Puluhan perwakilan warga tergabung dalam Paguyuban Ujungnegoro, Karanggeneng, Ponowareng, Wonokerso dan Roban (UKPWR) bersama kuasa hukum pada Senin (31/8/15) tiba di PTUN Semarang. Mereka menggugat Surat Keputusan Gubernur Jawa Tengah Nomor: 590/35 Tahun 2015 soal persetujuan penetapan lokasi pengadaan tanah sisa lahan seluas 125.146 meter persegi. Lahan ini untuk pembangunan PLTU Batang.
Desriko, Juru Kampanye Energi Greenpeace Indonesia, kepada Mongabay, mengatakan, surat keputusan ini mendasari BPN Batang membebaskan lahan melalui penerapan UU Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum.
Gugatan yang didaftarkan 14 Agustus 2015 itu, mulai sidang pertama. “Gugatan masyarakat telah lebih dahulu masuk di PTUN Semarang, secara hukum persoalan tanah masih status sengketa antara proyek dan pemilik tanah,” katanya.
Dia menyayangkan, Presiden meresmikan proyek energi kotor ini, padahal pembebasan lahan belum sepenuhnya tuntas. Masih ada 20,7 hektar lahan dari 226 hektar keperluan proyek. Presiden, katanya, mendapatkan informasi tidak akurat mengenai pembebasan tanah dari pemrakarsa proyek. “Ini upaya pemberian informasi keliru terhadap Presiden.”
Warga Batang juga komplain kepada Japan Bank for International Cooporation, pendana utama proyek di Jepang. “JBIC masih belum memberikan keputusan akhir pendanaan proyek ini, hingga agak aneh apabila telah diresmikan sebelum financial closing.”
Karomat, pemilik lahan yang menggugat mengatakan, tetap akan mempertahankan lahan walau berhadapan dengan hukum sampai kapanpun. “Tanah itu satu-satunya harapan saya menafkahi anak dan istri, tidak ada kata lain selain mempertahankan.”
Walaupun Presiden Joko Widodo telah meresmikan PLTU Batang, Jumat (28/8/15), tidak menyurutkan hati warga berjuang mempertahankan hak tanah mereka.
“PLTU berdampak buruk pada lingkungan dan kesehatan warga, juga mengancam keberlanjutan lahan pertanian serta mata pencaharian petani dan nelayan hilang.”
Karomat juga menceritakan, saat peresmian PLTU warga dihalangi menemui Presiden, hingga mereka menggelar aksi membentangkan spanduk penolakan di tengah laut menggunakan kapal-kapal nelayan. Namun, aksi dihalangi aparat kepolisian, pol airud dan TNI-AL. Padahal, dia berharap, melalui aksi, Presiden melihat langsung penolakan mereka. Namun, aksi mereka dihadang aparat.