,

Intervensi Perusahaan Sawit yang Membuat Hutan Pohuwato Dibabat Habis (bagian – 2)

Wajah Umar Hasan mengkerut. Lelaki 65 tahun ini menggeleng kepala ketika melihat peohonan di hutan mati ditebang. Ia adalah pensiunan guru yang berjuang menolak kehadiran perkebunan sawit di Desa Talaga, Kecamatan Popayato, Kabupaten Pohuwato. Umar beserta beberapa warga membentuk Forum Rakyat Merdeka dan mengorganisir masyarakat menolak kehadiran perkebunan sawit.

“Dulu di tahun 1980-an, saya masuk kawasan ini. Memang ada pembukaan jalan oleh HPH, tapi penebangan pohon tidak gila-gilaan seperti perusahaan sawit ini. Sungai juga ada yang kering dan keruh,” katanya.

Ia bercerita, ketika pertama kali ada sosialisasi perkebunan sawit, sikap masyarakat Popayato awalnya menolak. Tapi karena ada bujukan, desakan, hingga teror, masyarakat akhirnya menerima.

Menurutnya, pemahaman masyarakat soal dampak dari sawit masih kurang. Namun saat ini dibeberapa tempat seperti di Kecamatan Lemito dan Popayato, mulai terasa adanya banjir yang melanda wilayah itu pada 2013.

Umar mengungkapkan, sebenarnya tidak ada hubungan langsung antara masyarakat dengan wilayah hutan. Tapi di saat tertentu seperti musim kemarau, sumber pendapatan masyarakat itu dihasilkan dari hutan. Seperti tambang emas yang diolah secara tradisional juga mengambil rotan dan damar.

“Tapi kini, sudah diambil perusahaan sawit, masyarakat susah masuk karena dicegat Brimob bersenjata lengkap. Masyarakat dianggap tidak punya hak lagi atas hutan.”

Kehadiran Brimob di hutan, katanya, justru menciptakan konflik. Contoh yang warga rasakan ketika pengambil rotan melewati Pos Brimob, mereka dimintai uang dengan alasan bahwa perusahaan telah menetapkan potongan Rp 250 untuk satu kilogram. Menurut warga ini adalah pungutan. Kondisi ini membuat masyarakat marah. Emosi mereka terpancing.

“Karena selalu dipungut dan dilarang masuk hutan, belum lama ini, bulan puasa kemarin, masyarakat marah dan membakar pos itu,” kata Umar.

Kehadiran pos ini menurut Zenzi Suhadi, menjadi indikator bahwa polisi di Gorontalo tidak steril. Sebab ia melihat masyarakat di Popayato damai dan aman. Seharusnya Brimob itu berada di kawasan zona merah atau konflik.

Penolakan keras masyarakat terhadap sawit di Pohuwato berakibat konflik awal 2013. Perusahaan menyewa preman dan membenturkan dengan masyarakat setempat. Posko penolakan sawit yang dibuat oleh warga diacak-acak. Dengan mengendarai mobil Strada hitam milik perusahaan, mereka menyerang warga sembari membawa senjata tajam.

Akibat penyerangan itu, delapan warga mengalami luka serius. Dari delapan korban itu, termasuk seorang anak kecil dan ibu rumah tangga ditendang. Bahkan salah seorang kepala desa, patah tangan karena menghindari tabrakan mobil yang dikendarai para penyerang.

Tuntutan warga saat itu adalah meminta pemerintah daerah di Pohuwato agar mencabut izin perusahaan perkebunan sawit. Namun pemerintah daerah melalui Wakil Bupati Amin Haras, tak mengindahkan tuntutan warga. Menurutnya, mencabut izin tidak mudah karena prosesnya sudah sejak 2006. Apalagi dokumen persyaratan telah dipenuhi sejak awal.

Menurut wakil bupati, titik persoalan adalah tidak ada komunikasi yang intens dari perusahaan kepada masyarakat. Padahal, masih banyak masyarakat kurang paham tentang sawit, terlebih di Gorontalo yang tidak terbiasa dengan tanaman itu.

“Ketika sosialisasi maupun saat diundang mengikuti izin analisis dampak lingkungan dan izin lingkungan, tidak ada masalah dari masyarakat. Namun yang saya heran, ketika perusahaan sudah berjalan, malah ada beberapa kelompok menolak,” kata Amin ketika itu, pada Mongabay.

Bagi pemerintah, kata Amin, investasi seperti perkebunan sawit adalah kebutuhan daerah. Sedangkan tuntutan kelompok masyarakat penolak sawit, bagi dia hanya upaya provokasi dari kelompok-kelompok yang memiliki kepentingan tertentu.

Tidak lama setelah ribut pro dan kontra itu, pemerintah daerah mengajak tokoh masyarakat, pemuda, dan LSM di Pohuwato untuk studi banding ke perkebunan sawit yang ada di Kalimantan.

“Biar masyarakat tahu, sawit itu bisa membawa keuntungan. Karena potensi ekonomi sangat tinggi, terutama menambah lapangan pekerjaan,” ujar Amin.

Namun menurut Umar Hasan, saat ini banyak masyarakat yang bekerja di perusahaan sawit, baik sebagai sekuriti maupun sebagai pekerja di lapangan, mulai mengeluh.

“Sekarang banyak yang berhenti bekerja. Bahkan yang dulunya berhadap-hadapan dengan kami hingga baku pukul, sudah berhenti dan minta maaf atas perlakuan mereka saat itu,” ucap Umar.

Pepohonan sawit yang ditanam dengan kondisi kemiringan. Foto: Christopel Paino
Pepohonan sawit yang ditanam dengan kondisi kemiringan. Foto: Christopel Paino

Kabupaten Pohuwato berada di ujung barat Provinsi Gorontalo yang berbatasan langsung dengan Sulawesi Tengah. Perairannya berbatasan dengan Teluk Tomini dan menjadi salah satu arus perdagangan yang potensial.

Pohuwato merupakan pemiliki hutan terluas di Gorontalo. Sesuai SK Menteri Kehutanan Nomor 433/Menhut-II/2009, luas hutannya 368.299 hektar. Dengan rincian, hutan konservasi (KSA/KPA) ± 40.013 hektar, hutan lindung ± 137.605 hektar, hutan produksi terbatas ± 80.083 hektar, hutan produksi tetap ± 40.920 hektar, dan hutan produksi yang bisa dikonversi ± 69.678 hektar.

Pada 2007, Pemkab Pohuwato mulai melakukan sosialisasi kepada masyarakat tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Pohuwato yang memberikan peluang investor untuk mengembangkan perkebunan sawit melalui alih fungsi hutan.

Rencana tersebut mendapat reaksi keras dari masyarakat, protes disampaikan hingga 2009. Masyarakat merasa rencana tersebut mengancam kehidupan mereka karena dampak perkebunan sawit terhadap lingkungan dan hutan.

“Setelah itu, masyarakat tidak mendengar lagi rencana ini. Apakah perkebunan sawit itu jalan atau tidak,” kata Umar Hasan.

Pada 2011 hingga 2012, ketika Syarif Mbuinga dan Amin Haras terpilih sebagai Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Pohuwato, masyarakat dikagetkan dengan terbitnya surat keputusan Menteri Kehutanan yang memberikan izin pelepasan kawasan hutan produksi menjadi hutan konversi untuk empat perkebunan sawit di bawah bendera Kencana Agri. Saat ini, keduanya kembali mencalonkan diri sebagai bupati dan wakil bupati untuk periode 2015-2020.

Izin tersebut diberikan kepada PT. Sawindo Cemerlang, PT. Sawit Tiara Nusa, PT. Inti Global Laksana, dan PT. Banyan Tumbuh Lestari yang totalnya ± 53.000 hektar. Saham perusahaan sesunggunya dimiliki Wilmar Grup. Keempatnya mendapat konsesi di kawasan hutan di Kecamatan Popayato Barat, Popayato, Popayato Timur, Lemito, Wonggarasih, dan Taluditi.

Menurut warga di Desa Torosiaje, Kecamatan Popayato, sejak kehadiran perkebunan sawit, kampung mereka menjadi krisis air. Kabupaten Pohuwato sendiri memiliki dua daerah aliran sungai (DAS) yaitu Randangan (Sub DAS Malango) dan Popayato (Sub DAS Hungga, sub DAS Lungusa, dan sub DAS Utadaa). Wilayah sub-sub DAS itu memiliki tangkapan air sangat besar yang mendukung dua sungai besar yakni Sungai Randangan dan Sungai Popayato.

“Kehadiran perkebunan sawit ini tentu bisa membuat dua DAS ini bermasalah yang akibatnya kampung kami kekeringan,” ungkap Umar Pasandre, tokoh masyarakat suku Bajo di Torosiaje.

Kantor lapangan perkebunan sawit Kencana Agri. Foto: Christopel Paino
Kantor lapangan perkebunan sawit Kencana Agri. Foto: Christopel Paino

Awal Juni 2015, KPK menggelar Koordinasi dan Supervisi penyelamatan Sumber Daya Alam regional Sulawesi di Gorontalo. Monitoring dan Evaluasi itu dihadiri pemerintah dari provinsi Sulawesi Utara, Sulawesi Barat, dan Maluku Utara.

Di hadapan wakil ketua KPK, pemerintah provinsi Gorontalo memaparkan kondisi kehutanannya yang disampaikan oleh Kepala Dinas Kehutanan dan Pertambangan, Husen Alhasni. Namun ia tidak menyinggung soal perkebunan sawit, dan lebih banyak membahas mengenai hutan tanaman industri, hutan tanaman rakyat, dan hutan kemasyarakatan.

Menurutnya, pemerintah telah membentuk tim terpadu dalam rangka penyelesaian konflik kawasan hutan. Tim ini melibatkan TNI, Polri, dan Kejaksaan. Selain itu, telah dibangun sistem pengendalian anti korupsi berupa tata kelola sistem penatausahaan dan perizinan.

Merespon hal itu, koalisi CSO yang menamakan diri Koalisi Anti Mafia Hutan dan Tambang, yang terdiri dari aktivis lingkungan, anti korupsi dan hukum meminta kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan segera menyelesaikan berbagai peraturan pemerintah yang merupakan turunan dari Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, termasuk diantaranya, peraturan pemerintah mengenai kajian lingkungan hidup strategis dan rencana perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.

“KLHK harus melakukan audit kawasan hutan dan menguji ulang kebijakan pelepasan kawasan hutan yang terjadi di Gorontalo, dan juga yang ada di Sulawesi Barat, Sulawesi Utara, serta Maluku Utara,” kata Muhamad Djufrihard, juru bicara Koalisi Anti Mafia Hutan dan Tambang.

Koalisi juga mendesak KLHK meninjau kembali SK pelepasan kawasan hutan dan memberikan pengakuan wilayah kelola untuk menekan laju deforestrasi dan konflik yang ada di Gorontalo.

“Tingginya laju penghancuran hutan dan ektraksi sumber daya alam di Gorontalo tidak bisa lepas dari berbagai skenario intervensi korporasi terhadap kebijakan di daerah dan nasional,” tandas Djufri.

Tulisan sebelumnya dapat dibaca pada judul berikut:

Skenario Terselubung Perkebunan Sawit yang Membabat Hutan Pohuwato (bagian – 1)

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,