Walau Pemerintah Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo berambisi menjadikan Indonesia sebagai negeri maritim kelas wahid di dunia, namun kenyataannya hak-hak nelayan pada saat ini justru semakin dikebiri. Kondisi itu sangat memprihatinkan dan harus segera diperbaiki.
Demikian diungkapkan Ketua Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) Riza Damanik di Jakarta, Senin (07/09/2015). Menurut dia, Pemerintah Jokowi saat ini dinilai sudah melewati batas harapan dari para nelayan yang menjadikan laut sebagai sumber kehidupan mereka.
“Bagaimana jadinya kalau hak-hak nelayan mulai dikebiri? Nasib mereka bagaimana?” ujar Riza.
Dalam pandangan dia, proses pengebirian hak-hak nelayan mulai dilakukan secara sistematis di masa pemerintahan Jokowi sekarang. Proses tersebut dilakukan melalui dua skema. Rinciannya, kata dia, adalah nelayan dirampas ruang hidup, tempat tinggalnya. Dalam kasus ini, hak nelayan hilang misalnya karena ada proyek reklamasi pantai.
“Saat nelayan harus kehilangan tempat tinggalnya karena ada reklamasi, maka nelayan dikebiri untuk menjadi susah. Itu sama sekali bukan kebijakan yang benar dan baik,” tutur dia.
Selain penggusuran ruang hidupnya, Riza menyebutkan, skema lain yang dinilai muncul dan terjadi di masa pemerintahan Jokowi, adalah dengan meminggirkan nelayan dari tempat mata pencahariannya. Dalam hal ini, nelayan digusur dari lautan yang menjadi sumber kehidupannya.
“Kalau sudah demikian, jelas bahwa nasib nelayan digusur dengan sangat sistematik,” tandasnya.
Tiga Indikator
Dua skema yang menjadi sumber penggusuran nasib nelayan di masa pemerintahan Jokowi tersebut, menurut Riza Damanik, tidak akan pernah berakhir jika tidak ada yang menghentikannya. Dan, di antara pihak yang bisa menghentikannya, adalah Pemerintah Indonesia.
“Pemerintah adalah kunci utama dari masalah ini. Harus ada tindakan segera mengatasi masalah ini,” cetus dia.
Akan tetapi, walau Pemerintah menjadi aktor utama untuk menyelesaikan masalah penggusuran hak-hak nelayan, namun kenyataannya hal itu sama sekali tidak terjadi saat ini. Kata Riza, kondisi itu yang terlihat saat ini.
Ada tiga indikator yang memperlihatkan belum ada perhatian dari Pemerintah saat ini. Yang pertama, Pemerintah tidak berusaha mengerem atau melakukan moratorium terkait reklamasi atau pembangunan kota-kota pantai.
“Contoh nyata adalah proyek reklamasi pantai di Teluk Jakarta dan Teluk Benoa. Yang kita tahu, banyak studi itu tidak menjelaskan bahwa proyek tersebut tepat dilaksanakan. Pada saat bersamaan, masyarakat juga berkeberatan,” papar dia.
“Itu sudah jelas skenario reklamasi akan berdampak buruk pada lingkungan. SK Gubernur DKI tahun 2014 tentang reklamasi tu terindikasi bertentangan dengan perundang-undangan yang ada,” tambah dia.
Indikator kedua yang memperlihatkan bahwa pemerintah belum perhatian, kata Riza, adalah ketiadaan solusi dari Pemerintah pasca penegakan hukum di laut.
“Kita tentu memberikan apresiasi, Pemerintah tak henti-henti memerangi praktek illegal fishing. Tapi pada saat yang bersamaan, pemerintah tidak juga menyelesaikan masalah cantrang, atau pembudidaya lobster,” ucap dia.
“Ini sudah 8 (delapan) bulan tanpa ada kejelasan. Jangan dibiarkan berlarut-larut seperti ini. Ada 10 ribu lebih KK (kepala keluarga) di Pantura yg menganggur karena kebijakakan cantrang,” tambahnya lagi.
Indikator terakhir yang terlihat adalah belum adanya reaksi dari Pemerintah untuk mengatasi masalah ini. Hingga saat ini, belum ada yang mengambil inisiatif untuk mengoreksi perundang-undangan yang ada terkait pemanfaatan sumber daya laut dan pulau-pulau kecil dan terluar untuk dikelola oleh asing.
“UU Perikanan, juga sama. Harus ada revisi atau perbaikan. Begitu juga Peraturan Presiden harus diperbaiki. Jika tidak direvisi, maka sah-sah saja asing untuk masuk Indonesia. Peraturan yang dimaksud, adalah UU No.45 Tahun 2009 tentang Perikanan, dan Perpres No.39 Tahun 2014 tentang usaha yang dibuka dan ditutup untuk penanaman modal asing,” papar dia.
Akui Belum Ada Inisiatif
Terpisah, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti, mengakui kalau saat ini peraturan dan perundang-undangan yang ada belum melindungi nelayan sepenuhnya. Menurutnya, hal itu karena belum ada revisi peraturan atau perundang-undangan terkait.
“Bagaimana mau melindungi nelayan sepenuhnya, jika peraturannya sendiri belum melindungi secara penuh. Ini jadi PR (pekerjaan rumah) yang harus diselesaikan,” ungkap Susi.
Namun demikian, Susi mengungkapkan, saat ini peraturan-peraturan tersebut ada yang sudah masuk rencana revisi.”Salah satunya, Perpres yang akan direvisi,” tegasnya.
Jika peraturan atau perundang-undangan sudah diperbaiki, Susi meyakini perlindungan terhadap nelayan bisa dilakukan dengan maksimal. Jangan sampai, perlindungan terhadap profesi nelayan dilakukan, tapi perlindungan terhadap wilayah tangkapan nelayan justru tidak diliakukan.
“Itu yang terjadi sekarang. Nelayan profesinya terlindungi, karena sudah ada dalam Undang-Undang Perikanan. Tapi bagaimana dengan wilayah tangkapan nelayan, apakah sudah terlindungi juga? Itu yang masih menjadi tanda tanya,” ungkap dia.
Karena melihat belum ada perlindungan penuh terhadap nelayan, Susi berpendapat kalau keberadaan UU Perikanan saat ini juga belum maksimal.”Ini yang harus diperbaiki. Semoga nelayan ke depan bisa terlindungi dengan maksimal,” pungkas dia.