Indonesia, Miskin Energi Terbarukan di Tengah Limpahan Sumber, Mengapa?

Temuan para peneliti di Indonesia soal energi terbarukan cukup banyak, mulai dari limbah sawit, jarak pagar, kemiri, mikroalga dan lain-lain. Belum lagi, Indonesia juga kaya energi terbarukan seperti energi matahari, angin dan mikrohidro.

Salah satu temuan dari Amir Husni, dosen Program Studi Teknik Kimia Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara. Dalam ujian terbuka doktor di Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta dia menjelaskan temua energi dari ampas tahu.

Ampas tahu dari pengolahan kacang kedelai bisa jadi bahan hidrogen. Limbah ini, mengandung setidaknya 40-60% karbohidrat. Namun, konversi ampas tahu menjadi hidrogen masih rendah dibanding karbohidrat dalam limbah.

Gas hidrogen (H2), salah satu energi alternatif cukup menjanjikan. Selain bersih dan memiliki kalor tinggi, gas ini dapat diperoleh dari limbah organik atau biomassa dengan fermentasi.

“Kelarutan dalam air diduga menjadi penyebab konversi ampas tahu ke hidrogen rendah,”katanya, akhir Agustus 2015.

Dalam disertasi berjudul “Studi Fermentasi Anaerob Ampas Tahu untuk Produksi Hidrogen:Pengaruh Perlakuan Asam dan Pencernaa-Bersama, ” Amir menjelaskan produksi hidrogen fermentasi dipengaruhi sejumlah faktor. Salah satu, karakteristik substrat menjadi faktor ekstrim karena produksi hidrogen bergantung ketersediaan kandungan organik– karbohidrat menjadi komponen utama proses fermentasi.

Penelitian lain dilakukan Supriyono, soal jarak pagar sebagai sumber biodisel. Dari penelitian berjudul “Dekomposisi Oksidasi Selama Penyimpanan Serta Pencegahannya: Studi Kasus Biodiesel Dengan Bahan Baku Minyak Jarak Pagar (Jatropha Curcas),” jarak pagar bisa meningkatkan ketahanan biodiesel terhadap proses oksidasi.

““Jarak pagar dipilih karena tidak dapat dimakan, mudah dibudidayakan dan punya kandungan minyak tinggi. Jadi, perbaikan kualitas biodiesel jarak pagar ini dapat melalui pretreatment bahan baku, pencucian biodiesel dan penambahan antioksidan,” katanya.

Biodiesel, katanya, salah satu sumber bahan bakar pengganti petrodiesel. Pada 2013, produksi biodiesel dunia naik 11 kali dibandingkan 2003. Namun, apapun metode dan bahan baku, masih dijumpai beberapa persoalan, seperti alur produksi. Biodiesel mudah rusak selama penyimpanan.“Biodiesel mudah rusak karena dekompesisi hingga tidak memenuhi syarat sebagai bahan bakar.”

PLTU batubara di Rembang, salah satu energi kotor yang masih mendominasi dalam pembangunan pembangkit di negeri ini. Foto: Tommy Apriando
PLTU batubara di Rembang, salah satu energi kotor yang masih mendominasi dalam pembangunan pembangkit di negeri ini. Foto: Tommy Apriando

Salah satu faktor yang berperan dalam dekomposisi biodiesel adalah oksidasi. Secara kimia, kerusakan biodiesel akibat oksidasi bisa terjadi pada semua jenis.

“Stablitas biodiesel jarak pagar bisa ditingkatkan hingga memenuhi standar kualitas. Jika biodiesel jarak pagar meningkat, sebagian keperluan energi bisa tercukupi.”

Belum serius

DI Indonesia, meskipun gaung energi terbarukan mulai muncul, tetapi dominasi masih fosil. Contoh, sekitar 60% proyek 35.000 Megawatt masih energi fosil. Kepala Badan Litbang Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Fx.Sutijastoto menyampaikan, bahwa penggunaan energi Indonesia masih bertumpu minyak bumi. Padahal, pasokan kian menipis, diperkirakan hanya mampu memenuhi hingga 2025. Jika tak ada perubahan pola konsumsi ke energi terbarukan, maka Indonesia akan mengalami krisis energi.

Gubernur Yogyakarta, Sri Sultan HB X menilai pemerintah dan Pertamina tak serius mengawal dan mengembangkan energi terbarukan selama 10 tahun terakhir. Dia mencontohkan, penyediaan 5 juta kiloliter bahan bakar nabati menggantikan BBM 2010, mandeg. Kala itu, antusiasme masyarakat dan swasta besar. Jutaan jarak ditanam sebagai bahan baku biodiesel.

“Awalnya masyarakat senang karena lahan marginal bisa ditanami jarak. Namun, mereka kecewa karena produk tidak bisa terjual, dengan alasan biaya produksi jarak kurang ekonomis dibanding harga solar subsidi saat itu,” katanya.

Dia juga menyayangkan, ketidakberanian pemerintah melarang ekspor tetes tebu (molasses) padahal ia bahan baku bioetanol paling ekonomis. Akhirnya, produsen gula memilih ekspor molasses sebagai hasil sampingan menguntungkan.

“Padahal, 600.000 ton molasses per tahun diekspor jadi 150.000 kiloliter bioetanol, cukup banyak BBM yang bisa disubsitusi,” kata Sultan.

Indonesia, katanya, bisa meniru pengembangan energi baru terbarukan dari Brasil. Brasil berhasil mengembangkan bioetanol dengan efisiensi biaya US$17,5 dolar per barrel dengan produksi 16 miliar liter per tahun. “Tentu dengan dukungan regulasi, finansial dan pengembangan riset, teknologi agrobisnis.”

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , , , ,