,

Pengamat : INDC Indonesia Berpotensi Bermasalah Besar

Pemerintah Indonesia sudah menyelesaikan dokumen Intended Nationality Determined Contribution (INDC) dengan target penurunan emisi karbon pada 2030 sebesar 29%. Pasca 2020, pembangunan rendah emisi negeri ini akan fokus pada sektor energi, pangan dan sumber daya air serta memperhatikan Indonesia sebagai negara kepulauan.

Dalam pengantar tertulisnya, Ketua Dewan Pengarah Pengendalian Perubahan Iklim Nasional, Sarwono Kusumaatmadja mengatakan dokumen draft final INDC itu telah diserahkan kepada Presiden Jokowi pada Senin (31/08/2015) yang lalu, berisi niat pemerintah Indonesia untuk melaksanakan pengendalian perubahan iklim selama kurun 2015-2020.

Sarwono dalam jumpa pers di Kantor Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) di Jakarta, pada Rabu (02/09/2015) mengatakan INDC negara lain ada yang hanya menekankan mitigasi, hampir tidak ada adaptasi. “Indonesia mau berimbang. Adaptasi dan mitigasi berimbang.” Mengapa adaptasi penting, katanya, karena Indonesia, memiliki pantai terpanjang kedua setelah Kanada dan layak huni.

Sedangkan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya dalam kesempatan yang sama mengatakan dokumen INDC, disusun dengan kerja keras Kementerian LHK bersama dengan Dewan Pengarah Perubahan Iklim, Utusan Khusus Presiden, Bappenas dan berbagai kementerian dan lembaga. Dari hasil pemikiran itu, keluar ketahanan nasional terhadap perubahan iklim dalam hal utama yakni, pangan, energi dan penyelamatan sumber daya air.

Pemerintah sendiri akan menerima masukan dari berbagai pihak selama dua minggu, sebelum dokumen INDC tersebut diserakan kepada Sekretariat United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) untuk menjadi masukan bagi Konferensi Perubahan Iklim (COP) ke-21 di Paris pada Desember 2015.

Menanggapi dokumen INDC tersebut, Jalal, Reader on Political Economy and Corporate Governance  Thamrin School of Climate Change and Sustainability mengapresiasi keluarnya dokumen komitmen pengendalian perubahan iklim pemerintah Indonesia itu.

Dia mengatakan penekanan yang seimbang antara mitigasi dan adaptasi dalam INDC Indonesia menjadi nilai lebih dibanding negara lain.

“Keseimbangan adaptasi dan mitigasi, dengan tujuan tertinggi untuk climate resilience sangat baik. Itu bisa menonjol dalam perundingan (COP 21) karena sebagian besar negara tidak membuat adaptasi dan mitigasi secara seimbang. INDC banyak negara lebih banyak menekan mitigasinya,” kata Jalal yang dihubungi Mongabay pada Selasa (08/09/2015).

Dia melihat climate resilience sebagai tujuan atau pesan penting menjadikan luar biasa powerfull. Akan tetapi dia menyoroti proses pembuatan dokumen yang tidak melibatkan para pemangku kepentingan penanganan perubahan iklim di Indonesia.

“Tetapi bagaimanapun, bicara proses jadi INDC ini banyak orang yang melihat bermasalah dan saya mengamati dari perjalanan indc sampai sekarang masalah utama adalah partisipasi atau pelibatan pemangkju kepentingan dalam penyusunannya,” katanya.

Suasana salah satu perundingan perubahan iklim Conference of Parties (COP) ke-19 di Warsawa, Polandia pada Desember 2013
Suasana salah satu perundingan perubahan iklim Conference of Parties (COP) ke-19 di Warsawa, Polandia pada Desember 2013. Foto : Jay Fajar

Menurutnya ada tiga rumus dasar pelibatan pemangku kepentingan dalam penyusunan INDC Indonesia, yaitu inklusif, materialitas dan responsiveness.

“Inklusif, artinya seluruh pemangku kepentingan dipetakan, diketahui dan diajak berpartisipasi  seluruhnya. Diketahui pihak-pihak yang memiliki hak untuk didengar. Kalau prosesnya tidak inklusif, sebagian pemangku kepentingan akan mempermasalahkan. Mereka belakangan merasa ditinggal. Buntutnya ownership dokumen INDC akan bermasalah. Bahkan bisa dinyatakan ownership­-nya rendah,” jelasnya.

Sedangkan materialitas dimaksudkan seluruh isu yang dipandang penting, seharusnya didiskusikan secara memadai. “Kalau prinsip pertama dilanggar, tidaklah mungkin seluruh isu yang penting untuk stakeholder bisa didiskusikan secara benar. Tidak mungkin isunya menjadi komprehensif. Dasar dari yang pertama, apa ada pihak swasta, pihak non state, atau sub nasional dilibatkan? Keterwakilan LSM bagaimana? Kalau keterwakilan digugat,  maka jadi tidak bisa didiskusikan karena wakil tidak ada,” katanya.

Sementara tentang responsiveness, Jalal melihat apakah ada jaminan dari pemerintah bahwa masukan dari para pemangku kepentingan akan dimasukkan dalam dokumen INDC. “Mereka yang sudah memikirkan, menulis, dan menyampaikan pendapatnya, apakah ada sistem yang menjamin masukan itu dimasukkan ke dalam IINDC? Kalau prosesnya tidak inklusif, maka sudah jelas timbul masalah responsiveness,” tegasnya.

Melihat tiga prinsip tersebut, Jalal melihat penyusunan INDC berpotensi memiliki persoalan besar. “Bagaimanapun INDC karena harus di-submitt 1 Oktober ke UNFCCC. Maka kemungkinan persoalan-persoalan tadi membuat ownership INDC tidak cukup tinggi,” katanya.

Meski pemerintah memberi waktu selama dua minggu untuk memberi masukan terhadap draft final INDC, dia melihat waktunya tersebut tidak cukup merangkum semua permasalahan.

“Mustahil merangkum semua dalam 2 minggu, tapi kemudian membuka masukan, setidaknya akan mengurangi masalah dari prinsip 1 dan 2. Kalau seorang atau lembaga dan belum dapat peluang penyusunan INDC, bisa memberikan masukan dalam periode sekarang, sehingga semakin banyak pemangku kepentngan yang terlibat. Kesalahan-kesalahan dalam prinsi pertama bisa dikurangi. Karena mereka memberikan masukan secara online, berbagai isu yang tidak ada, maka isu material lain mungkin bisa muncul dalam periode 2 minggu ini,” jelasnya.

Akan tetapi prinsip responsivenes tidak bisa diselesaikan secara tuntas, karena tidak ada jaminan bagi pihak yang memberikan masukan saat proses penyusunan draft final INDC. Apalagi saat ini bagi pemangku kepentingan yang ingin memasukkan sarannya.

Jalal melihat permasalahan inklusif, materialitas dan responsiveness dalam penyusunan INDC, karena terkait dengan kondisi kelembagaan negara yang menangani perubahan iklim pasca pembubaran DNPI. Pembubaran DNPI yang berperan sebagai fokal point pemerintah Indonesia yang mengkoordinasi semua pemangku kepentingan di dalam negeri, tentu berpengaruh terhadap penanganan perubahan iklim di Indonesia. Apalagi saat pembubaran DNPI, belum ada lembaga pemerintah yang diserahi tugas sebagai koordinator.

“Seandainya DNPI dibubarkan setelah COP 21, mungkin INDC Indonesia lebih kokoh. Tapi ketika DNPI sudah dibubarkan dan kita jadi panik, siapa yang lead? Ada Utsus presiden sebagai fokal point, tapi tempatnya ada Dirjen PPI (Pengendalian Perubahan Iklim KLHK). Kemudian dibentuk Dewan Pengarah,” tambahnya.

Artikel yang diterbitkan oleh
,