, ,

Cerita dari Hutan Adopsi Sarongge

Pagi itu, Kamis (27/8/15). Matahari bersinar hangat saat saya bersama rombongan wartawan berjalan menyusuri perkebunan warga di Sarongge Girang,  Kecamatan Pacet, Cianjur, Jawa Barat. Perkebunan warga itu berbatasan langsung dengan Taman Nasional Gede Pangrango (TNGP).

Tampak  beberapa warga tersenyum ramah kala berpapasan dengan kami. Mereka sibuk menyiram tanaman. Ada wortel, kol, bawang daun, tomat, kubis dan lain-lain. Sebagian lagi terlihat mencangkul dan membersihkan kebun dari rerumputan.

Udara sejuk begitu segar. Berjarak sekitar 100 km arah puncak Bogor. Tiga kilometer dari Istana Cipanas. “Ini dulu lahan garapan warga. Sekarang jadi hutan kembali,” kata Wawan Sudrajat, koordinator ekowisata Sarongge.

setelah berjalan sejauh 1,5 km di jalanan setapak cukup terjal, kami tiba di lokasi hutan Sahabat Green. Nama itu muncul dari kegiatan menghutankan kembali lahan 38 hektar hasil adopsi pohon inisiasi warga. Ia kerjasama Green Radio dan Green Initiative Foundation serta TNGP. Ia berada 1.530 mdpl.

Sepanjang mata memandang, berbagai jenis pohon endemik Jawa  Barat, menjulang tinggi. Ada suren (Toona sinensis), hanjuang (Dracaena fragrans), jamuju (Dacrycarpus imbricatus), bahkan rasamala (Altingia exelsa). Program adopsi pohon dimulai sejak 2008. Kini pepohonan tampak rimbun, tinngi 7-10 meter.

Pada Januari 2013, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pernah datang dan menanam rasamala.”TNGP, saat ini Sarongge sudah tak ada aktivitas petani. Karena hutan ditanami pohon.”

Dulu,  sekitar 155 warga di Sarongge Girang menggarap lahan masih milik Perum Perhutani. Masyarakat memanfaatkan lahan berkebun dengan tumpang sari. Hal ini berubah saat Menteri Kehutanan mengeluarkan  SK perluasan TNGP no174/ktps-II/2003. Mau tak mau, mereka meninggalkan lahan garapan yang bertahun-tahun ditanami sayuran.

Camping ground, yang disiapkan bag pengunjung untuk bermalam. Foto: Indra Nugraha
Camping ground, yang disiapkan bag pengunjung untuk bermalam. Foto: Indra Nugraha

Awalnya berat. Banyak warga keberatan meninggalkan lahan garapan. Maklum, bertani mata pencaharian utama mereka. Saat Green Radio dan Green Initiative Foundation mendampingi mereka, berbagai kegiatan mencari mata pencaharian warga hingga ada solusi. TNGP bisa hadi hutan, warga mendapatkan mata pencaharian lebih menjanjikan.”Jadi ekowisata. Banyak tamu datang, jadi tambahan penghasilan warga,” katanya.

Adopsi pohon sudah berakhir November 2014. Saat masih berjalan, bagi yang berminat membayar Rp108.000 menanam satu pohon. Biaya untuk perawatan pohon yang dikelola warga, sekitar 20.000 pohon lebih tertanam.

Kini memanfaatkan untuk tujuan ekowisata. Izin pemanfaatan  usaha penyediaan jasa wisata alam dari Balai TNGP pada 2014.

Di hutan Sahabat Green, masyarakat membuat camping ground. Pengunjung datang, bisa bermalam dengan merogoh kocek hanya Rp325.000 satu hari dua malam. Biaya termasuk makan dan pemandu wisata.

“Walaupun kapasitas terbatas. Belum bisa lebih 70 orang per hari. Kita batasi karena ada kekhawatiran pohon adopsi rusak,” kata Syarif Abdul Karim, koordinator divisi Comdev Green Initiative Foundation.

Dalam sebulan,  setidaknya ada 50 wisatawan berkunjung ke Sarongge. Selain wisata camping dan trekking, warga menawarkan wisata kampung. Pengunjung bisa melihat peternakan domba, kelinci dan perkebunan sayuran organik dikelola warga.

“Pengunjung bisa ke hutan Sahabat Green, juga menjelajah hutan primer di TNGP yang sangat bagus. Kami bisa mempertimbangkan kelayakan Sarongge jadi ekowisata.”

Ada dua pilihan trekking ditawarkan. Jalur pendek selama dua jam. Mengelilingi hutan adopsi pohon dan hutan primer. Sementara trekking panjang perlu empat jam. Selain hutan, pengunjung diajak ke Curug Maleber yang mempesona.

Mereka juga mengadakan Festival Sarongge tiap tahun, yang mempertontonkan berbagai pertunjukan seni dan budaya. Biasa diadakan 18-23 Agustus.

Pepohonan hutan adopsi yang sudah menjulang tinggi, mulai ditanami 2008.Foto: Indra Nugraha
Pepohonan hutan adopsi yang sudah menjulang tinggi, mulai ditanami 2008.Foto: Indra Nugraha

Tak hanya sektor wisata. Untuk kesejahteraan, warga juga mendirikan Koperasi Sugih Makmur. Ekowisata salah satu usaha koperasi. Mereka juga menjual bahan pangan. Anggota koperasi mencapai 150 orang. Konsep mereka leweung hejo. resep nu nenjo, warga bisa ngejo (hutan hijau, yang melihat suka, warga bisa makan).

Para ibu membuat kelompok. Mereka memproduksi sabun sereh dan kopi. Juga ada kerajinan tangan bros dan berbagai macam panganan. Itu bagian dari program pengalihan mata pencaharian warga agar tidak menggarap TNGP.

Wiwik, pengurus  kelompok ibu-ibu mengatakan, di Sarongge ada empat kelompok, seperti kelompok sabun sereh wangi, kerajinan (daur ulang sampah), budibaya jamur dan stroberi.

“Untuk stroberi kita hanya mengelola. Tidak menanam. Jadi memanfaatkan perkebunan stroberi disini. Buah kita olah jadi selai.”

Mamad, peternak kelinci mengatakan, kini anggota kelompok 24 orang. Pesanan kelinci hias terus meningkat.

“Memang kami awalnya penggarap TNGP. Karena sudah tak boleh ditawari program dari Green Radio dan TNGP. Kami meminta kelinci. Alhamdulilah, 2010 sudah bisa keluar dari TNGP. Waktu awal diberi sembilan. Tujuh betina, dua jantan. Sekarang sudah 120.”  Penghasilan rata-rata per orang berkisar antara Rp1-1,5 juta.

Pohon rasamala yang dulu ditanam Presiden SBY. Foto: Indra Nugraha
Pohon rasamala yang dulu ditanam Presiden SBY. Foto: Indra Nugraha

Dalam sebulan, kelompok peternak kelinci bisa menjual 1.300 kelinci. Kalau musim hujan, mereka menjual 1.000.  Keseluruhan kelinci di kelompok ini mencapai 7.000.

Puput, kini peternak domba. Anggota kelompok sudah 104 orang dengan 375 domba.

Untuk pengelolaan sampah, masyarakat Sarongge lebih maju. Mereka mendirikan bank sampah. Sejak dari rumah, sampah dipilah. Sampah organik jadi kompos, sampah anorganik dijual atau pun didaur ulang menjadi benda bernilai ekonomis. Pengunjung bisa membeli buatan tangan sampah saat berkunjung. Ada dompet, tas dan macam-macam. Meski mereka masih kesulitan mendaur ulang sampah B3.

“Kami masih kekurangan bak sampah organik. Juga tempat pembakaran sampah B3 dan kendaraan pengangkut sampah. Sampah B3 jadi masalah. Ketika dibakar bukan solusi baik,” kata Syarif.

Hal unik lain, keberadaan radio komunitas Edelweis dengan frekuensi 107,6 FM. Lewat radio itu, Dadan Karyo, penyiar menyampaikan pesan-pesan tentang konservasi diiringi berbagai hiburan musik dan budaya.

“Saya dulu juga penggarap. Sekarang jadi penyiar. Siaran tiap malam. Khusus selasa malam ada siaran konservasi. Malam Sabtu wayang holek pedesaan,” kata Dadan.

Tosca Santoso, pendiri Green Initiative Foundation mengatakan, penghutanan kembali lahan 38 hektar berkat keinginan kuat masyarakat. Bukan perkara mudah. Masih ada ribuan warga lain di TNGP yang belum meninggalkan lahan garapan.

“Kuncinya ada alternatif penghasilan. Disini mulai menghasilkan. Warga sadar mata air kini tak lagi kekeringan sejak program adopsi pohon berhasil. Mereka sudah mulai merasakan hasil,” katanya.

Pada 2010, masyarakat Sarongge pernah mencoba budidaya lebah madu. Ada 30 kotak dicoba, namun gagal karena kondisi tak cocok. Perkebunan warga sekitar Sarongge kebanyakan menggunakan pestisida diduga penyebab kegagalan ini.

A. Tisna Jumena dari Balai TNGN mengatakan, sangat terbantu dengan aktivitas masyarakat Sarongge Girang. Terutama pengawasan TNGP Resor Sarongge karena petugas hanya empat orang. Patroli pengawasan kawasan dibantu masyarakat sangat membawa dampak positif.

TNGP, katanya,  masih menyimpan kekayaan flora dan fauna, seperti burung endemik elang Jawa, macan tutul, berbagai jenis mamalia.

Dia berharap yang dilakukan masyarakat di Blok Sarongge Girang diikuti warga lain. Namun, melakukan itu tergantung pada dukungan Kementerian Lingkungan Hidup dan LSM yang mendampingi serta kemauan masyarakat.

“Ada banyak kawasan masih digarap warga. Dulu memang ada pengelolaan hutan bersama masyarakat kerjasama dengan Perhutani. Tak bisa dibilang perambah.”

Kelinci-kelinci ternakan warga. Foto: Indra Nugraha
Kelinci-kelinci ternakan warga. Foto: Indra Nugraha
Peternak kelinci, yang hari makin hari permintaan terus meningkat. Foto: Indra Nugraha
Peternak kelinci, yang hari makin hari permintaan terus meningkat. Foto: Indra Nugraha
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , , ,