,

Harapan dan Kecemasan Masyarakat Adat Benakat terhadap Hutan Rimbo Sekampung (bagian – 3)

Kepado penunggu tanah-tani di sini, kami numpang beumoh (berkebun) untuk nanam padi. Jangan saling ganggu. Ini kami bawo punar (hidangan atau sesajen) dengan telok masak. Kami lepas, selako (manik-manik berwarna putih) di luao (luar), emas di dalam. Kami minta kagek (nanti) selamo kami belayar (pergi), tiga bulan sepuluh hari, kami minta emas di luao selako di dalam. Minta supayo kami sekeluarga selamat.”

Itulah doa yang dibacakan masyarakat adat Marga Benakat, Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan, sebelum melakukan penanaman padi di ladang. Tujuan dari doa tersebut, agar makhluk ciptaan Tuhan yang bertugas menjaga bumi, akan memberikan rezeki dan menjaga keselamatan mereka saat berkebun.

Sebelum memanjatkan doa, warga meletakkan hidangan berupa sepiring nasi ketan bersama rebusan telur ayam, kelapa, dengan hiasan tiang njulung. Hidangan ini diletakan dekat tunggul kayu atau pohon yang berada di tengah kebun.

Telur ayam rebus merupakan simbol. Artinya, mereka menghidangkan telur yang putihnya di luar dan kuningnya di dalam, setelah tiga bulan sepuluh hari atau saat padi siap panen. Mereka berharap mendapatkan padi yang berisi, dengan simbol putih di dalam dan kuning di luar.

“Tradisi ini sudah berlangsung jauh sebelum ajaran agama masuk ke Marga Benakat, yang terus dilakukan hingga saat ini. Setelah masuknya ajaran agama, doa tersebut dimulai dengan doa menurut ajaran agama,” kata Sodri (70), salah seorang Marga Benakat yang menetap di Desa Padangbindu, Senin (24/08/15).

Untuk tradisi untuk membuka lahan untuk berkebun, Marga Benakat juga tidak sembarang membuka lahan atau hutan.

“Saat saya kecil, sekitar tahun 1957 atau 1958, saya diajak ayah ke hutan Rimbo Sekampung. Niat ayah ingin membuka kebun. Tapi dia ingin memastikan mana lokasi yang diperbolehkan dijadikan kebun, dan mana yang dilarang,” kata Sodri.

Cara untuk memastikan hal tersebut, orang tua Sodri membawa segenggam tanah dari lokasi yang akan dijadikan kebun. Tanah tersebut dibungkus kemudian diletakan di bawah bantal saat orangtuanya hendak tidur.

“Dia pun bermimpi. Dia didatangi seseorang dengan menjelaskan tanda batas wilayah yang boleh dijadikan kebun,” katanya.

Besoknya Sodri diajak kembali. Dan benar, ayahnya menunjukan beberapa tanda atau batas lahan yang diperbolehkan dijadikan kebun. “Tandanya berupa anak kayu yang dipatahkan. Batas wilayahnya seperti habis dilewati gajah. Benar-benar terkotak jika kita melihatnya dari atas,” ujar Sodri.

Apakah tradisi ini masih bertahan? “Tidak lagi. Sebab tidak ada hutan lagi. Semuanya sudah menjadi lahan perkebunan sawit dan hutan tanaman industri (HTI), atau kebun karet dan buahan milik masyarakat.

Rimbo Sekampung sekarang merupakan hutan larangan yang ditetapkan berdasarkan petunjuk mimpi yang didapatkan para leluhur Marga Benakat. Artinya, Rimbo Sekampung yang ada sekarang tidak diperbolehkan dijadikan kebun, termasuk dirusak,” katanya.

Noviansyah, Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kabupaten Muara Enim, menjelaskan Rimbo Sekampung itu merupakan hutan adat milik Marga Benakat. Ditetapkan pemerintahan Belanda, tepatnya pada 1932 oleh de Opzicter Bijhet Boscwesen. Hutan ini dijadikan tiga lapisan.

Pertama, hutan yang boleh dijadikan kebun oleh masyarakat. Kedua, wilayah hutan yang dapat diperbolehkan anggota marga mengambil hasilnya, misalnya buahan, kayu, dan lainnya. Ketiga, hutan yang benar-benar tidak diperbolehkan diganggu.

“Persoalannya, hutan yang diperbolehkan dijadikan kebun oleh Marga Benakat sudah habis diambil perusahaan perkebunan dan HTI. Baik yang dijual secara sadar, maupun diambil secara paksa dengan ganti rugi yang tidak memadai,” ujarnya.

Kandungan batubara di dasar dan tepi Sungai Baung. Foto: Taufik Wijaya
Kandungan batubara di dasar dan tepi Sungai Baung. Foto: Taufik Wijaya

Ekonomi masyarakat adat

Apa keuntungan masyarakat adat terhadap Rimbo Sekampung?

“Pertanyaan apakah keuntungan hutan Rimbo Sekampung terhadap masyarakat adat marga Benakat pada saat ini, merupakan pertanyaan yang disampaikan berbagai pihak yang kami nilai ingin merusak hutan tersebut. Padahal begitu banyak keuntungan marga Benakat dengan adanya Rimbo Sekampung,” kata Rustandi Adriansyah, Ketua BPH AMAN Sumatera Selatan.

Pertama, jelas menjadi daerah resapan air untuk Sungai Benakat dan sumber air bersih bagi masyarakat. Kedua, sumber pemenuhan kebutuhan pangan dan sandang masyarakat. Baik berupa kayu bagi keluarga yang baru menikah untuk membangun rumah, hasil buah-buahan, serta untuk obat-obat tradisional,” kata Rustandi.

“Sebagai sumber pendapatan ekonomi, berupa penghasilan yang terukur setiap bulan, seperti hasil dari berkebun karet, memang belum terasa atau terlihat. Oleh karena itu, AMAN berusaha mendorongnya,” ujar Rustandi.

Keanekaragaman hayati di Rimbo Sekampung juga merupakan potensi wisata alam. “Terus-terang, mencari hutan yang kaya dengan tumbuhan dan hewan di Sumatera Selatan ini cukup sulit,” ujarnya.

Sodri pun menimpali. “Jika memang ada penghasilan yang jelas dari keberadaan Rimbo Sekampung, saya sangat yakin Marga Benakat akan sekuat tenaga menjaga hutan tersebut. Godaan dan juga kemiskinan karena telah kehilangan kebun, membuat sebagian masyarakat malas untuk menjaga hutannya.”

Sebagai informasi, sebagian besar Marga Benakat mendapatkan penghasilan dari berkebun karet dan buah-buahan, serta menjadi buruh dari perkebunan sawit. “Jika memiliki kebun, penghasilan per bulan Rp 3-4 juta. Sementara yang menjadi buruh perkebunan sekitar 2,5 juta rupiah per bulan. Dengan kondisi kebutuhan saat ini, jelas kehidupan kami tidak layak. Rumah-rumah besar saat ini merupakan sisa dari masa lalu. Miskin terselubung,” kata Noviansyah.

Batas hutan Rimbo Sekampung dengan kebun masyarakat yang dipisahkan oleh Sungai Baung. Foto: Taufik Wijaya
Batas hutan Rimbo Sekampung dengan kebun masyarakat yang dipisahkan oleh Sungai Baung. Foto: Taufik Wijaya

Ancaman batubara dan minyak bumi

Deddy Tumenggung, pemangku adat Marga Benakat, mengharapkan adanya langkah nyata dalam pemberdayaan ekonomi masyarakat adat marga Benakat.

“Satu hal yang kami cemaskan saat ini, ada beberapa pihak yang masuk dan mungkin melakukan penelitian di Rimbo Sekampung soal kandungan batubara dan minyak bumi. Saat kami survei, memang kami temukan potensi batubara. Misalnya di Sungai Baung yang bongkahan batubara memenuhi badan sungai tersebut,” kata Deddy.

“Potensi ini yang menurut kami menjadi ancaman. Bukan tidak mungkin pemerintah nantinya menetapkan kawasan tersebut sebagai kawasan hutan produksi,” ujarnya.

“Soal perambahan di hutan, itu persoalan kecil. Sebab jika kami rajin ke hutan, para perambah tersebut takut. Tapi jika kebijakan pemerintah menetapkan kawasan itu menjadi hutan produksi, habislah kami. Satu-satunya jalan, selain kami berjuang, pemerintahan Jokowi-JK juga harus memperhatikan dan melindungi hutan Rimbo Sekampung ini,” kata Deddy.

Sebaran marga yang ada di Sumatera Selatan. Sumber: AMAN Sumsel

 

Tulisan sebelumnya dapat dibaca pada judul berikut:

Di Hutan Adat Marga Benakat, Jejak Gajah dan Harimau Masih Ditemukan (bagian – 2)

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , ,