,

Skenario Terselubung Perkebunan Sawit yang Membabat Hutan Pohuwato (bagian – 1)

Siang menjelang. Panas semakin terik. Matahari membakar kulit ketika mobil pick up yang saya tumpangi memasuki hutan di Popayato, Kabupaten Pohuwato, Gorontalo. Jalan itu berbatu. Kalau hujan dipastikan becek dan kendaraan sulit lewat. Jalan ini telah dirintis oleh perusahaan hak pengusahaan hutan (HPH) pada 1980-an.

Kondisinya berbukit. Kiri-kanan pohon tinggi menjulang. Kini setelah perusahaan sawit hadir, jalan semakin dalam ke hutan. Meski hutan ini bisa diakses oleh siapa saja, namun sungguh sulit untuk memasukinya. Bukan karena hutannya yang rimba. Akan tetapi, kehadiran pos yang dijaga oleh aparat negara dari kesatuan Brimob (Brigade Mobil). Hutan dijaga ketat.

Pos Brimob ini semacam rumah panggung yang dinding dan lantainya semua terbuat dari kayu dengan atap dari seng. Untuk menghalangi warga yang ingin masuk ke dalam, dipasanglah portal besi yang melintasi jalan. Di samping tiang portal itu berkibar bendera merah putih. Tak jauh dari situ Maccaca hecki, salah satu jenis kera hitam Sulawesi, diikat pada sebuah pohon. Masyarakat Gorontalo menyebutnya dihe. Di sisi kanan dinding pos, ada logo perusahaan sawit: PT. Kencana Agri.

Di pos, dua anggota Brimob berjaga dengan senjata laras panjang. Petugas ini  berganti piket. Pagi hari, saya melihat lebih dari lima anggota, siangnya tinggal dua.

“Kami baru gantian piket,” kata salah seorang anggota Brimob. Dari perawakannya, mereka masih sangat muda. Usia berkisar 20-an tahun.

“Saya belum lama menjaga pos ini. Kami bertugas menjaga perkebunan sawit,” ucapnya lagi.

Setiap kendaraan atau wajah baru yang lewat akan ditanyai. Beruntung hari itu, awal Agustus 2015, petugas Brimob tidak menginterogasi. Kepada mereka, salah seorang teman menyebut kalau rombongan saya adalah fotografer dan mahasiswa yang akan melakukan penelitian.

Kondisi hutan Pohuwato yang dibabat oleh perusahaan Kencana Agri, Wilmar Grup, untuk dijadikan perkebunan sawit. Foto: Christopel Paino
Kondisi hutan Pohuwato yang dibabat oleh perusahaan Kencana Agri, Wilmar Grup, untuk dijadikan perkebunan sawit. Foto: Christopel Paino

Usai melewati pos, pemandangan sawit tersaji. Di sebelah kanan, sebagian tutupan hutan masih bagus. Sebelah kiri, pepohonan telah berganti tanaman sawit dengan kontur berbukit. Sawit ditanam sekitar 2013 yang satu plang menunjukkan sawit ini milik PT. Sawit Tiara Nusa.

Menurut Zenzi Suhadi, pengkampanye hutan dan perkebunan besar Eksekutif Nasional Walhi, pada saat panen, kelapa sawit dengan kemiringan seperti itu susah dilakukan.

“Saya menduga tanaman sawit yang berada pada kemiringan itu milik masyarakat yang merupakan bagian dari skema plasma. Karena masyarakat akan kebagian jeleknya.”

Selang lima belas menit melewati pos Brimob, di kanan jalan tampak sebuah rumah beratapkan seng dengan halaman penuh tumpukan kayu berukuran besar. Rumah itu adalah industri kayu yang tertutup pagar kayu setinggi dua meter. Menurut warga tempat itu adalah perusahaan kayu pemegang izin penebangan kayu (IPK) milik PT. Jaya Anugerah Delima Mas.

Setelah itu, pemandangan berganti. Di tengah hutan yang mulai terlihat landai, bangunan kantor bertuliskan PT. Sawindo Cemerlang tampak jelas. Tidak jauh dari situ, terdapat rumah panggung. Di kantor Sawindo Cemerlang, seorang perempuan berjilbab abu-abu muncul dari jendela. Bentuk bangunannya berpetak. Perempuan itu setengah berteriak dan tertawa, seperti sedang bercanda dengan karyawan perkebunan sawit lainnya. Beberapa alat berat dan motor trail terparkir di depan dan samping kantor.

Jauh ke belakang site office PT. Sawindo Cemerlang, pemandangan lain tersaji. Hutan botak sana-sini. Pohon-pohon yang tadinya tegak berdiri bak serdadu di medan perang, tumbang satu-persatu. Tak berdaya oleh terjangan alat berat perusahaan. Warga setempat menyebut lokasi ini kilometer 52. Kondisinya datar. Kayu-kayu besar yang tumbang itu dibiarkan begitu saja. Sementara di selanya ditanam sawit.

Sebelumnya, ketika kami masuk ke kawasan ini, beberapa kali terlihat rombongan Macaca hecki dan juga burung julang. Mereka terpaksa harus mengungsi ke tempat baru.

“Hutan Pohuwato ini sangat dekat dengan wilayah hutan di Kabupaten Buol, Sulawesi Tengah. Bisa terhubung dengan perkebunan sawit milik Hartati Murdaya,” kata Agustam Nome, dari Perkumpulan Evergreen.

“Wilayah inilah yang jadi perkebunan inti sawit milik perusahaan. Pohon-pohon ditebang habis dan digantikan sawit,” ujar Zenzi.

Lokasi pembibitan Kencana Grup. Foto: Christopel Paino
Lokasi pembibitan Kencana Grup. Foto: Christopel Paino

Zenzi mengatakan, kalau dilihat dari kondisi hutannya, seharusnya tidak boleh ada tebangan karena ini merupakan hutan primer. Ia meyakini ada yang tidak beres dalam proses penerbitan izin. Data yang mereka pegang, kronologis izinnya dimulai pada 2006, ada pelepasan kawasan hutan dari hutan produksi terbatas dan hutan lindung menjadi areal perkebunan.

“Kami tidak tahu apa alasan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) melepaskan kawasan ini menjadi areal peruntukan lain (APL) atau perkebunan. Harusnya tetap pada posisi kawasan hutan.”

Selain itu, katanya, masyarakat sekitar hutan tidak mendapatkan informasi yang cukup dari pemerintah maupun perusahaan akan dampak dan risiko yang dihadapi masyarakat dengan adanya keberadaan perkebunan sawit.

Meskipun masyarakat di Pohuwato tidak terlibat langsung dengan tanah, tapi secara kultur ada relasi yang kuat antara masyarakat dengan hutan. Sehingga ketika hutan berubah menjadi kawasan perkebunan sawit, ini tidak hanya menghancurkan hutan semata, tapi sesungguhnya menghancurkan kultur masyarakat yang ada di Popayato.

“Selain itu kami melihat juga bahwa apa yang terjadi pada hutan Pohuwato merupakan kejahatan terorganisir.”

Menurutnya, kalau polisi benar-benar mengidentifikasi kasus di atas (hutan Pohuwato), sesungguhnya akan ditemui skenario atau modus-modus kejahatan yang terorganisir oleh kelompok tertentu untuk melegalisasi penghancuran hutan di Pohuwato.

“Seharusnya polisi setingkat Polda melakukan proses penyidikan terhadap proses pelepasan kawasan hutan, pengambilan kayu, perubahan hutan menjadi perkebunan, serta konflik dengan masyarakat Popayato. Tapi kami sangat sayangkan aparat kepolisian di Gorontalo justru tidak steril.”

Zenzi mengungkapkan kasus di Popayato menjadi perhatian karena pelepasan kawasan hutan di kabupaten ini merupakan modus pertama kali pelepasan kawasan hutan melalui skema review kawasan hutan untuk tata ruang. Dalam konteks ini semestinya, kata Zenzi, KLHK sesegara mungkin melakukan kroscek terhadap kawasan hutan yang dilepaskan di Gorontalo.

“Kami khawatir kawasan yang dilepaskan mengatasnamakan rakyat. Sementara kami justru dengan masyarakat menemukan ada kampung yang masuk dalam kawasan hutan, tidak dilepaskan statusnya. Sementara kawasan hutan primer di Popayato justru dilepaskan menjadi kawasan perkebunan,” ungkap Zenzi.

“Kami minta KLHK sesegera mungkin melakukan pembatalan terhadap SK yang melepaskan kawasan hutan menjadi perkebunan kelapa sawit. Jika tidak, pihak KLHK justru menjadi bagian dari kejahatan kehutanan itu sendiri.”

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,