, ,

Komitmen Sektor Swasta jadikan Sawit Peduli Lingkungan, Benarkah?

Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia memperkenalkan tim manajemen Indonesia Palm Oil Pledge (IPOP), Senin lalu, di Hotel Shangri-La, Jakarta. Hadir perwakilan kementerian dan lembaga, seperti Franky Sibarani, Ketua Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Ida Bagus Putera Parthama, Direktur Jenderal Pengelolaan Hutan Produksi Lestari, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), serta Budi Mulyanto, Direktur Jenderal Pengadaan Tanah Kementerian Agraria dan Tata Ruang.

“Perjalanan panjang melahirkan IPOP sebagai bentuk komitmen nyata sektor swasta terhadap tata kelola sawit Indonesia berkelanjutan. Kadin dengan bangga memperkenalkan tim manajemen IPOP yang dibentuk untuk memastikan komitmen lima perusahaan kelapa sawit skala besar berjalan, baik tataran strategis maupun operasional sesuai deklarasi,” kata Shinta Widjaja Kamdani, Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Lingkungan Hidup.

Pada 2014, Kadin memfasilitasi penandatanganan ikrar bersama antara beberapa perusahaan sawit besar di Indonesia. Komitmen ini terealisasi menjadi IPOP, ditandatangani pada Konferensi Tingkat Tinggi tentang Iklim pada Sidang Umum PBB oleh Wilmar, Golden Agri Resources, Cargill, dan Asian Agri. Musim Mas ikut komitmen Maret 2015.

Nurdiana Darus, Direktur Eksekutif IPOP mengatakan, IPOP berisi komitmen perusahaan sawit berkelanjutan dengan mengimplementasikan praktik bertanggung jawab tanpa deforestasi, mampu memperluas manfaat sosial bagi masyarakat. “Sekaligus memperkuat daya saing sawit Indonesia di pasar global,” katanya.

Empat fokus IPOP, pertama, meningkatkan kepemimpinan lingkungan dengan mengakui dan melindungi lahan high carbon stock (HCS) maupun high conservation value (HCV). Mengidentifikasi lahan kandungan karbon rendah untuk ekspansi, tidak membuka lahan baru area gambut, serta mengadopsi dan mempromosikan rantai bisnis berkelanjutan melalui mekanisme penelusuran bertanggung jawab.

Kedua, memperkuat kebijakan dan regulasi. Caranya, dengan berkolaborasi bersama pemerintah untuk mengkodifikasi semua elemen ikrar ini diperkuat dalam hukum Indonesia. Juga mendukung pembangunan dan mengimplementasikan standar ISPO, mendukung reformasi regulasi lokal dan nasional juga mendukung implementasi one map.

Ketiga, anggota IPOP berkomitmen memperluas manfaat sosial, melalui peningkatan produktivitas petani sawit, partisipasi komunitas dalam proses dan produksi sawit. Juga mengadvokasi dan mengimplementasikan kebijakan yang memberdayakan komunitas.

Keempat, peningkatan daya saing sawit Indonesia. Caranya, melibatkan dan mendorong industri sawit lain menerapkan praktik dalam ikrar.

Kuburan milik keluarga Tarang di tengah jalan milik perkebunan PT. Mustika Sembuluh. Akankah IPOP bisa menjadikan industri sawit menghargai hak-hak masyarakat adat maupun masyarakat setempat? Foto: Walhi Kalteng

Menurut dia, implementasi IPOP terutama di tiga wilayah, yakni Riau, Aceh, dan Kalimantan. “Ketiga area ini dimiliki luas IPOP members. Ini tidak limit, kami harapkan bisa implementasi program di tiga lokasi dulu, kemudian perbaikan, barulah ke provinsi lain.”

Di Riau, katanya, mengerucut ke beberapa kabupaten, misal Bengkalis, lalu spesifik ke area anggota IPOP.

Implementasi tahap pertama, diperkirakan hingga akhir 2015. Fase kedua, diharapkan paling lambat akhir 2019, IPOP bisa ekspansi ke provinsi lain. Jadi, setelah 2020, IPOP bisa implementasi penuh dan banyak perusahaan sawit  ikut berkomitmen.

Intensifikasi jangan ekstensifikasi

Franky Sibarani, menyatakan, sawit komoditas strategis. Kini, Indonesia produsen sawit terbesar di dunia dengan pendapatan ekspor lebih US$15 miliar per tahun atau menyumbangkan 3% pendapatan ekonomi per kapita.

Dengan begitu, industri sawit memiliki tantangan mengimplementasikan praktik-praktik bertanggung jawab dan berkelanjutan terhadap lingkungan untuk menjaga tetap lestari. Jadi, katanya, perlu komitmen bersama dari pelaku industri sawit melakukan upaya strategis menjaga kelestarian hutan sekaligus meningkatkan daya saing Indonesia di pasar global.

“Industri sawit dengan ekstensifikasi masih sering temui permasalahan. Kita masih ekstensifikasi dibanding intensifikasi dalam meningkatkan produktivitas. Ekstensifikasi seiring ada permasalahan lahan dan sosial lain,” katanya.

Komitmen IPOP, katanya,  menjadi strategis karena mendorong keberlanjutan industri sawit sekaligus berkontribusi penyelamatan lingkungan. “Terlebih tuntutan pasar global kian menghendaki produk sawit berkelanjutan dan nol deforestasi. Kini 96% produksi CPO dunia masih di bawah komitmen nol deforestasi.”

Dia berharap, IPOP mampu mendorong transformasi industri sawit Indonesia dari ekstensifikasi menjadi intensifikasi. “Peningkatan produktivitas kata kunci dalam pola bisnis sawit di Indonesia, terlebih luas perkebunan sawit Indonesia, sudah lebih 10,7 juta hektar 2014.”

Di Indonesia, selama lima tahun terakhir, kata Franky, realisasi investasi hijau—termasuk sawit– baru 40% sebesar Rp486 triliun dari total Rp1.600 triliun. Jadi, perlu kerjasama erat antara pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat untuk mendorong investasi lebih ramah lingkungan. “Peningkatan produktivitas kunci keberlanjutan industri sawit mendatang.”

Menurut Ida Bagus Putera, dua hal terkait KLHK, pengadaan lahan dan analisis dampak lingkungan. Soal pengadaan lahan, KLHK sudah punya tata ruang baku dan punya alat memastikan perkebunan sawit tidak menggunakan kawasan-kawasan hutan bagus. Instrumen ini, katanya, sejalan dengan tujuan IPOP.

Mengenai analisis dampak lingkungan, KLHK sudah punya sistem bahwa setiap industri termasuk sawit tidak akan berdampak buruk bagi lingkungan.

Sedangkan Budi Mulyanto berharap, pengembangan industri sawit bisa menyesuaikan dengan kondisi tata ruang. Terkait legalisasi, katanya, industri sawit akan lebih punya stabilitas jika tanah-tanah tersertifikasi. “Tanah disertifikasi ada kriteria. Sertifikat HGU harus dipenuhi, antara lain harus tidak di dalam wilayah moratorium izin dan luar kawasan hutan. Jadi harus clear.”

Juga harus bebas penguasaan masyarakat. Artinya, kalau ada masyarakat di situ, harus ada ganti kerugian. “Termasuk kawasan hak masyarakat adat, semua harus clear. Sertifikasi bisa jalan setelah beres semua.”

Bustar Maitar, Ketua Tim Kampanye Greenpeace menyatakan komitmen lima perusahaan ini capaian baik yang Indonesia miliki saat ini. “Sekitar 70% di atas kertas, sawit sudah nol deforestasi melalui lima perusahaan besar ini. Tantangan IPOP, dari 70%, bagaimana agar komitmen bisa lebih luas lagi. Itu sangat penting.”

Budi Darmawan dari WWF menyatakan yang harus dijawab IPOP, soal implementasi program. “Bagaimana peranan manajemen IPOP bisa mengajak semua pihak? Apa yang sudah dilakukan IPOP members untuk kontribusi terhadap HCS dan HCV? IPOP inisiatif brilian, sayangnya belum mencakup semua pelaku industri sawit.”

Dia mengatakan,  anggota GAPKI banyak, dan belum ada berkomitmen IPOP. “Kalau dipersentase, dari semua pelaku industri sawit, berkomitmen IPOP hanya 12%. Bagaimana kita mendorong yang belum tercerahkan, mengikuti IPOP ini?” katanya.

Mansuetus Darto dari Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) ambil suara. “Kami usul perusahaan sawit skala besar mulai bekerjasama dengan petani mandiri. Skema ke depan, penting bagaimana kembangkan pemasok independen. Di Riau ada 40.000 hektar petani mandiri. Bila turut berkomitmen IPOP, mereka bisa menyumbang zero deforestation untuk industri sawit.”

Tanda bahwa wilayah itu masuk kawasan konservasi oleh perusahaan sawit, PT Buana Artha Sejahtera (BAS), grup Sinar Mas. Kawasan konservasi kok isinya, pohon sawit ya? Perusahaan ini juga masih berkonflik dengan masyarakat desa yang wilayah transmigrasi mereka menjadi ‘milik’ perusahaan. IPOP bisa menjawab ini? Foto: Indra Nugraha
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , ,