,

Beginilah Kala Kemarau Panjang Melanda

Kering kerontang. Tak ada padi atau singkong, seperti biasa. Hanya tanah kering, pecah-pecah. Sedikit reremputan hijau dan sisa tanaman padi mengering. Berserakan. Begitulah kondisi lahan garapan Ratemi, warga Dusun Winong, Desa Slasar, Kecamatan Kesugihan, Cilacap, Jawa Tengah.

“Musim kemarau biasa tanam singkong, tetapi tidak bisa. Tidak ada air, tanah retak semua,” katanya.

Lebih 20 tahun dia menggarap lahan sekitar seperempat hektar. Padi ditanam musim hujan dan singkong kala kemarau. Sekitar 500 meter dari lahan, ada Sungai Yasa. Namun tidak ada bantuan pemerintah mengalirkan air sungai ke lahan warga.

Juni lalu, Ratemi seharusnya mulai menanam singkong namun tidak bisa karena kekeringan. Tidak hanya lahan pertanian, beberapa air sumur warga kuga kering.

“Kalau rumah saya tidak kekeringan, air masih banyak dan bersih,” katanya bersyukur.

Sakijan mengalami hal serupa. Dia hanya memandangi lahan pertanian yang mengering. Selama tak bisa menanam, dia beternak kambing. Namun, dia kesulitan mencari pakan kala kemarau panjang. “Susah cari rumput pakan ternak Apalagi kemarau panjang ini.”

Dia berencana menjual menjual semua kambing menjelang Hari Raya Idul Adha. Dia kasihan jika kambing-kambing ini susah makan, minumpun susah.

Daerah rawan kekeringan meluas

Badan Penggulangan Bencana Daerah (BPBD) Cilacap menyatakan, kekeringan melanda enam kecamatan sejak Juli 2015. BPBD sudah mendistribusikan lebih 215 tangki untuk 15.000 jiwa, dan memberikan bantuan penampung air.

Enam kecamatan itu, Bantarsari, Gandrungmangu, Kawunganten, Patimuan, Kedungreja dan Kesugihan. Data BPBD Cilacap, awalnya memprediksi 77 desa di 13 kecamatan rawan kekeringan dan krisis air bersih.

“Pendataan hingga akhir Agustus, ada 84 desa di 15 kecamatan rawan kekeringan,” kata Kepada BPBD Cilacap, Supriyanto.

Gunawan, Kepada Dinas Pertanian dan Peternakan Cilacap mengatakan, ratusan hektar sawah tadah hujan di Cicalap terancam gagal panen dampak kekeringan. Ada sekitar 4.492 hektar lahan tak ada suplai air.

Data petugas POPT-PHP (Pengamat Hama Penyakit), kekeringan padi kategori ringan dan berpotensi diselamatkan 2.816 hektar. Kekeringan sedang 1.123 hektar. Adapun tanaman tadah hujan 553 hektar alami kekeringan berat atau 80% akan gagal panen.

“Di Kecamatan Cipari, dari 2.150 hektar sawah, 190 hektar puso. Mayoritas sawah tadah hujan,” katanya.

Gunawan menambahkan, sudah melakukan pompanisasi memanfaatkan setiap sumber air di sekitar persawahan, seperti sungai, sumur atau sumber lain. Mereka juga mendorong kepada desa segera mengusulkan pembuatan embung ke Balai Besar Wilayah Sungai Citanduy. Namun, terkendala lahan yang milik pribadi atau warga. “Jadi kami dorong petani membuat embung mini di sekitar sawah.”

BMKG memperkirakan, musim hujan mundur di beberapa wilayah, terutama bagian timur dan selatan. EL-Nino mebawa dampak kekeringan panjang di beberapa daerah seperti Sumatera Selatan, Lampung, Jawa, Bali, NTB, NTT dan Sulawesi Selatan.

Kekeringan lahan pertanian  dan tidak adanya bantuan pasokan air membuat petani lahan pasir tidak bisa menanam. Foto: Tommy Apriando
Kekeringan lahan pertanian dan tidak adanya bantuan pasokan air membuat petani lahan pasir tidak bisa menanam. Foto: Tommy Apriando

Deputi Bidang Penanganan Darurat BNPB, Tri Budiarto kepada Mongabay mengatakan, kemarau ini di Jawa, Bali dan Nusa Tenggara, terjadi defisit air 20 miliar meter kubik. Kekeringan melanda 16 provinsi meliputi 102 kabupaten/kota dan 721 kecamatan di Indonesia hingga akhir Juli 2015. Lahan pertanian 111 ribu hektar mengalami kekeringan.

Pengaruh EL-Nino, curah hujan berkurang di beberapa wilayah Indonesia, sulit diredam karena fenomena global. Berbagai upaya dilakukan dari menerapkan teknologi tepat guna dan upaya-upaya konvensional lain dropping air bersih, pembuatan sumur, embung, dan lain-lain. Upaya-upaya mikro ini, katanya, efektif skala tertentu tetapi perlu penerapan teknologi skala besar guna menambah pasokan air.

Adapun penanggulangan bencana kekeringan melalui teknologi modifikasi cuaca (TMC) atau hujan buatan oleh UPT Hujan Buatan BPPT di bawah koordinasi BNPB. TMC, katanya, prioritas daerah-daerah endemis kekeringan sekaliu sekaligus lumbung beras nasional, yaitu Jabar, Jateng, Jatim, Sulawesi Selatan, Sumatera Selatan, Lampung, NTT dan NTB.

Tahap awal, TMC kekeringan selama 90 hari.  Operasi dikendalikan dari posko di Lanud Halim Perdanakusuma, dengan daerah target Jawa terutama Jabar dan Jateng. TMC dengan analisis dan prediksi cuaca harian, memantau pertumbuhan awan, lalu penyemaian awan menggunakan pesawat CN-295 milik TNI-AU, yang mampu mengangkut bahan semai 2,8 ton.

“Untuk memantau pertumbuhan awan dengan radar cuaca milik BMKG di Cengkareng, Cilacap, Semarang dan Surabaya. Juga pengukuran cuaca pada pos-pos meteorologi di Jabar dan Jateng.”

Waduk solusi?

Sementara itu, Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Basoeki Hadimoeljono mengatakan, jika Indonesia ingin berdaulat air, ditinjau dari segi ketersediaan memang sudah harus ada tampungan-tampungan air lebih banyak.

Membangun tampungan air besar, katanya, salah satu cara mewujudkan kedaulatan air. Jadi, waduk cukup manjur dalam mengatasi kekeringan terutama untuk pertanian.

Data Kementerian PUPR, Indonesia saat ini memilik 230 bendungan besar, 91 waduk yang dimonitor selama kemarau, tidak ada satupun kekeringan. Dari total irigasi pertanian 7,1 juta hektar, 1 juta hektar dijamin waduk. “Dari jumlah itu, kekeringan tak lebih 1.000 hektar,”  katanya dalam dialog bertema “Merdeka 70 Tahun, Wujudkan Kedaulatan Air.” di Balairung UGM, akhir Agustus.

Pemerintah, kata Basuki, kini menargetkan pembangunan 49 waduk baru hingga 2019. Jumlah irigasi dari waduk juga ditingkatkan. Saat ini, baru 14% irigasi dari waduk. “Kita akan tingkatkan hingga 20%.”

Guru Besar Fakultas Pertanian UGM, Azwar Maas mengatakan, mengantisipasi kekeringan perlu budaya memanen air hujan. Juga perlu manajemen lingkungan terutama di daerah aliran sungai (DAS) baik hulu maupun hilir.

“Hutan di hulu harus dijaga, air yang diresapkan sangat diperlukan hilir  yang memproduksi tanaman pangan. Saya mengapresiasi komunitas-komunitas restorasi sungai yang menjaga ekologi sungai,” kata Azwar.

Sakijan, petani yang sementara setop menanam karena kemarau. Kini, dia beternak kambing. Itupun kesulitan mencari pakan ternak dan air minum. Foto: Tommy Apriando
Sakijan, petani yang sementara setop menanam karena kemarau. Kini, dia beternak kambing. Itupun kesulitan mencari pakan ternak dan air minum. Foto: Tommy Apriando
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , , , , ,