, , ,

Berikut Ini Langkah dan Strategi Tim Terpadu Atasi Kebakaran Hutan

Walhi menilai, pemerintah gagal memenuhi target tahun ini bebas asap. Organisasi lingkungan inipun membuka posko bagi warga yang ingin mendaftarkan gugatan class action kepada pemerintah.

Setelah rapat lintas kementerian dan lembaga Sabtu (5/9/15), yang menghasilkan pembentukan satuan pengendalian nasional operasi darurat kebakaran hutan (satgas darurat asap), pada Senin (7/9/15), tim terpadu rapat lagi di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dipimpin Siti Nurbaya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Dari pertemuan yang dihadiri Dirjen Perkebunan, Kementerian Pertanian dan jajaran serta dari Kementerian Kesehatan itu dibahas berbagai upaya dari pemadaman, penegakan hukum, sistem pengendalian serta administrasi. Keluarlah beberapa langkah dan strategi mengatasi sekaligus mencegah kebakaran hutan dan lahan yang menyebabkan kabut asap hingga menimbulkan gangguan kesehatan ini.

“Jadi tadi kita ketemu. Kami semua rapat, (Kementerian) Kesehatan, Dirjen Perkebunan. BNPB tak jadi rapat karena ada sertijab,” kata Siti Nurbaya, usai pertemuan.

Dia mengatakan, bahasan ini penting menghadirkan Dirjen Perkebunan, Kementerian Pertanian dan Kementerian Kesehatan. Dirjen Perkebunan, karena kebakaran-kebakaran banyak di kebun.  Dari Kementerian Kesehatan, katanya, ingin tahu bagaimana upaya menangani dampak kesehatan yang terjadi dari kebakaran hutan dan lahan.

Jadi dari berbagai diskusi dengan para menteri, sekjen dan dirjen ini, kata Siti, mereka keluar dengan keputusan-keputusan mengenai, pertama, satuan pengendalian  nasional operasi darurat kebakaran hutan. Kedua, menugaskan beberapa eselon satu untuk menjaga di beberapa provinsi dengan tugas meng-update data, mengkonsolidasikan semua unit pelaksanan teknis (UPT) dan semua sumber daya yang memungkinkan ada di daerah buat  membantu gubernur.

Ketiga, mendampingi gubernur dalam melihat persoalan dan mengambil keputusan. Keempat, mengindentifikasi masalah dan melihat fokus program  atau persoalan apa di provinsi itu. Siti juga meminta detasering (pemindahan) Manggala-manggala Agni yang tak efektif baik peralatan maupun personil yang baik ke daerah-daerah yang memerlukan dan sangat kritis.

Kelima, tim penegakan hukum, mulai Selasa (8/9/15) akan berangkat ke lapangan dan komprehensif antara Kementerian Pertanian, KLHK, polisi dan lain-lain.

Mereka turun bersama-sama ke lapangan agar bisa mengambil tindakan dengan cepat. Ada  PPNS kehutanan, PPNS lingkungan, PPNS perkebunan dan  Polda. “Jadi multidoors, terus sedapat-dapat mungkin memakai aturan yang bisa dikenakan, ya dikenakan. Selama ini saya minta dirjen turun tapi hati-hati, rapi dan pelan. Sekarang ga usah lagi, yang penting administrasi terjaga.”

Terkait penegakan hukum, katanya, dalam rapat sepakat daerah menjadi komando. Mengapa? Karena perizinan kebanyakan di kepala daerah, baik bupati maupun gubernur–kala lintas kabupaten kota. “Itulah, mengapa saya pas menggunakan istilah satuan pengendalian untuk tim ini karena kebanyakan operasi di daerah.” Komandan gubernur. Kecuali nanti ada mobilisasi TNI,  maka chief in command adalah Danrem. Daerah juga.”

Setelah turun bersama itu, katanya, pembekuan izin perusahaan bisa dilakukan. “Setelah turun lapangan, lihat masalah. Kalau perlu police line, langsung proses. Di Jakarta, kita bahas dan keluarkan rekomendasi ke gubernur, bupati, bahwa ini dibekukan dulu izin. Jadi paralel. Gak usah nunggu-nunggu. Kalau nunggu bisa dua tahun. Atau malah bisa gak jadi-jadi,” katanya. Lalu keenam, radiogram, berisi catatan-catatan kunci yang harus diselesaikan pemda.

Siti menjabarkan, beberapa fakta memicu terjadi karhutla. Pertama, kenyataan area Sumatera dan Kalimantan, kebanyakan konsesi swasta, taman nasional dan hutan lindung. Kedua, kenyataan konsesi perusahaan berciri tuan tanah (land lord) dengan lahan yang luas. Ketiga, kenyataan ada petani kecil (small holders) memakai cara-cara tradisional dalam membuka lahan dan sistem pembakaran (slash and burnt).

Keempat, fakta, ongkos buka lahan mahal dengan perbandingan per hektar antara Rp700 ribu (pola membakar), Rp2 juta jika pembukaan lahan tanpa membakar. Kelima, fakta banyak petani kecil tidak cukup modal untuk land clearing.

Keenam, kenyataan baik pengusaha maupun petani ada yang berperilaku oportunistik, tidak mau keluar uang banyak. Sisi lain, petani mau uang.

Ketujuh, oportunistik juga terjadi di kalangan penyelenggara negara baik atas alasan uang ataupun kompetisi kekuasaan yang beriringan dengan bisnis seperti para bupati bahkan gubernur.

Dengan berbagai kenyataan itu, kata Siti, mereka menyusun strategi makro dan mikro selain upaya pemadaman. Ada beberapa poin strategi. Pertama, pengelolaan berkelanjutan. Dalam membuka lahan harus disesuaikan baik teknik maupun kontrol sampai secara bertahap menghilangkan cara-cara ekstensifikasi, sudah harus intensifikasi.  Ini berlaku baik buat petani maupun perusahaan pemilik konsesi. Untuk petani, misal, diberi pupuk, teknologi dan lain-lain.

Kedua, pemberian subsidi kepada petani untuk modal land clearing atau melalui dana alokasi khusus selain yang sudah ada. Atau memberikan kredit pertanian dengan bunga kecil bahkan nol persen.

Ketiga, pengaturan tata air gambut dengan mengatur kerapatan drainase, tutup drainase yang ekses atau berlebihan dan ditata ulang dengan canal blocking.

Keempat, pengelolaan berkelanjutan dengan menyatukan masyarakat di dalam penggunaan lahan yang ada. Swasta dan masyarakat dalam satu kesatuan ekosistem, katanya,  harus punya ritme perlindungan lingkungan senada. Untuk itu, peran organisasi masyarakat sipil akan sangat membantu. “Bergeser dari advocacy skeptic menjadi advocacy bersama. Termasuk upaya cegah kebakaran dan pemadaman jadi concern atau perhatian bersama,” ujar dia.

Kelima, penerapan pengawasan dan penalti baik perusahaan dan petani. Terhadap petani, ucap Siti,  dengan orientasi pembinaan pengawasan, baru penegakan hukum. Kepada swasta, yang melanggar langsung penegakan hukum.

Keenam, penguatan kelembagaan pemerintahan tingkat kecamatan dan desa. “Kuatkan peran camat seperti dulu saat sebagai aparat dekonsentrasi yang dikontrol langsung gubernur, namun dalam nilai-nilai desentralisasi saat ini, dimana camat sebagai agen pembangunan belum nampak. Kuatkan kepemimpinan kecamatan, yakni, camat, danramil, kapolsek dan kacabjari, dan lain-lain yang ada di lokasi relevan seperti Lanud.”

Ketujuh, mengoptimalkan potensi dunia pendidikan seperti akademisi, peneliti, mahasiswa dan pelajar baik dalam riset maupun kuliah kerja nyata dan dalam pengawasan sosial. Pengawasan sosial, katanya, harus menjadi bagian otomatis di masyarakat dalam memantau pelaksanaan pemerintahan di lapangan. Kedelapan, penguatan elemen-elemen pembinaan baik sarana prasarana, maupun diklat-diklat, penyuluhan kepada petugas dan masyarakat peduli api.

Gagal bebas asap

Sementara itu, Walhi menilai, target Presiden Joko Widodo,  2015, bebas asap, gagal. Saat ke Sungai Tohor 2014, Presiden melontarkan komitmen tahun ini Indonesia bebas asap. Namun realisasi jauh dari harapan. Kebakaran terulang, terparah di 66 kabupaten lima provinsi yakni Riau, Jambi, Sumsel, Kalbar dan Kalteng.

Abetnego Tarigan, Direktur Eksekutif Walhi Nasional di Jakarta, pekan lalu mengatakan, target bebas asap gagal. “Tanggung jawab terbesar di pemerintah sebagai pihak yang bertanggung jawab menyelesaikan persoalan,” katanya.

PT Central Sawit Sejahtera, Kalteng, yang disegel KLHK, belum lama ini. Foto: Save Our Borneo
Lahan PT Central Sawit Sejahtera, Kalteng, yang terbakar dan disegel KLHK, belum lama ini. Foto: Save Our Borneo

Dia mengatakan, urusan asap bukan cuma persoalan perilaku, juga struktural.  Titik api banyak ditemukan di wilayah konsesi. Seharusnya, ini jadi perhatian serius pemerintah dengan review perizinan.

“Pantauan kami, KLHK sudah berupaya menangani asap sejak awal tahun. Tapi yang kita amati, yang dilakukan hanya hal teknis. Aktivitas seperti pemadaman bersama TNI dan lain-lain. Isu sentral soal perizinan, rehabilitasi dan perlindungan kawasan gambut tak tersentuh.”

Dia meminta, pemerintah segera menginstruksikan kepala daerah gerakan serentak pemenyekatan kanal, seperti yang Presiden lakukan di Sungai Tohor. Cara ini, katanya, cukup efektif membuat lahan gambut basah. Lalu, pemberian sanksi kepada pemegang konsesi sawit yang membakar hutan dan lahan.

“Pemerintah juga harus menghentikan penerbitan izin baru sebagai kesempatan evaluasi terhadap izin yang diberikan. Termasuk evaluasi pengawasan oleh pemerintah terhadap izin yang keluar.”

Anton Wijaya, Direktur Eksekutif Walhi Kalbar mengatakan, di Kalbar, sebenarnya ada  inisiatif Polda Kalbar mengeluarkan maklumat mengatasi persoalan kebakaran dan asap. Namun, di lapangan, kontraptoduktif.

“Alih-alih memastikan pembakar hutan menjadi takut, yang ada justru mendapat resistensi dari masyarakat lokal. Karena masyarakat membuka lahan dengan membakar dan kearifan lokal malah dipidana. Kebalikan, korporasi membakar, data sudah ada, tinggal keberanian aparat hukum tapi sampai saat ini belum ada diseret ke pengadilan.”

Masyarakat adat membakar lahan dengan kearifan lokal, katanya, seharusnya dijaga bukan dipidana. Sepanjang Juli-Agustus, ada 11 masyarakat dipidana. Maklumat itu, hanya menimbulkan kemarahan dan resistensi masyarakat tetapi tidak menjawab penyebab kebakaran.

“Kapolda Kalbar seharusnya mencabut maklumat. Sebab titik api justru 80% di konsesi perkebunan. Perusahaan justru tidak ditindak.”

Dia meminta penegakan hukum diterapkan pada stakeholder yang memiliki mandat dan wewenang perbaikan tata kelola sumber daya alam, namun tak menjalankan. Pemerintah yang tidak menjalankan fungsi, harus ditindak.

Dia menilai, paradigma dan pendekatan pemerintah dalam menyikapi karhutla dan asap sebagai proyek. “Proses di bagian terakhir. Responsif kala api berkobar. Langkah preventif harus prioritas. Soal budget jadi prioritas pemadaman. Edukasi, penindakan perusahaan tidak dilakukan.”

Musri Nauli, Direktur Eksekutif Walhi Jambi juga bicara. Dia mengatakan, titik api kebanyakan di lahan gambut. Sebuah ekosistem penting sebagai penangkap air tetapi dirusak HTI, sawit dan aktivitas lain.

“Pola ini terus berulang dengan modus canggih dan rapi. Tempat terbakar sama setiap tahun. Gambut memanjang dari Riau sampai Sumsel sudah hancur,” katanya. Persoalan asap,  bukan hanya bencana juga perampasan hak orang beraktivitas.

Hadi Jatmiko, Direktur Eksekutif Walhi Sumsel mengatakan, pemerintah tak serius menggugat perusahaan. Memang di Sumsel, ada PT Bumi Mekar Hijau (APP grup) digugat pada 2014.

“Namun kami melihat gugatan tak serius, hanya formalitas. Sampai saat ini tak terlihat. Jangan sampai ini hanya upaya mencuci kejahatan perusahaan dengan menggunakan tangan pemerintah dan pengadilan.”

Dia menilai ketidakseriusan pemerintah, menjadi penyebab kebakaran hutan dan lahan terus berulang setiap tahun.

“Persoalannya, hanya pemadaman. Penegakan hukum di konsesi kebakaran, review izin, tak pernah disentuh.”

Senada dikatakan Direktur Eksekutif Walhi Kalteng, Arie Rompas. Dia mengapresiasi penyegelan lokasi kebakaran di beberapa perusahaan perkebunan di Kalteng. Namun, belum cukup jika tidak disertai rehabilitasi lahan gambut. Tantangan selanjutnya, membuktikan kesalahan di persidangan. Persoalan ini, katanya,  harus dilihat dengan pendekatan lingkungan.

“Pemerintah harus menghentikan perizinan perusahaan yang mengakibatkan konversi lahan gambut luas di Kalteng.”

Class action dan buka posko daftar gugatan

Dengan berbagai karhutla ini,Walhi akan mengajukan gugatan class action pada pemerintah. Walhi Kalteng sudah mendirikan posko sejak seminggu lalu. Warga bisa mendaftarkan gugatan. Posko akan didirikan di Sekretariat Walhi empat provinsi yang lain.

“Kami mengajak warga berjuang menuntut hak mendapatkan kesehatan dan lingkungan yang baik. Ini pertarungan penting karena pemerintah gagal menjalankan tugas. Hampir semua sektor dirugikan kecuali pemilik konsesi,” kata Abetnego.

Walhi pernah menggugat pemerintah soal kebakaran hutan. Bedanya, gugatan kali ini menyasar pada hitung-hitungan kerugian warga. Walhi memfasilitasi masyarakat ikut menggugat.

Dua papan pengumuman ISPU di Pekanbaru, Kamis (3/9/15), menunjukkan tanda berbahaya, meningkat dari kondisi sebelum itu, status tidak sehat. Foto: Made Ali
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , , , , , , , , ,