, , ,

Kebakaran Lahan, Greenpeace Nilai Pemerintah Tak Serius, Koalisi Kalbar: Adili Perusahaan Pembakar

Analisis Greenpeace, ada 2.800 lebih titik api di lahan gambut, dan didominasi kedalaman lebih dari satu meter. Jadi, pemadaman kalau hanya disiram air tak akan efektif mematikan api. Pencegahan gambut kering dengan sekat kanal, dinilai upaya cukup efektif.  

Greenpeace Indonesia menilai pemerintah belum serius menangani kebakaran hutan dan lahan.  “Kebanyakan kebakaran terjadi di lahan gambut. Bisa dilihat di pesisir timur Sumatera baik Riau, Jambi maupun Sumsel. Lalu Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah. Lalu Merauke,  titik api di lokasi proyek Merauke Integrated Food and Energy Estate,” kata Manager Pengkampanye Hutan Greenpeace Indonesia R. Kiki Taufik di Jakarta, pekan lalu.

Catatan Greenpeace, hingga 7 September 2015, ada 8.540 titik api. Sebanyak 3.464 di gambut, 5.076 tanah mineral. Ada 2.833 titik api di kawasan moratorium. Paling banyak di gambut dan kemungkinan bertambah jika tak ada pencegahan serius.

“Lahan gambut itu luas ada 21 juta hektar. Luas lahan di Indonesia 180 juta hektar. Artinya, gambut hanya 20%. Tapi titik api hampir sama. Bisa dibayangkan mengapa makin tahun makin pekat karena dominan di gambut,” katanya.

Berdasarkan analisis,  titik api di wilayah kurang dari satu meter, hanya 430, terbanyak di gambut kedalaman lebih satu meter. Kondisi ini, katanya,  menyebabkan api sulit padam. Sebab, penanganan tak bisa hanya disiram, gambut harus benar-benar dibasahi.

“Tidak bisa dilakukan saat kemarau, harus musim hujan. Begitu gambut basah, seharusnya segera disekat. Dibasahkan lagi. Air dibendung agar tidak keluar.”

Kiki menyoroti pembangunan sekat kanal tidak berjalan efektif padahal cara ini terbukti efektif membuat gambut basah hingga mencegah kebakaran.

“Jokowi saat datang ke Sumatera , menginisiasi pembangunan sekat kanal. Bisa kita lihat, tidak ada hal signifikan dilakukan pemerintah baik pusat maupun daerah terkait pembangunan sekat-sekat kanal lain. BNPB sudah menganggarkan Rp15 miliar.”

Dia mengatakan, sebenarnya sejak awal diprediksi akan ada El-Nino mulai Juni tetapi pencegahan tak signifikan.

Ungkapan senada dari Teguh Surya, juga Pengkampanye Hutan Greenpeace Indonesia. Dia melihat, hampir tidak ada upaya serius pemerintah menyelesaikan akar masalah kebakaran hutan dan lahan.

“Sangat jelas ada keterkaitan erat antara penghancuran hutan, pengeringan gambut dengan kebakaran. Jadi kebakaran hutan tidak jalan sendiri. Kalau misal hutan masih bagus, tak mungkin gambut kering. Kalau gambut basah, tak mungkin terbakar.”

Yang terjadi sekarang, gambut sengaja dikeringkan untuk perkebunan monokultur skala besar. Jadi berpotensi besar terbakar meski hanya sedikit percikan api.  “Akar persoalan tadi sebenarnya terdeteksi dan diketahui detail oleh pemerintah.”

Pada 26 November, katanya, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengeluarkan dokumen upaya pemecahan masalah bencana asap. Dalam dokumen itu disebutkan masalah kebakaran hutan dengan detail. Misal, pembukaan kanal untuk perkebunan,  land clearing dan lain-lain. Akhir dokumen ditulis sebelas poin solusi akan diambil Presiden, seperti membangun sekat kanal, deklarasi pencegahan kebakaran hutan dan lahan, mendukung pengelolaan gambut berkelanjutan, dan lain-lain.

“Sudah sampai dimana? Dokumen itu sudah sangat rinci menjelaskan akar permasalahan berikut solusi, tapi apa yang dilakukan? Kalau ada persoalan kebuntuan birokrasi, misal, perseteruan antara KLHK, BNPB dan Riau, seharusnya satu tahun bisa diselesaikan, ini tidak.” Seharusnya Presiden bisa memecahkan kebuntuan birokrasi yang menghambat penyelesaian ini.

Dokumen INDC tak ada solusi tangani kebakaran

Sementara itu, dokumen Intended Nationally-Determined Contribution (INDC) yang akan diajukan dalam Konferensi Tingkat Tinggi Iklim (COP) ke-21, sama sekali tak berbicara upaya penanggulangan kebakaran hutan dan lahan.

“Seharusnya dokumen INDC memuat solusi atas deforestasi dan kebakaran hutan-lahan. Kami tak melihat itu. Dalam segi proses pemerintah cenderung tertutup. KLHK baru membuka konsultasi publik pada 2 September. Itu hanya lewat website. Bayangkan 240 juta rakyat Indonesia tidak semua orang memiliki akses itu,’ katanya.

Masyarakat hanya punya waktu maksimal 18 hari memberikan masukan yang belum tentu dipahami.

“Dari segi proses, pemerintah masih setengah hati. Padahal, dokumen ini memiliki implikasi serius dari segi ekonomi, sosial, lingkungan hidup dan lain-lain.”

Aksi Koalisi Kalbar Menggugat, yang mendesak pemeirntah serius menindak perusahaan pembakar lahan dan hutan. Foto: Aseanty Pahlevi
Aksi Koalisi Kalbar Menggugat, yang mendesak pemeirntah serius menindak perusahaan pembakar lahan dan hutan. Foto: Aseanty Pahlevi

Teguh mengatakan, Presiden Jokowi tak boleh melakukan kesalahan rezim sebelumnya. Ketika mengeluarkan angka 26% penurunan emisi, tetapi tak ada yang tahu perhitungannya.

“Kami tidak melihat dokumen INDC disusun dengan konsultasi publik menyeluruh. Tidak ada sumber data transparan. Tidak ada analisis emisi Indonesia 10 tahun terakhir. Jadi ujug-ujug muncul angka tidak jelas.”

Tangkap, dan Adili Perusahaan Pembakar Lahan!

Koalisi masyarakat sipil di Kalimantan Barat, menyatukan barisan mengkritisi pemerintah terkait masalah kabut asap. Aksi damai ini mendorong semua pihak, mencermati masalah pembakaran hutan dan lahan. Kegiatan bertajuk ‘Kalbar Menggugat’, berlangsung Jumat (11/9/15), di Bundaran Digulis Universitas Tanjungpura, Kalbar.

Koalisi yang bergabung antara lain; Gemawan, LPS Air, Kontak Borneo, JARI, Pontianak Institute, dan WWF. Ikut pula berbagai elemen masyarakat, seperti seniman, budayawan, pengusaha, pegiat sosial, mahasiswa dan masyarakat umum.

Dalam aksi ini, Koalisi mendesak aparatur negara menindak tegas pelaku pembakaran lahan. Beni Sulistio, dari Swadesi mengatakan,  asap ini karena perusahaan sengaja membuka lahan. Dia berharap, aksi damai ini bisa membuka mata pemerintah serius mengatasi kabut asap yang berdampak pada masyarakat.

“Aparat hukum harus bertindak agar memberikan efek jera kepada pembakar hutan dan lahan,” kata Muhammad Lutharif, dari Kontak Rakyat Borneo.

Dia mengkritisi, penegak hukum belum menyasar perusahaan pembakar yang membuka lahan masif. Saat ini, yang ditangkap baru perorangan atau masyarakat kecil. Padahal, penegak hukum bisa mengacu pada analisa hotspot, yang menunjukkan beberapa wilayah pemegang konsesi terdeteksi kebakaran.

Bahkan, sesuai aturan, jika ada kawasan dekat konsesi terbakar, perusahaan wajib memadamkan. Ketidakpedulian perusahaan, katanya, bisa mendapat sanksi. Penegak hukum, katanya, juga harus mencermati modus operandi perusahaan, yang mengupah masyarakat kecil membakar di luar konsesi.

Hermawani Putra, WWF Regional Leaders Kalimantan menambahkan, aparat hukum bisa meminta data kepada organisasi pegiat lingkungan terkait data perusahaan-perusahaan yang terindikasi membakar lahan. “Penegakan hukum di Kalbar, salah satu kunci mencegah kabut asap berulang,” katanya.

Dia mendesak, pemerintah daerah tidak abai kabut asap. Sebab, dampak asap tak hanya ekonomi juga kesehatan, dan pendidikan. “Anak sekolah harus terhambat karena libur, atau sakit karena paparan asap.”

Hermawansyah, Direktur Swandiri Institute, mengatakan, water bombing dan modifikasi teknologi hujan buatan merupakan upaya setelah asap terjadi. “Seharusnya, ada tindakan pencegahan. Jika penegakan hukum dikedepankan, akan menjadi efek gentar bagi perusahaan pembakar lahan.”

Menurut dia, terkait titik api, seharusnya jelas bisa dilihat dengan membandingkan peta perizinan perkebunan. “Jika berada di konsesi perusahaan, ya harus ditindak karena perusahaan wajib mencegah, menanggulangi dan dilarang membuka lahan dengan membakar.”

Aksi damai dibarengi happening art tentang masyarakat kecil yang selalu berbenturan dengan perusahaan. Masyarakat ditangkapi ketika melawan, sedangkan perusahaan pembakar lahan, tidak mendapatkan sanksi. Tampak empat orang berperan sebagai rakyat kecil, duduk bersimpuh kepala ditutupi plastik. Ini gambaran derita warga ulah pemerintah karena saban tahun asap berulang.  Ada juga puisi, warga menyumbangkan lagu-lagu tentang lingkungan hidup. Akhir aksi, semua menandatangani petisi ‘Kalbar Menggugat’, untuk disampaikan kepada Kapolda Kalbar Brigadir Jenderal Polisi Arief Sulistyanto.

Class action

Wahana Lingkungan Hidup Kalimantan Barat mempersiapkan legal standing untuk mengajukan gugatan Class Action kepada pemerintah daerah Kalimantan Barat terkait kabut asap. “Gugatan class action ini untuk mewakili masyarakat Kalimantan Barat yang merasa dirugikan atas bencana kabut asap,” ujar Anton P Widjaya, direktur Eksekutif Walhi Kalbar, Jumat 11 September 2015.

Walhi Kalbar membuka posko pengaduan untuk memfasilitasi gugatan class action. Masyarakat, hanya menyertakan fotokopi identitas diri yang masih berlaku untuk mendaftarkan diri sebagai salah satu penggugat.

Anton Wijaya, Direktur Eksekutif Walhi Kalbar, mengatakan, sudah pendekatan dengan beberapa tokoh masyarakat untuk gugatan bersama. “Intinya kita minta memproses perusahaan pembakar lahan. Juga agar pemerintah membiayai seluruh pengobatan masyarakat Kalbar yang terkena asap.”  Untuk melapor, kata Anton, masyarakat hanya menyertakan fotokopi identitas di Posko Pengaduan.

Walhi, katanya, telah mengadvokasi masalah kebakaran lahan sejak 1990. Persiapan legal standing dilakukan agar class action tidak ditolak hakim. Berdasarkan data Dinas Kesehatan Kalbar, sejak Januari-Agustus 2015, ISPA, tercatat 18.000 kasus ringan. ISPA berat 1.922 kasus.

Spanduk-spanduk desakan agar pemerintah serius menangkap dan mengadili perusahaan pembakar lahan. Selama ini di Kalbar, yang ditangkap dan diadili baru masyarakat-masyarakat kecil, kejahatan perusahaan masih jauh dari penindakan. Foto: Aseanty Pahlevi
Spanduk-spanduk desakan agar pemerintah serius menangkap dan mengadili perusahaan pembakar lahan. Selama ini di Kalbar, yang ditangkap dan diadili baru masyarakat-masyarakat kecil, kejahatan perusahaan masih jauh dari penindakan. Foto: Aseanty Pahlevi
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , ,