, ,

Pembebasan Lahan Belum Tuntas, Eh PLTU Batang Sudah Diresmikan Presiden

Meskipun mendapatkan protes penolakan sejak lama, pada Jumat (28/8/15), Presiden Joko Widodo, akhirnya, meletakkan batu pertama pembangunan PLTU berkapasitas 2.000 Megawatt di Batang, Jawa Tengah.

Jokowi menyampaikan ajakan kepada investor membiayai proyek ini, karena APBN tidak cukup. “PLTU ini diharapkan bisa mengaliri listrik di Pulau dan Bali,” katanya dikutip dari Setkab.go.id.

PLTU yang dibangun ini, katanya, kerjasama pemerintah dan swasta dengan investasi lebih US$4 miliar sebagai bukti pemerintah bisa menyelesaikan masalah dan memberikan jalan penyelesaian masalah investasi.“Ini model dan kita optimistis, problem-problem investasi bisa diselesaikan.”

Pemerintah merencanakan PLTU ini selesai 2018, diharapkan tidak terhenti karena izin dan pembebasan lahan. Menurut Jokowi, dari listrik anak-anak bisa belajar di malam hari, nelayan-nelayan bisa membeli freezer dan menghidupkan untuk mengawetkan ikan, toko-toko dan usaha kecil serta industri berjalan.

Direktur Utama Bhimasena Power Indonesia (BPI) Mohammad Effendi lewat siaran pers mengatakan, PLTU Batang akan mengunakan teknologi ultra super critical untuk memberikan efisiensi tinggi dan memiliki dampak lingkungan rendah. “Teknologi sangat mutakhir.”

Aksi dihadang Polairud dan TNI AL

Bertepatan dengan peresmian ini, ratusan warga tergabung dalam Paguyuban Ujungnegoro, Karanggeneng, Ponowareng, Wonokerso dan Roban (UKPWR) aksi penolakan menggunakan kapal nelayan di pesisir laut. Aksi pukul 07.00 mendapatkan hadangan dari kapal TNI-AL Maribaya bernomor lambung KAL-I-5-12 dan Polisi Air nomor lambung IX-1029. Aksi warga di kampung merekapun dihadang sejak di halaman rumah oleh kepolisian, Polairud dan Paspampres.

“Aksi kami dihadang TNI-AL, polisi dan Polairud,” kata Cayadi warga Karanggeneng, salah satu pemilik lahan yang masuk PLTU.

Dia menambahkan, sampai hari ini ada puluhan pemilik tetap mempertahankan  lahan pertanian karena sumber penghidupan mereka. “Terus terang saya kecewa dengan Jokowi, dulu kami memilih karena percaya janji akan mendengar suara rakyat Batang yang menentang pembangunan PLTU. Sekarang, Presiden datang ke kampung untuk meresmikan. Saya dilarang mendekat. Saya akan tetap mempertahankan lahan sampai kapanpun.”

Kapal  nelayan warga Batang, yang aksi penolakan PLTU dihadang TNI-AL. Foto: Greenpeace
Kapal nelayan warga Batang, yang aksi penolakan PLTU dihadang TNI-AL. Foto: Greenpeace

Arif Fiyanto, Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia kepada Mongabay menyayangkan, tindakan proponen PLTU yang mendorong Jokowi meressmikan megaproyek energi kotor kontroversial ini.

Pendanaan proyek ini, katanya, sepenuhnya ditanggung swasta. Japan Bank for International Coorperation berencana jadi pendana utama proyek Rp56 triliun ini. Padahal, pembangunan PLTU Batang telah tertunda hampir empat tahun karena penolakan pemilik lahan.

“Peletakan batu pertama hanya bisa dilakukan jika proses financial closing sudah selesai. Financial closing hanya bisa jika PT BPI menuntaskan pembebasan lahan proyek ini,” kata Arif.

BPI tiga kali gagal memenuhi tenggat waktu financial closing atau penandatanganan pencarian pendanaan. Salah satu penyebab pembebasan lahan belum tuntas. Sampai sekarang, katanya, masih ada 20 hektar lahan dipertahankan. “Presiden Jokowi harus mengutamakan hak warga Batang.”

Selain pembebasan lahan belum tuntas, warga Batang juga sedang menunggu hasil gugatan mereka ke JBIC yang menggunakan mekanisme internal bank Jepang itu. Warga juga menggugat SK Gubernur Jateng terkait penetapan lokasi pengadaan lahan proyek ini.

“Jokowi sepertinya mendapatkan informasi keliru dari bawahan, peresmian PLTU ini bukan hanya tidak sah secara hukum karena berbagai persyaratan belum terpenuhi, tindakan Presiden juga berisiko mencedrai reputasi di dunia internasional,” ucap Arif.

PLTU Batang yang dibangun di Jawa Tengah, yang menggusur lahan pertanian dan mengancam kehidupan nelayan ini disebut sebagai simbol elektrifikasi pulau terdepan dan perbatasan. Benarkah? Foto: Greenpeace
PLTU Batang yang dibangun di Jawa Tengah, dengan dana triliunan rupiah  yang menggusur lahan pertanian dan mengancam kehidupan nelayan ini disebut sebagai simbol elektrifikasi pulau terdepan dan perbatasan. Benarkah? Foto: Greenpeace

PLTU Batang simbol elektrifikasi pulau terdepan dan perbatasan?

Dari prasasti peresmian yang ditandatangani Presiden Jokowi tertera,” Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa, Program Elektrifikasi 50 Lokasi di Pulau Terdepan dan Daerah Perbatasan diresmikan Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo, Batang, 28 Agustus 2015.”

Prasasti itu menyebutkan, kalau peresmian PLTU Batang, sebagai penanda listrik buat pulau-pulau terdepan dan perbatasan. Dalam pernyataan KESDM, sebelum ini,  menyebutkan proyek elektrifikasi pulau terdepan dan perbatasan ini sementara berupa pembangunan PLTD-PLTD kecil—sebelum berganti ke energi terbarukan. Lalu rencana peresmian simbolis akan dilaksanakan di Saumlaki, Maluku Tenggara Barat, Maluku. Agenda 20 Agustus lalu.

Dalam berita Mongabay, sebelum ini, Jarman, Dirjen Ketenagalistrikan KESDM mengatakan, dari 47 daerah, persiapan 43 sudah selesai, baik pembangkit listrik maupun jaringan. “Tinggal tunggu peresmian saja.” Daerah-daerah ini berada di perbatasan maupun pulau terluar ataupun daerah terpencil di berbagai wilayah di Indonesia, dari Kalimantan, Timor, sampai Papua.

Menjelang peresmian, katanya, pemerintah masih persiapan teknis, terutama di Papua dan Kalimantan Utara. “Semua daerah terluar Indonesia. Kendala utama di Papua akses jalan sangat sulit. Di Kalimantan Utara, tak ada air karena kekeringan. Kita berupaya keras mengatasi kesulitan ini.”

Dia mengatakan, sementara listrik menggunakan PLTD. “Program ke depan, gunakan energi baru dan terbarukan. PLTD akan jadi backup sistem. Dengan begitu, biaya lebih murah dan lebih ramah lingkungan.”

ESDM mengalokasikan anggaran Rp1 triliun untuk pembelian maupun distribusi PLTD skala kecil untuk 47 daerah perbatasan dan pulau terluar ini. Dari total kapasitas 60 megawatt (MW) ini, setiap daerah mendapatkan berbeda-beda sesuai kebutuhan.

Kini, PLTU Batang, malah dijadikan simbol buat pemenuhan listrik pulau-pulau terdepan dan perbatasan. Benarkah?

Inilah kapal TNI_AL yang menjaga aksi warga Batang itu. Foto: Greenpeace
Inilah kapal TNI_AL yang menjaga aksi warga Batang itu. Foto: Greenpeace

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , ,