Puluhan orang berkumpul di depan pintu berjeruji. Beberapa laki-laki berkemeja koko lengan panjang putih dan berkopiah. Mereka sibuk menyambut jabat tangan orang-orang yang datang. Ada anak, istri, keluarga, dan tetangga. Mereka dari Desa Glagah, Kecamatan Temon, Kulon Progo.
Wajah-wajah mereka terlihat murung. Ada yang berurai air mata. Ada yang menahan tangis. “Tenang wae, ini perjuangan,” kata Wasiyo (41) dari balik jeruji. Ada juga Saridjo (61), Wakidi (48), dan Tri Marsudi (35).
Mereka berada di situ gegara menyegel Kantor Desa Glagah 30 September 2014. Mereka bersama ratusan warga lain hanya ingin menanyakan kepada kepala desa rencana pembangunan bandara di pesisir selatan Kulon Progo.
Bandara ini memakan lahan sekitar 650 hektar yang bakal menggusur lahan pertanian, rumah-rumah, dan tempat usaha mereka. Bukan jawaban didapat, melainkan menjadi tersangka.
Selain Saridjo, ketiganya didakwa melanggar Pasal 170 KUHP tentang pengrusakan bersama-sama. Sedangkan Saridjo dituding menghasut massa hingga dikenai Pasal 160 KUHP. Mereka terancam hukuman lebih lima tahun penjara. Alhasil, walau tanpa bukti kuat mejelis hakim menjatuhkan hukuman empat bulan kepada mereka berempat. Kini, mereka sudah bebas.
Martono, Ketua Wahana Tri Tunggal (WTT) mengatakan, perjuangan rakyat mempertahankan lahan pertanian produktif tak menjadi bandara baru di Temon berdampak kriminalisasi.
Ini satu cara penguasa melemahkan gerakan perjuangan rakyat menggagalkan proyek bandara baru,” katanya.
Pembangunan ini, katanya, berawal kesepahaman antara pemerintah Indonesia, diwakili Angkasa Pura I dengan investor India GVK Power & Infrastructure pada 25 Januari 2011 di India. Kerja sama itu berbentuk perusahaan patungan (joint venture) dengan masing-masing pihak memiliki hak atas kepemilikan saham, dengan dana US$500 juta.
Setelah ada rencana ini, konflik horizontal muncul. Sebelum ini, warga hidup damai. Sejak 2012, masyarakat Pesisir Temon terdiri enam desa, seperti Desa Glagah, Palihan, Sindutan, Jangkaran, Kebonrejo, dan Temon Kulon, berjuang mempertahankan lahan mereka.
“Pembangunan bandara akan menggusur lahan produktif petani, pemukiman, cagar budaya, tempat ibadah, sekolahan, sawah, sampai tempat usaha.”
Menggugat izin bandara
Pada 23 Juni 2015, warga sedikit bernapas lega. Gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Yogyakarta membuat hasil manis. PTUN membatalkan Surat Keputusan Gubernur Yogyakarta Nomor: 68/KEP/2015 soal penetapan lokasi pembangunan pengembangan bandara baru di Yogyakarta.
Petani yang hadir di pengadilan sewaktu bersorak girang. Mereka sujud syukur. Majelis Hakim PTUN Yogyakarta diketuai Indah Tri Haryanti dengan hakim anggota Sarjoko dan Umar Dani, membatalkan izin penetapan lokasi.
Izin itu dinilai bertentangan dengan RTRW) Yogjakarta 2009-2029. Perda RTRW sama sekali tidak menyebut rencana pembangunan bandara Kulon Progo. Aturan itu juga tidak menyebut rencana pemindahan Bandara Adisutjipto ke tempat lain hingga 2029.
Namun pemerintah Yogyakarta mengajukan banding. Sikap ini disesalkan petani. Yogi Zul Fadli dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta, kuasa hukum petani mengatakan, majelis hakim memberi pertimbangan hukum sangat baik, akurat dan benar. Rencana pembangunan bandara di Temon ini menyalahi aturan RTRW. “Pemerintah DIY tidak patuh aturan ini, tetap nekad terbitkan surat keputusan penetapan lokasi pembangunan bandara baru.”
Parahnya, penetapan lokasi pembangunan dilandaskan Peraturan Daerah RTRW Kulon Progo 2012-2032. Perda kabupaten ini diragukan karena tidak klop dengan peraturan perundang-undangan lebih tinggi. Majelis hakim PTUN, dalam pertimbangan putusan mengesampingkan daya berlaku perda ini.
Kini, pemerintah Yogjakarta, akan upaya hukum lagi dan berencana merevisi Perda RTRW. “Hanya bikin petani makmur susah, tidak nyaman bekerja, gelisah akan kehilangan mata pencaharian.”
Gugat Perda RTRW
Kepala Biro Hukum Sekretariat Daerah Yogyakarta, Dewa Isnu Broto mengatakan, dengan putusan PTUN Yogyakarta, pengadaan tanah Bandara Kulon Progo berhenti sementara. “Sembari menunggu upaya hukum lanjutan pemerintah.”
Namun Dewa meyakini rencana ini tak menyalahi RTRW.
“Perda RTRW mengamanatkan pengembangan Bandara Adisutjipto tidak harus (berlokasi sama) di Adisutjipto (bandara yang sekarang), bisa di daerah lain, misal, Kulon Progo,” katanya.
Rencana pembangunan bandara disusun sejak beberapa tahun lalu. Pada 31 Maret 2015, Gubernur Sultan Hamengku Bawono X menerbitkan izin di Kulon Progo.
Pada Rabu (19/8/15) seratusan petani mewakili lima desa terdampak berangkat ke Mahkamah Agung di Jakarta Pusat, menggugat Perda RTRW Kulon Progo.
“Keberangkatan para petani mempertahankan hak ladang penghidupan. Bukan semata-mata kepentingan petani, juga ikhtiar kemaslahatan umat dari pedesaan hingga perkotaan di Yogyakarta,” kata Martono.
Kala pembangunan bandara batal, katanya, lumbung pangan tetap terjaga. Sebab di Temon, hasil tani melimpah.
“Mestinya pemerintah DIY mendengarkan tulus para petani. Apalagi terbukti di persidangan di PTUN Yogyakarta seluruh keberatan warga dikabulkan,” kata Yogi.