, ,

Koalisi Ingatkan KPK agar Tak Jadikan Korsup Tutup Jalan Penegakan Hukum

Sejumlah organisasi tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil Kalimantan Kawal Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam (GN-SDA) mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak menjadikan koordinasi dan supervisi (korsup) sebagai jalan buntu penegakan hukum. Bagi Koalisi, korsup penting, tetapi penindakan harus tetap berjalan. Ini terungkap dalam rapat konsolidasi organisasi masyarakat sipil Kalimantan, Senin (7/9/15) di Pontianak.

Konsolidasi digelar menjelang koordinasi monitoring dan evaluasi (kormonev) perumusan rencana aksi GN-SDA dengan KPK pada 8-9 September 2015,  di Pontianak.

Dalam policy brief Koalisi Kalimantan Kawal GN-SDA, KPK diminta menindak tegas pelaku pelanggaran, baik perizinan, kewajiban keuangan, dan tata usaha sumber daya alam. Ini sangat rentan praktik suap dan korupsi.

KPK juga didesak membuka partisipasi masyarakat dalam pengelolaan SDA dan membuka seluruh data serta informasi korsup GN-PSDA.

Kepada kepolisian dan kejaksaan, Koalisi meminta menghentikan praktik kriminalisasi dan kekerasan terhadap masyarakat yang mempertahankan hak-hak terkait sumber daya alam.

Potensi korupsi

Berdasarkan catatan Koalisi, berbagai penyimpangan berpotensi korupsi dinilai mewarnai upaya implementasi GNP-SDA Kalimantan. Selama 2009-2015, total kerugian negara diperkirakan Rp30 triliun.

Angka ini, merujuk luas kawasan hutan Kalimantan bagi dunia usaha. Terhitung, total 47.731.226 hektar atau 88.9% dikuasai perusahaan dari 53.544.820 hektar luas Kalimantan.

Direktur Eksekutif Walhi Kalimantan Selatan, Dwitho Frestiandi mengatakan, selama satu tahun terakhir, ada beberapa upaya implementasi GN-SDA. “Secara umum masih banyak kekurangan. Implementasi rencana aksi dari pemerintah provinsi tidak terlaksana baik. Masih banyak tumpang tindih,” katanya.

Ini diamini Fathur Rozikin, Direktur Eksekutif Walhi Kalimantan Timur. “Pemerintah daerah belum tegas. Malah cenderung berkompromi dan setengah hati.”

Saat ini, lima provinsi di Kalimantan, rentan potensi korupsi akibat tumpang tindih penerbitan perizinan sektor  perkebunan, kehutanan, dan pertambangan. Hal itu, tidak terlepas lemahnya pengawasan dan ketidakpastian hukum dari otoritas daerah.

Contoh, di Kalimantan Tengah. Dari 15.5 juta hektar, 4 juta hektar masuk perizinan izin pertambangan, 4,1 juta hektar perkebunan dan 12 juta hektar kehutanan.

Nordin dari Save our Borneo mengatakan, belum ada kemajuan serius terkait implementasi GN-SDA, terutama penegakan hukum maupun biaya reklamasi dan pasca-tambang.

Dia menilai, KPK belum sepenuhnya menangani pelanggaran di Kalteng. “KPK masih sebatas mengaum, belum menerkam.”

Dalam pandangan Nordin, konteks penegakan hukum harus tegas. Artinya, semua izin yang tidak memiliki kelengkapan syarat harus di-reset. Baru dibuka kran lagi dengan perhitungan sangat ketat dan selektif.

Investasi di sektor pengelolaan sumberdaya alam senantiasa berbanding lurus dengan peningkatan konflik sosial. Contoh, pemblokiran akses jalan utama menuju konsesi PT Bumi Pratama Khatulistiwa (Wilmar Group) oleh warga Desa Sungai Enau, Kecamatan Kuala Mandor B, Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat pada 2 April 2015 lalu. Foto: Andi Fachrizal
Investasi di sektor pengelolaan sumberdaya alam senantiasa berbanding lurus dengan peningkatan konflik sosial. Contoh, pemblokiran akses jalan utama menuju konsesi PT Bumi Pratama Khatulistiwa (Wilmar Group) oleh warga Desa Sungai Enau, Kecamatan Kuala Mandor B, Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat pada 2 April 2015 lalu. Foto: Andi Fachrizal

Belum lagi, animo investasi tinggi berbanding lurus dengan konflik. Pada 2015, distribusi konflik terbilang merata. Di Kalsel, ada 15 kabupaten titik konflik kebun sawit ataupun hutan, yakni Kotabaru, Tanah Bumbu, Tanah Laut, Tabalong, Hulu Sungai Utara, Hulu Sungai Selatan, Hulu Sungai Tengah, Barito Koala, dan Balangan. Sedangkan di Kaltim, ada tiga kabupaten yakni Mahakam Ulu, Berau, dan Kutai Timur untuk HPH.

Lalu, alokasi kelola rakyat juga tidak optimal. Kalaupun ada jaminan bisa melindungi hak dan kewajiban masyarakat, masih sangat minim. “Ke depan, pemerintah harus memprioritaskan wilayah kelola rakyat sembari perbaikan implementasi GN-SDA,” kata Direktur Eksekutif Walhi Kalbar, Anton P Widjaya.

Dia berharap, Pemerintah Kalbar dapat mengembangkan tools baru. “Dengan kormonev ini, kami berharap menemukan titik terang terkait penataan dan perbaikan isu pengelolaan sumber daya alam di Kalimantan,” katanya.

Rekomendasi buat pemerintah Kalbar

Selain itu, Relawan Pemantau Hutan Kalimantan (RPHK) juga memberikan rekomendasi pengelolaan mineral batubara di Kalbar.

Anton mengatakan, transparansi dan akuntabilitas minim dalam rekomendasi korsup, sangat mendasar di pemerintah Kalbar. Transparansi minim, katanya, terlihat dari ketersediaan data dan proses menjalankan hasil korsup minerba KPK. “Data yang seharusnya menjadi baseline dalam penataan belum terkonsolidasikan baik.”

Pemerintah Kalbar, belum memiliki dokumen perizinan lengkap dengan peta lokasi dari setiap pemegang izin, masih terpisah-pisah dan tidak terupdate. “Seperti temuan dalam peta ada izin tambang, tapi nama perusahaan tidak ada, setelah dicek ke lapangan ada aktivitas atau bekas pertambangan.”

Temuan lain, nama perusahaan antara di peta sebaran perizinan pertambangan berbeda dengan dokumen perizinan. RPHK melihat proses implementasi hasil-hasil koordinasi dan supervisi KPK baru aspek asminitratif, belum menindaklanjuti pengaduan dan laporan masyarakat. “Dalam proses masih kurang publikasi hingga masyarakat umum tidak dapat berpartisipasi dalam pengawasan.”

Hasil investigasi RPHK terhadap beberapa perusahaan pertambangan menunjukkan, masih sangat minim pengawasan lapangan. “Ini bisa dilihat dari walaupun perusahaan sudah mengantongi sertifikat CnC namun masih melanggar,” kata Fajrin Nailus Subchi, Direktur Eksekutif Perkumpulan Sahabat Masyarakat Pantai (Sampan) Kalimantan.

Temuan pelanggaran seperti penambangan di luar konsesi, reklamasi tidak jalan, konflik dengan masyarakat, kerusakan lingkungan dan lain-lain. Fajri mengatakan, pengawasan implementasi Korsup Minerba untuk perusahaan pemegang sertifikat CnC sebatas kewajiban keuangan perusahaan tambang dan kewajiban pengolahan atau pemurnian hasil tambang mineral dan batubara.

“Minimnya pengawasan dan pembinaan terhadap tambang rakyat berdampak .” Dalam tiga tahun terakhir, warga tewas di pertambangan rakyat sebagai wujud pengawasan dan pembinaan pemerintah lemah.

“Pemerintah juga tidak memberikan sanksi tegas kepada perusahaan yang belum membayarkan dana jaminan reklamasi dan menambang di luar konsesi,” kata Syamsul Rusdi, dari LinkAr Borneo.

RPHK menemukan lima perusahaan di Ketapang dan Sanggau bekerja di luar konsesi dan tidak reklamasi serius.

Selain itu, Pemerintah Kalbar minim sumber daya manusia dalam menjalankan hasil korsup KPK. Salah satu temuan, Dinas Pertambangan Klabar hanya memiliki dua inspektur tambang. Temuan lain, dukungan dana rekomendasi korsup KPK minim.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,