akan ikut. Kalau gajah soliter lebih rumit karena bandel.”

Syam akhirnya menemukan teori apa yang disebutnya berkomunikasi dengan gajah. “Prinsip pengusiran yang penting adalah bagaimana membangun komunikasi dengan gajah sehingga gajah paham apa yang kita inginkan.”

Meriam karbit sebagai alat komunikasi saling mengerti antara manusia dengan gajah. Foto: Chik Rini
Meriam karbit sebagai alat komunikasi saling mengerti antara manusia dengan gajah. Foto: Chik Rini

Inilah alat yang dipakai Syam untuk berkomunikasi dengan gajah: meriam karbit. Alat ini telah dipakainya sejak 10 tahun lalu di Riau dan kini sudah menyebar di banyak tempat di Sumatera dan Kalimantan, utamanya di tempat yang pernah dia latih. Pada pelatihan itu, semua peserta diajarkan membuat meriam karbit dan dilatih bagaimana menggunakannya.

Meriam itu terbuat dari pipa paralon sepanjang satu meter dengan ukuran diameter 3 inchi yang disambung dengan tabung besi  berukuran sama di bagian bawahnya. Tabung besi itu diisi air dan dimasukan potongan karbit sebesar jempol. Ketika api dihidupkan dekat lubang kecil di sisi tabung besi itu, maka akan ada ledakan.

Duuummmm!!! Suara ledakannya menggelegar ke udara. Yang tak biasa mendengar, jantung agar berdebar karena kaget.

“Setiap gajah mendengar bunyi meriam, itu adalah pesan kita untuk gajah, ‘Hai gajah, kamu harus menjauh dari suara ini’. Biasanya gajah akan merespon  dengan menjauhi suara karena pada dasarnya gajah tidak nyaman jika ada keramaian. Dengan cara itulah kita menggerakkan dia menuju tempat yang kita inginkan.”

Agar suara meriam bisa direspon gajah, jarak aman antara manusia dengan gajah yang dianjurkan adalah 50 – 100 meter. Jika konflik di suatu daerah cukup tinggi, 1-2 bulan gajah  akan paham bahwa suara itu ditujukan untuk dia. Tapi dengan syarat masyarakat  harus konsisten, meriam hanya boleh dihidupkan jika ada gajah.

“Jangan pernah hidupkan meriam jika tak ada gajah. Jangan pakai juga untuk mengusir babi atau monyet di kebun, apalagi untuk perang-perangan. Menurut penelitian  gajah akan tahu 2-5 kilometer dari tempatnya ada gajah atau tidak.”

Masyarakat harusnya paham, alat itu dipakai bukan untuk menakuti gajah. Tapi, untuk menanamkan di memori gajah, ketika ada suara dia harus menyingkir.

Syam menyarankan, di tiap kampung minimal ada 10 orang yang masuk tim pengusir gajah,  pimpinanannya orang yang paham teknis mengusir gajah. Semua harus patuh pada komando ketua tim. Saat melakukan penggiringan, mereka membentuk formasi huruf U dimana  satu sisi harus kosong sebagai ruang untuk gajah bergerak.

Yang boleh menghidupkan meriam adalah tim yang posisinya dibelakangi gajah. Jika gajah tiba-tiba berbelok ke kiri dan arahnya salah, tim di sebelah kanan yang harus menghidupkan meriam sambil berteriak membuat kegaduhan. Begitu juga sebaliknya. Ketika tim yang satu menghidupkan meriam dan bersorak-sorak, tim yang lain dilarang membuat kegaduhan agar gajah tidak bingung. Hal itu terus dilakukan sambil menggiring gajah bergerak menjauh.

Syam menyarankan, pengusiran gajah hanya dilakukan siang hari karena manusia akan lebih bisa menguasai keadaan. Sedang malam hari, tim diminta  bertahan di satu tempat aman untuk berjaga agar gajah tidak mendekat. Tim bisa menghidupkan api unggun sebagai penanda agar gajah jangan mendekat. “Dengan posisi ini, sekitar dua hingga tiga hari gajah sudah bisa digiring ke jalurnya.”

Empat gajah jinak di pintu gerbang Koridor Trumon, Aceh Selatan. Patroli pengamanan ini dibentuk guna menangani konflik manusia dengan satwa. Foto: Chik Rini

Sebelum menemukan meriam dengan spesifikasi ideal seperti sekarang, Syam dan tim sudah pernah menggunakan banyak alat mulai dari mercon, meriam dari tabung besi, meriam dari kaleng yang disambung sampai bola bakar yang  terbuat dari kotoran gajah, serbuk gergaji atau sekam padi, tepung kanji dan cabe busuk. Jika dibakar, asapnya akan memedihkan mata gajah sehingga akan menjauh. “Kami sudah menguji semua alat itu.”

Mercon adalah alat yang banyak dipakai di Sumatera. Sayang, harganya mahal dan tidak semua warga mampu membeli. Kelemahan mercon, ia sulit dikontrol. “Padahal, saat pengusiran gajah, kita ingin mengarahkan gajah pada jalur yang benar. Kalau gajah tiba-tiba salah arah, kita tidak bisa menghentikan suara mercon yang terlanjur menyala.”

Syam dan timm lalu membuat meriam dari kaleng yang disambung atau pakai pipa besi. “Karena menggunakan api, tidak tahan dipegang lama karena panas dan berat kalau dibawa.”

Akhirnya, Syam dan timnya menemukan desain meriam karbit seperti sekarang ini. Harganyanya murah,  gampang dibuat, dan mudah dibawa dalam setiap pengusiran. “Yang terpenting kita bisa kontrol suaranya, kapan mau dihidupkan, kapan tidak.”

Satu unit meriam hanya Rp 150 ribu dan bisa dipakai bertahun. Sementara harga karbit yang Rp 20 ribu per kilogram bisa dipakai berhari untuk pengusiran.

Meriam karbit untuk gajah ini hanya ada di Indonesia. Syam sudah pernah ke India untuk belajar mitigasi konflik gajah dengan manusia. Di sana, warga menggunakan mercon dan bom coklat. Mercon yang dibuat bulat sebesar bola pingpong, ada sumbunya, dimasukan dalam pipa besi saat hendak ditembakkan ke udara. Dan ini rumit pemakaiannya.

Syam mengatakan kepada peserta pelatihan, menggunakan meriam dan membentuk tim di kampung hanya salah satu cara untuk meminimalisir konflik. Alat ini tidak bisa bekerja sendirian. Warga juga perlu membuat menara pemantau di pintu masuk gajah di pinggiran hutan agar cepat merespon jika gajah mendekat. Juga, perlu membuat parit yang didesain khusus untuk gajah dengan kedalaman 5 meter yang landai di salah satu sisinya.

“Yang terpenting adalah manusia dan gajah harus hidup berdampingan. Berbagi ruang dan toleransi. Sehingga, manusia bisa berusaha di arealnya dan gajah bisa bergerak  untuk hidup menggunakan ruangnya.”

Pelatihan pengusiran gajah hari itu serasa latihan perang-perangan bagi peserta. Suara dentuman meriam yang bersahutan memecah keheningan Menderek yang berudara dingin. Kali ini, Syam membolehkan peserta menghidupkan meriam sepuasnya, menghabiskan stok karbit yang disediakan. “Semoga gajahnya paham kita sedang latihan,” selorohnya.

Tulisan sebelumnya dapat dibaca pada judul berikut:

Meriam Karbit yang Membuat Manusia dan Gajah Saling Mengerti (bagian – 1)

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,