,

Mengagumi Krakatau yang Selalu Memukau

“Itu Krakatau,” ucap semangat Tukirin Partomihardjo, menunjuk gugusan pulau yang makin lama makin terlihat wujudnya. Ada Rakata, Panjang, Sertung, dan Anak Krakatau. Gugusan pulau-pulau yang berdiri tegak menantang Selat Sunda inilah yang dinamakan Krakatau.

Awalnya, Krakatau merupakan gunung api purba yang tingginya tiga ribu meter dengan diameter sekitar 11 kilometer. Akibat letusan tiada tara masa prasejarah itu, Krakatau Purba musnah. Dampak erupsi mahadahsyat yang tidak tercatat sejarah itu pula, memunculkan tiga kepundan aktif yang disebut Danan, Perbuatan, dan Rakata. Tiga kepundan ini selanjutnya bergerak menyatu, membentuk satu pulau memanjang.

Tahun 1883, sejarah mencatat tanggal 26-27 Agustus, letusan mahadahsyat kembali terjadi yang kali ini melenyapkan puncak Danan dan Perbuatan serta dua per tiga Rakata. Letusan luar biasa yang dibarengi awan panas dan gelombang tsunami itu merenggut 36 ribu penduduk yang berada di sepanjang pesisir Selat Sunda. Suara letusannya terdengar hingga Alice Springs (Australia), India, dan Pulau Rodrigues yang tidak jauh dari Afrika. Sementara, gelombang pasangnya terdeteksi hingga Kagoshima, Jepang.

Dunia menjadi saksi, letusan Krakatau ini menyebabkan apa yang kita namakan sekarang perubahan iklim global. Dua setengah hari bumi gelap akibat debu yang berhamburan di angkasa menutupi atmosfer. Mentari yang perkasa memancarkan sinar, tak kuasa menembus pekatnya debu vulkanik. Hanya cahaya redup terasa yang diperkirakan berlangsung hingga setahun setelah letusan.

Sekitar 1930, terbentuklah daratan yang diberi nama Anak Krakatau. Daratan baru ini terus bertambah luas dan tinggi seiring aktivitas vulkanik. Sekarang, ketinggiannya sudah mencapai 450 meter dengan garis tengahnya sekitar tiga kilometer.

Penampakan Anak Krakatau yang lebih dekat. Foto: Ridzki R. Sigit
Penampakan Anak Krakatau yang lebih dekat. Foto: Ridzki R. Sigit

Itulah obrolan penuh makna yang saya dapat dari Tukirin, peneliti yang sudah wara-wiri menyibak fenomena Krakatau sejak 1981. Menurutnya, setiap kali datang ke Krakatau, akan ada hal baru yang ia temukan. Tidak hanya soal vegetasi tanaman, tetapi yang paling menarik adalah pertumbuhan Anak Krakatau itu sendiri. Wah.

Perihal morfologi Anak Krakatau, tepatnya. Karena gunung ini aktif, setiap tahunnya akan ada letusan. Otomatis, material yang keluar juga terus bertambah. Dengan begitu, penelitian mengenai kerusakan, lemparan magma, pertambahan ketinggian gunung, hingga tumbuh kembang tumbuhan yang ada terus diperluas.

Saya sempat bertanya pada profesor ini, apa yang membuat Krakatau serasa istimewa dibanding Tambora atau Toba?  Ya, Krakatau merupakan pulau gunung berapi alias gunung berapi yang berbentuk pulau. Bila Krakatau meletus, kiamatlah semua. Tiada kehidupan apapun, tumbuhan, hewan, dan manusia akan lenyap tak tersisa. “Ini yang membedakan dengan gunung lainnya, termasuk Tambora,” jawabnya mantab.

Hal memukau lain dari Krakatau menurut Tukirin adalah segala yang terjadi di komplek Krakatau berdasarkan percobaan alam. Semua didesain oleh alam, tanpa campur tangan manusia. Konkritnya, setiap kali terjadi letusan besar, vegetasi yang ada di Anak Krakatau, Sertung, dan Panjang akan rusak. Akan tetapi, Rakata justru tidak tersentuh sama sekali dampak dari letusan Anak Krakatau yang aktif ini.

Pastinya, pengetahuan perkembangan vegetasi atau suksesi di Krakatau sangat unik. Krakatau yang terisolir laut, membuat proses suksesinya hanya bisa dilakukan melalui udara dan laut, tidak bisa melalui darat. Sehingga, tumbuhan dan binatang yang sampai di sini memang terbatas. “Kita sangat beruntung bisa membandingkan empat pulau ini pada tahapan suksesi berbeda yang dilakukan alam. Hanya ada di Krakatau, tidak ada tempat lain di dunia.”

Perlahan, speedboat yang membawa kami mengarungi Selat Sunda sekitar 90 menit dari Carita, Banten merapat ke Anak Krakatau. Percakapan keagungan Krakatau kami jeda sejenak. Tanpa buang waktu, kami bergegas, berjalan secepat mungkin menuju kepundan Anak Krakatau yang sedari tadi telah menanti.

Jalur perjalanan menuju Anak Krakatau. Foto: Rahmadi Rahmad
Jalur perjalanan menuju puncak Anak Krakatau. Foto: Rahmadi Rahmad
Jalan berpasir dan menanjak yang disertai suhu panas merupakan kondisi yang harus dilalui menuju puncak Anak Krakatau. Foto: Rahmadi Rahmad
Jalan berpasir dan menanjak yang disertai suhu panas merupakan kondisi yang harus dilalui menuju puncak Anak Krakatau. Foto: Rahmadi Rahmad

Sembari berjalan, Tukirin kembali menjelaskan apa saja yang ada di wilayah berstatus cagar alam ini. Sang master Krakatau tak ingin kami hanya sekadar mendaki gunung, merasakan panas, atau melihat bekas erupsi tanpa mengerti informasi apa yang disediakan alam. 

Menurut peneliti senior dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia ini, enam bulan pasca-letusan Krakatau, sudah ada riset yang dilakukan. Ini menunjukkan bila Krakatau memang paling lengkap informasinya, bahkan untuk ukuran sains tingkat dunia. Datanya terekam dari awal, sehingga untuk suksesi akan diketahui apa saja yang ada dan bagaimana perkembangannya. “Anak Krakatau yang kita jelajah ini, dinamakan within model atau model dalam model, yang berarti munculnya Anak Krakatau memberi kesempatan para ahli untuk mempelajari kejadian dari awal lagi.”

Apakah contoh yang terekam? Penelitian Anak Krakatau pada 1927 menyatakan, ada daratan permanen yang ditumbuhi tanaman seperti keben (Barringtonia asiatica), ketapang (Terminalia catappa), cemara laut (Casuarina), dan katang-katang (Ipomoea pescaprae). Inilah tumbuhan awal yang dijumpai di tepi pantai.

Uniknya, setiap kali terjadi erupsi, yang pertama kali muncul adalah jenis-jenis tersebut. Dari pantai, setelah vegetasinya terbentuk, baru selanjutnya merambat ke wilayah dalam yang ditandai dengan tumbuhnya rerumputan dan harendong. Sementara, alang-alang dan gelagah yang tumbuh diterbangkan oleh angin yang terlihat jelas di bagian atas Anak Krakatau.

Namun begitu, menurut Tukirin, tumbuhan yang ada di komplek Krakatau ini berbeda. Meski awalnya sama, yang dimulai oleh cemara laut, gelagah, dan harendong, akan tetapi nantinya akan ada pepohonan yang digantikan oleh jenis ficus (bangsa ara). Setelah jenis ara mati, yang tumbuh selanjutnya adalah jenis pepohonan yang lebih tahan lama seperti kedoya atau cangcaratan (Nauclea subdica).

“Ini yang dinamakan suksesi pergantian kehidupan. Kita terkadang tidak mau belajar dari alam. Dari suksesi ini kita bisa mengambil ilmu bagaimana cara menjaga kawasan konservasi atau merestorasi sebuah kawasan bekas tambang.”

Pemandangan sekitar yang terlihat dari Anak Krakatau. Foto: Rahmadi Rahmad
Pemandangan sekitar yang terlihat dari puncak pertama Anak Krakatau. Foto: Rahmadi Rahmad
Dari puncak pertama Anak Krakatau, pemandangan sekeliling akan terlihat mengesankan. Foto: Ridzki R. Sigit
Dari puncak pertama Anak Krakatau, pemandangan sekeliling akan terlihat mengesankan. Foto: Ridzki R. Sigit

M. Ikbal, Koordinator Krakatau Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Lampung, menuturkan bahwa kawasan Krakatau memang tidak hanya penting sebagai aset nasional yang harus dijaga. Tetapi juga, penting bagi penelitian dan perkembangan ilmu pengetahuan yang bukan hanya orang Indonesia yang melakukan riset tetapi juga dari negara luar. “Apapun yang ada di Krakatau ini terus kami jaga. Jangan sampai ada yang merusak baik itu dari pengunjung, terlebih ada yang coba-coba mencuri.”

Apa saja kekayaan hayati yang ada di Krakatau ini? Berdasarkan catatan BKSDA Lampung, untuk flora ada sekitar 257 tumbuhan berbiji, 206 jamur, 61 paku-pakuan, dan 13 lumut kerak. Sedangkan fauna ada tikus, kalong, reptil (biawak, ular), dan burung yang mencapai 40 jenis seperti alap-alap macan, bubut alang-alang, dan burung-madu sriganti.

Perjalanan menuju puncak kedua Anak Krakatau yang begitu menantang. Foto: Rahmadi Rahmad
Perjalanan menuju puncak kedua Anak Krakatau yang begitu menantang. Foto: Rahmadi Rahmad
Tukirin Partomihardjo yang merupakan ahli Krakatau ini merupakan sosok yang paham betul perkembangan Krakatau sejak 1981. Foto: Rahmadi Rahmad
Tukirin Partomihardjo yang merupakan ahli Krakatau ini merupakan sosok yang paham betul perkembangan Krakatau sejak 1981. Foto: Rahmadi Rahmad

Di puncak pertama Anak Krakatau kami berhenti. Meski ketinggiannya hanya 150 meter, namun saya sempat kesulitan untuk menapakinya. Suhu panas yang mencapai 50 derajat Celcius sudah pasti ujian pertama yang harus dilewati. Lalu, pasir bercampur kerikil kecil yang panas adalah rintangan yang tidak mudah ditaklukkan. Salah melangkah, kaki akan terbenam. Meski hanya semata kaki, namun rasa panasnya akan sungguh terasa.

Di puncak ini, kembali Tukirin memberi wejangan. Menurutnya, pada 1881, puncak yang kami pijak ini merupakan kawah yang selanjutnya berkembang menjadi puncak kedua Anak Krakatau yang sekarang tingginya sudah mencapai 450 meter. Meski begitu, suhu di kedalaman kepundan pertama ini dalam setiap satu meter ke bawahnya berkisar 70 derajat Celcius, dan akan terus bertambah. “Itulah mengapa seismograf atau alat pencatat gempa tidak bisa ditancap lebih dalam lagi. Pastinya juga, kedalaman bawahnya bisa mencapai ratusan kilometer yang kita tidak tahu kapan meletus.”

Muntahan erupsi Anak Krakatau tahun 2012 yang kini mulai mengeras. Foto: Rahmadi Rahmad
Muntahan erupsi Anak Krakatau tahun 2012 yang kini mulai mengeras. Foto: Rahmadi Rahmad
Arang kayu yang diduga terbentuk akibat erupsi 1883 yang berada di Pulau Rakata. Foto: Rahmadi Rahmad
Arang kayu yang diduga terbentuk akibat erupsi 1883 yang berada di Pulau Rakata. Foto: Rahmadi Rahmad

Bagaimana dengan puncak kedua? “Ayo kita lihat,” tantang Tukirin. Saya hanya tertegun tanpa bisa melangkah bahkan menyusul lelaki 63 tahun itu yang terus mendaki tanpa terlihat lelah. Kaki dan tangan saya sudah tak kuasa bergerak, melewati bebatuan yang mulai terjal dan mudah runtuh.

Hal yang berbeda dengan tangan Tukirin yang terus mengayun ke depan, mencengkeram pasir panas dan bebatuan bercampur kerikil tajam yang merupakan lapisan teratas permukaan. Kakinya pun tetap melangkah, menjejak tanpa gontai menuju puncak tertinggi Anak Krakatau.

Pastinya saya dan rekan yang ikut perjalanan ini kecewa, karena tidak bisa mendaki puncak kedua Anak Krakatau. Atau setidaknya menapaki puncak Anak Krakatau ini lebih tinggi. Namun begitu, sebelumnya, Tukirin telah berjanji, akan membawa kami menyaksikan keindahan Krakatau dari sisi yang berbeda, yaitu, melihat lapisan batu apung dan arang kayu yang terbentuk akibat erupsi 1883. Batu apung yang panas dan membakar kayu itu membentuk satu lapisan utuh yang keduanya bercampur dan hanya bisa ditemukan di Pulau Rakata.

Pesona alam yang makin meyakinkan kami, dari sudut manapun kami memandang, Krakatau akan selalu memukau.

Biji tanaman yang ditemukan di sekitar pantai Anak Krakatau. Foto: Rahmadi Rahmad
Biji tanaman yang ditemukan di sekitar pantai Anak Krakatau. Foto: Rahmadi Rahmad
Suasana pantai Anak Krakatau yang setiap akhir pekan akan ramai dikunjungi wisatawan. Foto: Rahmadi Rahmad
Suasana pantai Anak Krakatau yang setiap akhir pekan akan ramai dikunjungi wisatawan. Foto: Rahmadi Rahmad
Posisi Krakatau dalam peta. Sumber: Vansandick.com
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , ,