,

Yuk, Napak Tilas Perjalanan Alfred Russel Wallace Melalui Karya Seni

Dua baju putih berkuran besar menggantung di ruang “Pameran 125.660 Spesimen Sejarah Alam” di Salihara, Jakarta Selatan. Baju pertama yang terbuat dari material kulit kayu itu tampak elok dengan aneka flora khas Indonesia. Ada anggrek, melati, hingga raflesia arnoldi. Lukisan makin memikat mata karena berpadu dengan berbagai warna kupu-kupu. Seolah, menggambarkan Indonesia masa lampau yang masih sangat terjaga keanekaragaman hayatinya.

Sementara baju kedua terbuat dari meterial dengan teknik digital printing. Hanya peta Indonesia yang diletakkan sporadis di situ. Jumlah kupu-kupu juga sedikit dan warnanya tidak variatif. Seolah, gambaran kondisi Indonesia saat ini.

“Saya terinspirasi dari peneliti dahulu yang menggambar flora fauna di Indonesia sangat detil,” kata Intan Prisanti, seniman yang menciptakan karya tersebut, Sabtu (15/8/15).

Intan terinspirasi saat mengunjungi Museum Zoologicum Bogoriense-LIPI (MZB-LIPI) yang banyak mengoleksi spesimen serangga. Setelah menimbang, pilihannya jatuh pada kupu-kupu. “Bila dilihat lebih teliti, antara kupu-kupu itu memiliki perbedaan bentuk dan warna. Makanya saya tertarik.”

Melalui karyanya, Intan ingin menggambarkan perjalanan Alfred Russel Wallace. Dulu, saat sang ilmuwan datang ke Kepulauan Nusantara (23 Januari 1854 – 1 Januari 1862), kupu-kupu mudah ditemui. Bentuknya juga beragam. Sekarang sungguh berbeda. “Melalui karya ini, saya berharap generasi muda lebih berminat meneliti keanekaragaman nusantara yang luar biasa ini.”

Intan Prisanti dengan karya kupu-kupu sebagai reflrksi perjalanan Alfred Russel Wallace. Foto: Rahmadi Rahmad
Intan Prisanti dengan karya kupu-kupu sebagai refleksi perjalanan Alfred Russel Wallace. Foto: Rahmadi Rahmad

Seniman lainnya adalah Ari Bayuaji. Foto yang dipajangnya berasal dari daerah terpencil Muntig Siokan, dekat Pantai Meetasari, Sanur, Bali yang diambil pada 2014. Subjeknya mengenai ranting pohon bakau yang penuh sampah plastik.

Ari menuturkan, dari kejauhan pemandangan di daerah itu bagai aneka burung yang bertengger. Saat didekati, ternyata gundukan sampah plastik yang nyangkut di ranting bakau. Namun, dalam foto itu masih terlihat juga pasir putih yang bersih dan halus. “Sampah plastik laut ini terbawa ombak saat pasang. Dari tahun ke tahun, jumlahnya semakin banyak.”

Lalu apa hubungannya dengan Wallace? Ari mengatakan, mungkin saat Wallace berkunjung ke daerah itu yang ia lihat memang burung. Bukan sampah plastik. Karena dulu Wallace memang banyak mengambil spesimen burung saat melakukan perjalanan di tanah air.

“Intinya, saya ingin menggugah kesadaran bersama. Kita sudah membuat polusi berlebihan dengan plastik. Sekarang, semua kemasan sudah didominasi plastik,” pungkas lelaki yang menetap di Kanada ini.

Ari Bayuaji yang menyajikan empat foto yang diambil dari Muntig Siokan, dekat Pantai Meetasari, Sanur, Bali. Foto: Rahmadi Rahmad
Ari Bayuaji yang menyajikan empat foto yang diambil dari Muntig Siokan, dekat Pantai Meetasari, Sanur, Bali. Foto: Rahmadi Rahmad

Lain halnya dengan Andreas Siagian. Ia menelusuri dokumentasi yang tersisa dari harimau jawa dan bali yang dinyatakan punah sebelum pertengahan abad ke-20. Dokumentasi yang ia dapat disusun semenarik mungkin agar dengan mudah dipelajari pengunjung.

“Saat itu kita masih dijajah Belanda dan teknologi pencitraan masih sedikit. Jadi, hanya sedikit dokumentasi yang ada. Saya berusaha mengumpulkan dan mempelajari sejarah dari jejak foto yang ada. Paling utama yang saya pelajari, penyebab kepunahannya karena perluasan wilayah untuk lahan yang merupakan daerah jelajahnya.”

Dokumentasi yang dikumpulkan Andreas berasal dari 1815 hingga 1975. Saat itu, pendudukan Jawa (1815) hanya 5 juta jiwa dan 12 persen hutan yang terbuka untuk lahan. Tapi, di 1975 melonjak 85 juta dengan tutupan hutan yang tersisa hanya 23 persen. “Harimau sumatera masih beruntung karena tutupan hutan masih ada, meski keberadaannya juga terancam.

Menurut Andreas, penyebab kepunahan harimau juga karena ada kepercayaan di masyarakat jawa yang menganggap organ tubuh harimau jawa bisa dijadikan jimat. Ini terbukti saat Wallace menginginkan spesimen harimau jawa, tapi gagal. Karena pada saat itu warga di Mojokerto memburu harimau dan mempreteli organnya untuk dijadikan jimat.

“Soal harimau, ditulis Wallace dalam bukunya Kepulauan Nusantara itu dua paragraf. Hanya itu yang saya lihat. Wallace lebih banyak bekerja di seputaran Sulawesi. Sedangkan harimau ada di Sumatera, Jawa dan Bali,” jelasnya.

Suasana ruangan Pameran 125.660 Spesimen Sejarah Alam yang digelar di Salihara mulai 15 Agustus – 15 September 2015. Foto: Rahmadi Rahmad
Suasana ruangan Pameran 125.660 Spesimen Sejarah Alam yang digelar di Salihara mulai 15 Agustus – 15 September 2015. Foto: Rahmadi Rahmad

Deputi Ilmu Pengetahuan Hayati LIPI Enny Sudarmonowati menuturkan, melalui pameran ia berharap gairah anak muda untuk melestarikan keanekaragaman hayati Indonesia meningkat. “Beberapa yang dipamerkan merupakan koleksi kami. Sementara kurator yang tergabung di pameran ini mencari objek yang sesuai dengan apa yang dideskripsikan oleh Wallace.”

Enny menjelaskan Museum Zoologicum Bogoriense masuk dalam sepuluh besar dunia. Koleksinya mencapai tiga juta spesimen. Sebagian besar merupakan jenis serangga, sama halnya dengan koleksi spesimen Wallace. “Intinya, kita ingin mendekatkan sains ke masyarakat. Dengan menunjukkan bahwa titik tolak teori evolusi alam sebagaimana teori Wallace dan Darwin berasal dari Nusantara.”

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , ,