,

Mengharukan, Santri Ini Korban Ke-11 di Lubang Tambang Samarinda

Sungguh malang nasib Muhammad Yusuf Subhan (11). Cita-citanya untuk menjadi santri di Pesantren Tursina, Pampang Samarinda yang berlokasi di jalan poros Samarinda-Bontang, kandas sudah. Belum genap sebulan belajar di sekolah berbasis agama itu, Yusuf ditemukan meninggal dunia di salah satu lubang tambang perlakuan kualitas air (water treatment quality) milik PT. Lanna Harita Indonesia (LHI), 24 Agustus 2015.

Kejadian berawal, ketika Yusuf beserta tiga temannya, sore itu, berenang di lubang maut tersebut. Sekitar pukul 17.30 Wita, saat ketiga temannya selesai mandi dan berangkat menuju pesantrean untuk mengaji, Yusuf belum terlihat. Hingga pukul 19.00 Wita, ternyata Yusuf belum muncul juga. Khawatir terjadi sesuatu, pihak pesantren memutuskan untuk mencarinya.

Sekitar pukul 20.30 Wita, Yusuf ditemukan, namun dalam kondisi tidak bernyawa dan ada luka di bagian kepala. Ustad Hasan, salah seorang ustad di pesantren, membenarkan jika santrinya itu meninggal di lubang tambang. “Air dari lubang tersebut, biasa digunakan warga dengan menggunakan tendon. Tanah pesantren ini merupakan wakaf dari PT. LHI,” tuturnya.

Tewasnya Yusuf yang merupakan anak dari M. Subhan dan Siti Komariah asal Pinrang, Sulawesi Selatan ini, menambah daftar panjang kasus kematian anak di lubang bekas tambang di Samarinda, Kalimantan Timur. Dalam rentang waktu empat tahun (2011-2015) sudah 11 anak tak berdosa menjadi korban yang hingga kini tidak ada kejelasan penyelesaian kasus hukumnya.

Citizen Lawsuit

Merah Johansyah, Dinamisator Jatam Kaltim, menuturkan kasus tenggelamnya anak di lubang bekas tambang di Samarinda merupakan salah satu materi gugatan yang disampaikan oleh Jatam Kaltim dan elemen sipil lainnya melalui Gerakan Samarinda Menggugat di Pengadilan Negeri Samarinda. Dalam keputusannya, Majelis Hakim Sugeng Hiyanto pada 16 Juli 2014, secara tegas menyatakan pemerintah gagal menyediakan lingkungan hidup yang aman dan sehat untuk warga Kota Samarinda. “Putusan tersebut nyatanya tidak berdampak dengan jumlah korban yang terus bertambah. Mau berapa lagi?” ujar Merah, Minggu (30/8/15).

Desakan untuk menyelesaikan kasus tenggelamnya bocah di lubang eks tambang batubara juga muncul dari Komnas HAM. Mei lalu, tim dari Komnas HAM mengunjungi dan memantau lubang tambang yang menewaskan bocah sebelumnya, Ardi dan Raihan. Setelah kunjungan itu, Komnas HAM menyimpulkan bahwa ada dugaan pelanggaran HAM dalam bentuk pembiaran dan pengabaian oleh negara.

Komnas HAM saat itu juga mendesak Kepolisian agar segera menangani persoalan hukum terkait dengan tewasnya anak di lubang tambang. Ini dikarenakan, baru satu kasus saja yang diproses hingga vonis pengadilan. Yakni, meninggalnya Eza (6) dan Erma (6), yang tercebur ke lubang tambang PT. Panca Prima Mining, Desember 2011. Namun, hanya pihak kontraktor yang dihukum dua bulan penjara dengan membayar biaya perkara Rp1.000.

“Pihak kepolisian selalu mengatakan butuh waktu untuk menangani kasus seperti ini, sementara pemerintah selalu mengatakan itu merupakan tanggung jawab perusahaan,” ujar Merah.

Menurut Merah, pemerintah harusnya melakukan antisipasi karena mempunyai kewenangan untuk melakukan supervisi dan evaluasi atas operasi dan perizinan perusahaan tambang. “Pemerintah punya penyidik pegawai negeri sipil (PPNS), seharusnya mereka bisa menemukan pelanggaran yang dilakukan perusahaan apakah ditegur dahulu atau diminta untuk memperbaiki keamanan lingkungan.”

Merah melanjutkan, Pemerintah Kota Samarinda tidak pernah belajar dari pengalaman dan terus menutup mata atas kejadian seperti ini. “Semoga dengan kewenangannya sekarang, Gubernur Kalimantan Timur tidak melakukan hal yang sama.”

Terkait lokasi tenggelamnya Yusuf, Senny Sebastian dari Jatam Kaltim memaparkan bahwa jarak antara lokasi dengan Pesantren Yayasan Tursina sekitar 210 meter. Di lokasi, tidak ditemukan pos penjaga guna mencegah akses warga karena wilayah itu berbahaya. “Setelah kejadian, 25 Agustus, perusahaan baru memasang pagar berupa patok ulin yang diberi kawat berduri,” ujar Senny.

PT. Lanna Harita Indonesia beroperasi di wilayah Kota Samarinda dan Kabupaten Kutai Kartanegara dengan area konsensi 30.018 hektar. Operasi perusahaan yang berafiliasi dengan Lanna Resources di Thailand ini berakhir pada 2031.

Lokasi pondok pesantren dengan lubang tambang milik PT. Lana Harita Indonesia
Lokasi pondok pesantren dengan lubang tambang milik PT. Lanna Harita Indonesia
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,