, ,

Potret Pulau Rajuni, Dari Pengeboman Ikan hingga Kurangnya Air Bersih

Ansar mengeluh. Di depannya terhampar berbagai jenis ikan yang sedang dikeringkan. Berbeda dengan kondisi di masa lalu, sekali melaut kini ia tak lagi bisa berharap banyak. Ikan-ikan mulai berkurang, dan itu dimulai sejak 2009 silam.

Apa penyebabnya?

Nelayan-nelayan dari luar mulai leluasa memasuki perairan di mana mereka biasa melaut dengan alat tangkap yang lebih modern. Penyebab lain lebih mengkhawatirkan lagi: pengeboman dan pembiusan ikan yang merajelela.

Ansar adalah nelayan dari Pulau Rajuni, Kecamatan Takabonerate, Kabupaten Kepulauan Selayar, Sulawesi Selatan. Ketika Mongabay berkunjung ke pulau seluas 40 hektar ini, Jumat (04/09/2015), Ansar sedang duduk santai di depan rumahnya. Ia tak melaut, karena bertepatan dengan hari Jumat, yang oleh penduduk setempat dijadikan sebagai hari libur untuk segala aktivitas di laut.

“Kami memang tidak melaut kalau hari Jumat, karena hari pendek, harus shalat Jumat. Ini sudah kebiasaan turun temurun,” katanya.

Ansar mengenang di masa lalu ketika ikan-ikan masih sangat banyak dan mudah diperoleh. Di belakang rumahnya, ia masih bisa melihat ikan-ikan berlompatan di pesisir laut dari kejauhan. Dulu, sekali melaut, ia bisa memancing hingga puluhan keranjang ikan. Ikan sunu merah, yang termahal, bisa diperolehnya hingga empat ekor sekali melaut.

“Kini, seekor pun kadang tak ada lagi. Sangat susah sekarang dapat ikan,” keluhnya.

Ansar punya armada kecil, terdiri dari 7 orang nelayan pemancing. Sekali melaut, biasanya selama dua malam. Jika cuaca bagus, mereka bisa memperoleh hingga 10 keranjang ikan. Dijual dengan harga Rp 50 ribu per keranjang. Hasilnya dibagi rata sesuai peran masing-masing.

“Cuma kan tidak selamanya kami bisa dapat ikan banyak. Kadang malah tak ada sama sekali, padahal kita harus tanggung biaya solar 20 liter per malamnya. Kalau seperti itu ya tak ada yang bisa dibagi, pulang dengan tangan kosong.”

Dari perbincangan yang panjang, akhirnya ia becerita tentang masih maraknya praktek pengeboman dan pembiusan ikan di sekitar Pulau Rajuni, termasuk pulau-pulau lain sekitarnya, yang sebenarnya termasuk dalam kawasan Taman Nasional Takabonerate.

“Pelakunya hampir tak pernah tertangkap, karena mereka punya mata-mata. Kalau tahu akan ada patroli dari Polhut, mereka pintar tak melaut,” ujarnya.

Menurutnya, selama ini sebelum melakukan patroli, petugas TN Takabonerate biasanya menghubungi terlebih dahulu pemerintah desa dimana mereka akan berkunjung. Ini keliru.

“Seharusnya tak usah bilang-bilang kalau mau datang patroli. Pasti tak bisa dapat lah mereka.”

Penjelasan Ansar dibenarkan Arni Rohmitun, aktivis Destructive Fishing Watch (DFW), yang kebetulan sedang melakukan kajian dan sekaligus pendampingan pengelolaan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) di Desa Rajuni.

“Waktu ke sini tadi apakah tak mendengar suara ledakan? Di sini memang sering, biasanya pagi dan sore,” katanya.

Menurut Arni, aktivitas pengeboman ikan di kawasan tersebut memang masih terus berlangsung, meski operasi penangkapan sebenarnya sering dilakukan. Pelakunya tidak hanya warga di sekitar pulau setempat, tapi juga dari nelayan-nelayan pulau lain dan dari luar.

“Mungkin karena tuntutan ekonomi ditambah adanya pihak yang memodali dan siapkan peralatan dan bahannya,” tambahnya.

Menurutnya, selain di Pulau Rajuni, aktivitas destruction fishing juga merajalela di pulau-pulau lain. Terparah di Pulau Tarupa.

Di kawasan TN Takabonerate, selain Pulau Rajuni, yang terbagi atas Rajuni Kecil dan Rajuni Besar, terdapat pulau pulau dan desa lain seperti Pulau Jinato, Tarupa, dan Latondu.

“Tarupa lebih parah lagi, kasus pengebom dan pembius banyak ditemukan. Selain itu, masih banyak yang tangkap hiu dan pari.”

Masyarakat Pulau Rajuni, Takabonerate, Kabupaten Selayar, Sulawesi Selatan sebenarya cukup sejahtera, dengan sumber penghasilan sebagai nelayan dan pedagang. Ikan-ikan yang dikeringkan banyak dijual ke Makassar dan Flores. Foto : Wahyu Chandra
Masyarakat Pulau Rajuni, Takabonerate, Kabupaten Selayar, Sulawesi Selatan sebenarya cukup sejahtera, dengan sumber penghasilan sebagai nelayan dan pedagang. Ikan-ikan yang dikeringkan banyak dijual ke Makassar dan Flores. Foto : Wahyu Chandra

Wilayah yang relatif bebas dari aktivitas pengrusakan ini hanyalah Pulau Latondu.

“Latondu itu aman, mayoritas nelayannya adalah pemancing.”

Arni sendiri tidak sepenuhnya menyalahkan nelayan. Menurutnya, masyarakat sulit untuk disadarkan selama pasar mereka masih tersedia. Inilah yang harus diputus mata rantainya.

“Nelayan mengebom itu ada karena ada yang suplai dan kasih modal. Kalau pemodal ini dihentikan otomatis nelayan juga akan berhenti mengebom dan membius. Mata rantai ini yang tak bisa diputuskan.”

Salah satu faktor susahnya memutuskan mata rantai tersebut adalah kurangnya kordinasi antar aparat hukum yang terkait. Masing-masing pihak bekerja sendiri-sendiri.

“Kadang ada penangkapan dari Jagawana taman nasional, tapi ketika diserahkan kepada polisi, malah dilepaskan. Hampir tak ada upaya untuk memberikan efek jera kepada warga.”

Yasri, petugas patroli dari TN Takabonerate, tak menampik dugaan masih banyaknya aktivitas pengeboman ikan di kawasan tersebut. Hanya saja, selama ini masih sulit untuk dibasmi, selain karena dilakukan secara sembunyi-sembunyi, juga karena kurangnya sanksi bagi para pelaku pengeboman.

“Memang selama ini susah terdeteksi karena pendukung kami, instansi terkait, yang tidak serius. Ada juga oknum-oknum yang bermain. Kadang kami sudah maksimal, tapi tidak mendapatkan dukungan yang baik.”

Tantangan lain yang dihadapi terkait pengeboman ikan ini adalah aksi nekad warga dan kadang melakukan teror kepada Polhut yang sedang patroli. Mereka biasanya bersenjatakan bom ikan untuk mengancam petugas.

Ancaman terhadap petugas patroli ini pernah dirasakan oleh Yasri sekitar dua tahun silam.

“Ya, dulu ketika mengejar pelaku kita dikepung puluhan kapal warga yang sepertinya sudah siap menanti kami dengan senjata bom ikan. Tapi syukurlah kami bisa lolos dan memang menghindari kontak langsung,” jelas Yasri.

Petugas jagawana dari Taman Nasional Takabonerate, Selayar, Sulawesi Selatan kadang menghadapi ancaman keselamatan jiwa dalam menjalankan pekerjaannya. Beberapa kasus menunjukkan adanya serangan balik dari pelaku pengeboman ikan. Kurangnya kordinasi dengan instansi terkait menjadi kendala tersendiri.  Foto : Wahyu Chandra
Petugas jagawana dari Taman Nasional Takabonerate, Selayar, Sulawesi Selatan kadang menghadapi ancaman keselamatan jiwa dalam menjalankan pekerjaannya. Beberapa kasus menunjukkan adanya serangan balik dari pelaku pengeboman ikan. Kurangnya kordinasi dengan instansi terkait menjadi kendala tersendiri. Foto : Wahyu Chandra

Pengalaman yang sama dirasakan oleh Ronald Yusuf, salah satu staf TN Takabonerate lainnya yang sudah bertugas sejak 15 tahun silam. Ronald mengaku ketika bertugas di Pulau Jinato, posko yang mereka tempati dikepung dan dilempari warga yang marah karena larangan pengambilan batu karang dan larangan pembiusan ikan.

“Kami bertahan dan menghindari kontak langsung dengan mereka, sampai adanya bantuan datang.”

Sulitnya air bersih

Pulau Rajuni sendiri secara administratif berada di Desa Rajuni, Kecamatan Takabonerate, yang terletak pada Kepulauan Macan atau lebih dikenal dengan nama Takabonerate, dengan luas kawasan 530.765 hektar, yang telah ditetapkan sebagai kawasan taman nasional laut oleh Menteri Kehutanan sejak 1993 silam.

Pulau Rajuni terdiri dari dua buah pulau, yaitu Rajuni Besar dan Rajuni Kecil. Seperti halnya pulau-pulau di Takabonerate, kedua pulau Rajuni ini berada pada ketinggian sekitar 2-4 m dari permukaan laut, dimana bentuk kedua pulau ini memanjang dari utara ke selatan.

Pulau Rajuni Kecil dan Rajuni Besar ini tersusun dari struktur geofisik yang berasal dari pendangkalan laut (atol), sehingga pulau ini terdiri dari dasar karang kemudian dilapisi dengan tekstur tanah pasir berlempung.

Salah satu masalah yang dihadapi warga saat ini adalah kondisi air tanah permukaan dengan kualitas yang tak layak konsumsi tanpa perlakuan khusus terlebih dahulu. Sumber utama air tawar berasal dari air hujan dan air yang didatangkan dari luar kawasan.

“Sebenarnya dulu di sini ada alat penyulingan air dari Dinas PU, tapi sekarang sudah rusak, sudah diaduin ke PU tapi belum ada respon. Yang dibangun tahun 2009 rusak di tahun 2011, yang dibangun tahun 2011 rusak di tahun 2012. Sudah dua tahun mereka tidak lagi memiliki sanitasi air.”

Penyebab cepat rusaknya alat ini kemungkinan karena kadar garam yang tinggi sehingga saringannya cepat rusak dan harus selalu diganti.

Masalah lain adalah akses transportasi yang sulit. Tak ada transportasi reguler warga untuk ke daerah lain, khususnya ke Kota Selayar. Selama ini mereka hanya ikut di kapal-kapal dagang milik sejumlah warga dengan jadwal yang tak tetap.

Masyarakat yang mendiami Pulau Rajuni tergolong unik. Sebagian besar warga pulau ini adalah berasal dari etnitas Bajo dan Bugis, masing-masing 52,1 persen dan 45,7 persen. Selebihnya adalah pendatang dari Selayar dan Flores. Meski demikian, hampir tak ada gesekan antar masyarakat. Mereka umumnya berbahasa dengan tiga bahasa lokal, yaitu Bahasa Konjo Selayar, Bugis dan Bajo.

Dari perjalanan singkat di pulau terpencil ini, nampak bahwa masyarakat etnik bugis memiliki tingkat pendapatan dan kesejahteraan lebih tinggi dibandingkan dengan masyarakat etnik Bajo. Hal ini dapat kita lihat dari kehidupan mereka, dimana masyarakat bugis lebih banyak sebagai ‘ponggawa’ atau pemilik modal, yang memiliki armada angkutan yang lebih baik dari masyarakat etnik Bajo.

Perbedaan kedua etnitas juga terasa dari segi kondisi fisik atau bangunan rumah tempat tinggal, dimana rumah bangunan suku Bugis jauh lebih bagus dan modern dibanding suku Bajo yang sebagian besar masih sangat sederhana dan dibangun sekitar pantai atau bagian luar pulau.

Pembangunan PLTS

Sebagai pulau kecil yang terpencil, Pulau Rajuni adalah salah satu dari 11 pulau terluar dan kecil yang mendapat perhatian pemerintah terkait penyediaan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS).

Proyek pembangunan PLTS ini adalah bagian dari program Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), berupa pembangunan panel-panel listrik bertenaga surya di seluruh rumah warga dan fasilitas publik yang ada.

Menurut Arni, saat ini proyek pembangunan PLTS sudah tengah berlangsung, khususnya persiapan sosial masyarakat. Sebanyak 374 panel listrik dibangun, yang ditempatkan di sebuah lokasi tersendiri.

“Untuk pembangunan panelnya akan segera dibangun. Kontraktornya akan datang. Tugas kami adalah bagaimana melakukan pendampingan kepada masyarakat terkait keberlanjutan dari program ini.”

Selama ini, panel listrik tenaga surya sebenarnya sudah ada, yang ditempatkan di setiap rumah. Ini merupakan bantuan dari Pemda Selayar. Hanya saja, kini hampir seluruh panel tersebut tak berfunsgi dengan baik. Banyak warga yang malah sudah mencopot panelnya karena tak bisa digunakan.

Melalui dukungan panel surya yang terbangun secara terkonsentrasi ini diharapkan bisa lebih mudah dalam hal perawatan dan pengawasan.

“Kita latih warga setempat untuk menjadi teknisi. Kami dari DFW juga membantu dalam hal pengelolaan dengan membentuk semacam forum warga yang akan bertanggung jawab dalam pengelolaan instalasi ini. Nantinya juga akan ada biaya bulanan yang akan ditentukan sendiri oleh mereka secara musyawarah, besarannya sekitar Rp 30 ribu-Rp 50 ribu, jauh lebih murah dibanding sebelumnya,” tandas Arni.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , ,