,

Harimau Ditembak Mati, Puncak Gunung Es Persoalan Pengelolaan Lahan Gambut dan Hutan

Seekor harimau sumatera yang terjerat perangkap babi di Pendopo, Kabupaten Empat Lawang, Sumatera Selatan, dan kemudian ditembak mati aparat dinilai bagian dari kegagapan pemerintah dan masyarakat dalam menangani konflik satwa liar dengan manusia.

Semakin berkurangnya populasi harimau pun berhubungan dengan apa yang disebut dengan ‘gunung es dari fenomena kerusakan hutan dan lahan gambut di Sumatera Selatan, Bengkulu, Jambi dan Riau.’ Fenomena ini menunjukkan bagaimana persoalan pengelolaan hutan telah amat carut-marut dan menimbulkan dampak.

“Situasi saat ini memang kian memprihatinkan. Ancaman bagi harimau sumatera, dan satwa liar lainnya seperti gajah dan orangutan, terus meningkat akibat kerusakan hutan dan lahan gambut,” jelas Yoan Dinata, ketua Forum Harimau Kita kepada Mongabay Indonesia (11/09).

Selain hilangnya habitat, maka ancaman keberlangsungan satwa adalah perburuan liar. “Tahun ini saja ada lima kasus perburuan harimau sumatera di Jambi,” jelasnya.

Selain konflik tata ruang, perburuan harimau menjadi ancaman. Kompol Andi Kirana (10/09/2015) Wakapolres Aceh Tenggara memeriksa barang bukti kulit harimau yang berhasil diamankan dari dua pelaku peruburuan liar. Foto: Ayat S Karokaro

 

Perlu Komitmen Penuh di Tingkat Regional

Di sisi lain, Kepala BKSDA (Balai Konservasi Sumberdaya Alam) Sumsel, Nunu Anugrah mengharapkan masyarakat maupun pihak lain dapat berkoordinasi dengan BKSDA Sumsel jika bertemu dengan konflik satwa liar, secara khusus harimau sumatera. “Tujuannya agar manusianya selamat, satwanya pun selamat,” ujarnya.

Namun dalam pandangan Yoan Dinata, koordinasi tidak dapat dilakukan jika tidak ada komitmen penuh dari seluruh Pemerintah Daerah. Menurutnya, Pemerintah Daerah di Sumatera Selatan, Jambi, Bengkulu dan Riau yang berada dalam satu region, harus segera membentuk tim terpadu yang khusus memperhatikan nasib satwa liar.

“Kebakaran hutan dan lahan gambut jelas membuat satwa liar semakin terdesak, dan kemungkinan besar berkonflik dengan manusia. Sehingga masalah ini tidak hanya dapat diselesaikan oleh BKSDA,” katanya.

“Sosialisasi mengenai penanganan satwa liar juga harus terus dilakukan kepada aparat keamanan, militer dan masyarakat. Misalnya, keberadaan peluru bius seharusnya dimiliki mereka, sehingga tidak terjadi seperti di Empat Lawang,” ujarnya.

Situasi bertambah parah, ketika aparat pemerintah dan masyarakat tidak paham atau mengerti bagaimana menangani konflik dengan harimau sumatera. “Peristiwa di Pendopo Kabupaten Empat Lawang tersebut jelas menunjukkan aparat, tidak paham bagaimana menangani konflik satwa liar, khususnya harimau sumatera,” sambung Yoan.

Kerusakan hutan pun didorong oleh faktor lain, termasuk pula kemungkinan akibat kebakaran hutan pada saat ini. “Kami telah temukan beberapa titik api di Kabupaten Empat Lawang,” sambung Hadi Jatmiko, Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumsel.

Peristiwa yang terjadi di Pendopo menurut Hadi harus menjadi pelajaran bagi pihak BKSDA Sumsel.

“Seharusnya BKSDA memiliki petugas di setiap kabupaten, terutama yang wilayahnya menjadi koridor harimau sumatera. BKSDA pun perlu membagikan dan menyiapkan peluru bius kepada aparat keamanan di daerah, yang dapat digunakan untuk melumpuhkan hewan buas tapi dilindungi seperti harimau sumatera tersebut,” ujarnya.

Harimau masuk kampung di Bengkulu. Rusaknya habitat menyebabkan harimau masuk ke permukiman masyarakat untuk mencari makan. Foto: Erni Suyanti Musabine

Sementara itu untuk mengatasi lahan yang terlanjur rusak, tidak ada cara lain kecuali mengembalikan konsep lahan lewat tata ruang yang jelas.

“Semua aktifitas pertambangan, perkebunan dan HTI sebagian besar terletak di kawasan hutan dan lahan gambut. Perlu rehabilitasi lahan yang rusak. Beri tanah kepada masyarakat, sehingga mereka turut menjaga hutan dan lahan gambut. Itu solusinya. Alam terjaga, manusia sehat dan sejahtera,” ujar Rustandi Adriansyah dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Sumsel.

Rustandi pun tak memungkiri jika terdapat pergeseran nilai di tengah masyarakat. Jika, dahulu masyarakat adat memiliki cara untuk menghindari konflik yang sekarang sudah hilang di tengah masyarakat yang semakin berpikir pragmatis.

“Nilai-nilai adat di masyarakat sudah hilang, hutan larangan sudah tidak ada. Padahal leluhur mereka sangat menghormati harimau, dengan cara memanggilnya sebagai nenek,” jelas Rustandi mengomentari peristiwa yang terjadi di Pendopo.

“Dahulu masyarakat membuat hutan adat larangan, yang diperuntukkan untuk menjadi ruang hidup bagi hewan yang dihormati masyarakat, seperti harimau, gajah dan lainnya,” kata Rustandi.

“Saya pun heran jika sekarang masyarakat desa tak paham dalam penanganan konflik dengan harimau. Padahal di Sumatera sudah ribuan tahun masyarakat hidup bersama dengan harimau,” pungkasnya.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , , ,