,

Masalah Belum Selesai, Waduk Jatigede Mulai Penggenangan

Meski menyisakan banyak masalah, penggenangan Waduk Jatigede di Sumedang, Jawa Barat, tetap berjalan sesuai jadwal Senin (31/8/15). Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Basuki Hadimuljono, meresmikan seremoni pengisian waduk ini seraya mengakui berbagai permasalahan seputar pembangungan masih ada dan berkomitmen untuk menyelesaikannya.

Waduk Jatigede dibangun di lahan seluas 6.783 hektar dengan area genangan 4.000 hektar, meliputi 28 desa di lima kecamatan.  Dikutip dari website setkab.go.id, pada hari itu, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) pengisian air sebagai tanda berakhir proses pembangunan Waduk Jatigede, di Sumedang, Jabar.

Basuki mengatakan, Jatigede merupakan waduk ke 231 di Indonesia,  namun satu-satunya di Sungai Cimanuk. Nanti, di sungai ini akan dibangun reservoir lain, yaitu dua bendung yaitu Beureum Beunget dan Rengrang.

Dia berharap, waduk ini bisa dimanfaatkan sepenuhnya masyarakat sekitar. “Hingga dapat meningkatkan intensitas tanam padi di daerah irigasi Rentang yang akan meningkatkan ketahanan pangan nasional,” katanya.

Pengisian waduk bertahap untuk memberikan kesempatan kepada tim monitoring dan tim evaluasi mengamati perilaku bendungan melalui instrumentasi yang terpasang. Setelah kondisi keamanan bendungan terkonfirmasi, katanya,  baru pemantauan muka air waduk menuju el+260 (flood supply level).

Basuki menyadari, meskipun sudah pengisian, permasalahan sosial terkait pembangunan waduk masih belum selesai 100%. Namun, dia berkomitmen menyelesaikan semua masalah itu.

“Kami menyadari masih terdapat permasalahan belum selesai 100%. Saya bekomitmen menyelesaikan semua masalah yang masih tertinggal. Ini komitmen dan perintah Presiden. Tidak ada niat pemerintah menyengsarakan rakyat dan pembangunan waduk ini semata-mata untuk kesejahteraan rakyat,” kata Basuki.

Kepala Balai Besar Wilayah Sungai Cimanuk-Cisanggarung Trisasongko Widianto mengatakan,  Waduk Jatigede akan berkapasitas tampungan 979,5 juta meter kubik. terbesar kedua setelah Waduk Jatiluhur, di Purwakarta.

Waduk ini akan memberikan manfaat mengairi daerah irigasi rentang di Indramayu sekitar 90.000 hektar, dan menyediakan air baku 3.500 liter/detik, PLTA 110 MW, pengendalian banjir, pariwisata dan perikanan tangkapan.

“Tahap awal, waduk akan diisi air sampai elevasi 204 meter selama 12 hari. Tahap kedua, dari 204-221 meter selama 48 hari,” kata Kepala Satker Pembangunan Waduk Jatigede Airlangga Mardjono, masih dari website setkab.go.id.

Penggenangan tahap awal, katanya, air akan mencapai wilayah permukiman penduduk di Desa Jemah, Kecamatan Jatigede, dalam 14 hari. Lalu, menggenangi Desa Cipaku, Kecamatan Darmaraja dalam 50 hari.

Hadir dalam pengisian Waduk Jatigede itu antara lain anggota Komisi V DPR RI Nusyirwan Soedjono, Minister Counsellor of Economic and Commercial of Embassy of People Republic of China in Indonesia Sun We De, sebagai donor sejak 2007, Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan, dan Plt Bupati Sumedang, Eka Setiawan.

Berbagai kalangan menyesalkan, semestinya pemerintah menyelesaikan dulu masalah baru penggenangan. Bahkan, beberapa organisasi masyarakat sipil, pada hari sama, aksi protes di depan Istana Presiden di Jakarta. Mereka meminta Presiden mengkaji ulang penggenangan waduk yang masih di kelilingi masalah ini.

“Ini tindakan di luar batas nalar. Di situ banyak masyarakat bermukim, ada cagar budaya dan  alam. Ini yang diterobos Pemerintahan Jokowi. Ingin meyakinkan investor bahwa mampu, proyek selesai,” kata Wahyu Nandang Herawan,  pengacara publik YLBHI dalam konferensi pers di Jakarta, Senin (31/8/15).

Pada Mei 2015, YLBHI bersama warga terdampak, mengajukan gugatan judicial review ke Mahkamah Agung terkait  Perpres Nomor 1 tahun 2015 yang dijadikan dasar oleh pemerintah penggenangan. “Hingga kini belum ada putusan tetapi penggenangan sudah jalan.”

Aksi protes penggenangan Waduk Jatigede, sebelum berbagai masalah diselesaikan pemerintah. Foto: Sapariah Saturi
Aksi protes penggenangan Waduk Jatigede, sebelum berbagai masalah diselesaikan pemerintah. Foto: Sapariah Saturi

Proses penggenangan, katanya,  tidak memperhatikan PP 37 tahun 2010 tentang bendungan. Khusus, Pasal 38, mewajibkan konstruksi pembangunan bendungan harus pembersihan lahan genangan, pemindahan penduduk dan pemukiman, penyelamatan benda bersejarah, serta pemindahan satwa liar.

Nandang juga menyoroti peran serta kepolisian dan TNI dalam proses penggenangan. Aparat diturunkan “membantu” warga merobohkan rumah. Seharusnya, panglima TNI dan Polri tidak menurunkan anggota. Keterlibatan mereka malah menakut-nakuti warga.

Kawasan Waduk Jatigede sebenarnya daerah patahan gempa hingga tidak cocok dibangun waduk karena rawan bencana. Hal itu diakui mantan Seskab Andi Widjayanto saat audiensi beberapa waktu lalu.

“Pertanyaannya, kenapa dipaksakan digenangi? Tidak boleh sama sekali digenangi. Itu risiko pemerintah. Infrastruktur sudah dibangun kenapa analisis salah? Kenapa dibangun, padahal menimbulkan masalah? Amdal pun sudah kadaluarsa.”

Fakta dari lapangan memperlihatkan, ada sebagian besar ganti rugi secara administrasi selesai tetapi uang belum bisa cair. Juga masih banyak ganti rugi belum jelas.

“Jika Jokowi peduli kepentingan masyarakat, persoalan ini harus didudukkan dengan baik. Belum lagi masyarakat rata-rata petani ketika dipindah apakah tetap jadi petani atau bagaimana?”

Belum lagi, anak-anak sekolah yang harus pindah, bagaimana proses belajar mengajar mereka. Infrastruktur seperti sekolah, Puskesmas, rumah ibadah dan lain-lain, peralihan juga belum jelas.

Edo Rakhman dari Wallhi Nasional mengatakan, Indonesia harus belajar dari negara pemberi pinjaman. Saat ini pemerintah membangun infrastruktur dengan dana  pinjaman, tapi dibebankan pada warga.

“Negara yang memberi pinjaman jangan mengabaikan pelanggaran hak azasi manusia. Proyek infrastruktur jangan membunuh manusia lain.”

Pemerintah, katanya,  membuat logika terbalik dalam penggenangan waduk ini. Proses penggenangan  memerlukan waktu tujuh bulan agar air penuh.  Kondisi ini menyebabkan pasokan air Cirebon dan Indramayu, terhenti yang bisa berdampak pada pertanian di sana.

“Alih-alih mendukung kedaulatan pangan, justru produksi akan terganggu. Juga akan mematikan lahan produktif warga. Pemerintah harus mempertimbangkan apakah betul harus digenangi?”

Muhammad Ali dari Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA) mengatakan, alasan pemerintah penggenangan waduk untuk kedaulatan pangan dan listrik. Kajian lapangan, dia melihat hal bertolak belakang.

Dia mengatakan, 28 desa di lima kecamatan ada 3.200 hektar sawah tergenang. Dalam satu tahun, menghasilkan 80.000 ton beras. “Klaim pemerintah waduk mengaliri 90.000-an hektar sawah. AGRA melihat bersamaan dengan proyek ini, alihfungsi lahan di Indramayu, Cirebon dan Karawang, meningkat. Dalam lima tahun terkahir, ada 15.000 hektar sawah jadi kawasan industri dan properti. Ini kontradiksi.”

Dia menilai, pembangunan waduk justru hanya menguntungkan kalangan industri. Apalagi, di kawasan itu juga dibangun Bandara Kertajati. “Pasokan air dan listrik bisa saja dari waduk itu.”

AGRA mencatat, ada 120 pengaduan warga. Namun sampai hari ini tidak ditanggapi. Laporan warga terkait salah ukur, salah klasifikasi tanah dan lain-lain.

Perpisahan antara guru dan wali siswa di sekolah Cipaku, salah satu yang mau digenangkan. Namun, hingga kini, para siswa belum tahu mau sekolah di mana. Foto: dari YLBHI
Perpisahan antara guru dan wali siswa di sekolah Cipaku, salah satu yang mau digenangkan. Namun, hingga kini, para siswa belum tahu mau sekolah di mana. Foto: dari YLBHI

Pembangunan waduk, mengusir kehidupan 45.000 nyawa. Mereka belum tahu pindah ke mana. Pemerintah katanya menyiapkan sembilan titik relokasi. “Itu bohong. Bagi enam desa yang masih memiliki tanah kas desa, mereka akan bangun posko. Ini kita sampaikan. Saya sepakat proyek ini harus berhenti. Ini melanggar hak azasi,” katanya.

Sekolah anak-anak terbengkalai

Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia Maria Ulfah Ansor juga menyikapi penggenangan ini dan imbas pada hak anak. Ada 982 murid PAUD/TK, 2.732 SD, 1.223 SMP dan 865 SMA terancam.

“Kami update lewat media, turun ke lapangan. Beberapa titik konsentrasi kami pemenuhan hak anak.”

Hasil klarifikasi  KPAI menunjukkan, warga tak tahu anak-anak akan sekolah kemana. Gurupun sama. kecuali SD Cisema tahu akan direlokasi ke salah satu desa. “Di Cipaku Sadang, Jemah dan Sukakersa, mereka tak tahu akan direlokasi kemana. Meski sudah ada instruksi mengemas dokumen penting.”

“SMP Negeri I Wadoakan direlokasi, ada jelas desa sudah proses pembangunan. Sudah ada untuk kelas VII tetapi kelas VIII dan IX belum. Hanya ada dua sekolah memastikan akan relokasi, yang lain belum.”

Begitu juga PAUD, TK dan Madrasah Diniyah yang sama-sama kebingungan.  Tidak ada kejelasan.

Dia ” menerima fotokopi dokumen Bappeda soal pemulihan. Cuma ada untuk SD dan SMP. PAUD, TK dan Madrasah Diniyyah,  tak ada. “Tidak terkomunikasikan. Untuk aspek kesehatan masyarakat juga tak tahu. Hak mendapatkan rumah tinggal layak saja mereka gak tahu. Aspek tumbuh kembang anak, ada sarana bermain tidak terfasilitasi.”

Dia juga mewawancarai anak-anak. Mereka tak tahu akan pindah sekolah mana. “Kami menyimpulkan dampak sosial pembangunan waduk tidak berorientasi pada perlindungan anak.”

KPAI meminta pemda dan DPRD agar memenuhi hak warga terlebih dahulu sebelum proyek dilanjutkan. Baik berhubungan dengan tempat tinggal, kesehatan, pendidikan dan lain-lain.

Dalam siaran pers, Direktur Eksekutif Walhi Jabar Dadan Ramdan mengatakan, dalam praktik pembangunan bendungan skala besar gagal mengatasi kekeringan dan kekurangan air.

Pada  2015, luasan wilayah kekeringan di Jawa Barat meningkat. Tahun ini, luasan lahan pertanian kekeringan mencapai 90.000 hektar, tahun lalu 60.000 hektar tersebar di wilayah selatan, tengah dan utara Jabar.

Dia melihat fakta, pengelolaan sumber daya air di DAS Citarum dengan tiga bendungan besar Jabar, seperti Saguling, Cirata dan Jatiluhur, gagal mengatasi masalah kronis kekeringan lahan pertanian dan kekurangan air bersih bagi kehidupan warga sekitar DAS Citarum.

“Lahan pertanian di Kabupaten Bandung, Bandung Barat, Subang, Karawang, Purwakarta, Bekasi, sebagian Indramayu dalam aliran air tiga bendungan itu mengalami kekeringan. Bukan saja lahan pertanian kering, air bersihpun sangat sulit. Bukan saja berdampak pada penurunan produksi pangan akibat gagal panen, namun kekeringan dan kekurangan air bersih juga berdampak pada konflik sosial warga, rebutan air terjadi.”

Dadan menyarankan, sebaiknya pemerintah mengkaji kembali proyek-proyek pembangunan bendungan di Jabar. Kondisi hutan makin menyusut dan degradasi DAS makin meningkat harus menjadi pertimbangan strategis pemerintah dalam mengelola air.

Pemerintah harus mengubah strategi penanganan kekeringan dan banjir kala hujan. Upaya-upaya nyata, katanya, seperti mencegah alihfungsi hutan dan lahan-lahan hijau di daerah-daerah tangkapan air, merawat kerusakan situ-situ alamiah dan buatan. Juga membangun embung-embung air, situ-situ dalam skala kecil, bukan bendungan atau waduk skala besar.

Meskipun belum ada kejelasan mereka apa pindah ke mana, tetapi rumah mereka, tempat hidup warga ini harus ditinggalkan demi pengisian Waduk Jatigede. Sekitar 28 desa mengalami nasib serupa. Foto: dari YLBHI
Meskipun belum ada kejelasan mereka apa pindah ke mana, tetapi rumah mereka, tempat hidup warga ini harus ditinggalkan demi pengisian Waduk Jatigede. Sekitar 28 desa mengalami nasib serupa. Foto: dari YLBHI
Komplain-komplain seputar pembangunan waduk begitu banyak, belum selesai, tetapi penggenangan tetap berjalan. Foto: Sapariah Saturi
Komplain-komplain seputar pembangunan waduk begitu banyak, belum selesai, tetapi penggenangan tetap berjalan. Foto: Sapariah Saturi
Rumah di Babakan Cipaku ini akan hilang, menjadi waduk...Foto: dari YLBHI
Rumah di Babakan Cipaku ini akan hilang, menjadi waduk…Foto: dari YLBHI
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , ,