,

Kesalnya Masyarakat pada Kades Buluh Cawang yang Robohkan Pohon Berusia Ratusan Tahun

17 Agustus 2015. Saat Bangsa Indonesia merayakan Hari Kemerdekaan, sekitar 15 mesin pemotong kayu atau chainsaw meraung di hutan adat milik marga Pegagan Ulu Suku II di Desa Buluh Cawang, Kayuagung, Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatera Selatan. Lima pohon bungur (Lagerstroemia spesiosa) berusia antara 150-200 tahun roboh. Sebagian warga terkejut dan protes.

Besoknya, 15 chainsaw itu kembali bekerja. Mereka memotong batang pohon bungur yang sudah ditebang menjadi kepingan papan dengan panjang sekitar 4-5 meter dengan ketebalan 4 centimeter.

Warga tidak tahan lagi. Sekitar 200 warga melaporkan aksi tersebut ke polisi. Penebangan pohon di hutan yang terdapat puluhan jenis pohon khas Indonesia yang berusia ratusan tahun itu, seperti medang, bungur, ruas, beringin, dan lainnya, pun berhenti. Kepolisian menyita 15 mesin chainsaw dan beberapa papan dari pohon bungur.

Siapa pelakunya? Ternyata Kepala Desa (Kades) Buluh Cawang yang bernama Safarudin.

“Itu satu-satunya hutan yang tersisa milik marga Pegagan Ulu Suku II. Dan satu-satunya hutan yang dapat ditemukan tanaman pohon yang dilindungi dan langka, yang usianya sudah ratusan tahun,” kata Herlambang, warga Desa Buluh Cawang, Selasa (25/08/2015).

Menurut Herlambang, tindakan Safarudin sangat bertentangan dengan semangat pemerintah untuk melakukan penghijauan guna mengatasi pemanasan global. Termasuk Pemerintah Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI) yang dalam beberapa tahun terakhir melakukan penanaman jutaan pohon. “Dia bukan mengajak warga melakukan penanaman. Dia justru mengajak warga merusak lingkungan dengan menebang pohon. Ironi.”

“Hutan itu juga merupakan habitat kera ekor panjang, trenggiling, dan kucing hutan,” kata Herlambang yang pernah menjadi pengurus Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Palembang ini.

Khairul, warga Desa Buluh Cawang menunjukkan lokasi hutan adat mereka  yang dirusak kadesnya. Foto: Taufik Wijaya
Khairul, warga Desa Buluh Cawang menunjukkan lokasi hutan adat mereka yang dirusak kadesnya. Foto: Taufik Wijaya

Dan, yang membuat warga protes, hutan seluas dua hektar tersebut, sebagian menjadi lokasi pemakaman marga Pegagan Ulu Suku II selama ratusan tahun. Termasuk makam Putri Panjang Rambut atau yang dikenal dengan julukan “Putri Telunjuk Sakti”, yang makamnya sepanjang tujuh meter.

“Merusak makam tersebut sama saja dengan menghina leluhur kami. Kami ada saat ini karena jasa mereka. Satu-satunya penghormatan kami bagi mereka, selain berdoa, yakni merawat makam mereka dan lingkungan sekitarnya,” kata  Khairul (40), salah satu warga yang protes dengan aksi kepala desa tersebut.

“Selama ratusan tahun tidak ada yang berani menebang pohon, menjerat hewan atau menangkap hewan di sana,” ujar Khairul.

Menurut Amran, Ketua Badan Permusyawaratan Desa Buluh Cawang, pohon-pohon yang tumbuh di hutan tersebut tidak pernah diganggu warga sejak adanya pemakaman marga Pegagan Ulu Suku II sekitar pertengahan abad ke-19. “Pohon besar yang roboh pun dibiarkan saja oleh warga. Tidak diambil. Itu menandakan bagaimana hormatnya warga dengan hutan tersebut,” katanya.

Apa alasan Safarudin melakukan penebangan pohon tua di sana?

Safarudin, sebagaimana dilansir dari SumateraPos.com, mengaku tujuan dari penebangan pohon itu hasilnya untuk pembangunan masjid. Sebelum melakukan hal tersebut, katanya, dirinya sudah bermusyawarah dengan masyarakat, dan masyarakat setuju.

“Alasan membangun masjid tersebut mengada-ada. Terlalu besar pengorbannya. Sebab masjid di desa ini sudah ada. Saat salat Idul Fitri masjid yang sudah ada itu masih banyak ruang. Jika masjid yang sudah ada sudah tak mampu menampung jemaah, mungkin masuk diakal dibutuhkan masjid yang baru. Kalau memang bertujuan membangun masjid, tidaklah cukup dana sebesar Rp70 juta hasil dari penjualan kayu dari pohon di sana,” kata Herlambang.

Makam Putri Panjang Rambut sepanjang 7 meter. Foto: Taufik Wijaya
Makam Putri Panjang Rambut sepanjang 7 meter. Foto: Taufik Wijaya

Tanam kembali dan dihukum

Meskipun penebangan dihentikan, tapi warga tampaknya kesal dengan adanya lima pohon bungur yang sudah ditebang.

“Kami mendesak pemangku adat untuk melakukan musyawarah, dan memberikan hukuman seperti yang dilakukan para leluhur kami. Yakni memberikan denda terhadap pelakunya, menyita barang atau uang yang sudah diambil, serta menanam kembali pohon dengan jenis yang sama di lokasi yang sama,” kata Khairul.

Tidak sebatas itu. “Kami juga meminta jaminan ke depan agar hutan tersebut dilindungi, termasuk makam tuanya. Pemerintah harus mengeluarkan kekuatan hukum, sehingga ke depan hutan tersebut tidak ada yang berani melakukan pengrusakan,” katanya.

“Dan yang lebih penting, kepolisian harus memproses hukum pelakunya. Pohon bungur yang telah ditebang tersebut merupakan pohon yang dilindungi,” ujar Herlambang.

Rustandi Adriansyah, Ketua Badan Pengurus Harian Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Sumatera Selatan, mengutuk aksi penebangan hutan adat tersebut. “Dia memberikan contoh yang tidak baik bagi warganya. Dia yang seharusnya menjaga nilai-nilai adat, seperti menghormati semua peninggalan leluhur, justru sebaliknya. Saya pikir, pelakunya sangat dipantas dihukum baik secara adat maupun hukum positif,” katanya.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , ,