, ,

Air Tetap Melimpah Meski El Nino Menerjang

Kemarau panjang yang terjadi akibat fenomena El Nino membuat sebagian daerah di Indonesia kering kerontang. Cerita krisis air bersih dan warga yang kesulitan mendapatkan air bersih dan bahkan mengonsumsi air kotor menjadi sesuatu yang biasa pada saat ini.

Kontras dengan cerita itu, penduduk di lereng selatan Gunung Slamet terutama di Banyumas, Jawa Tengah (Jateng) tak mengalaminya. Mereka justru sengaja “membuang” air bersih karena penampungan atau bak air tidak mampu menampungnya. “Kalau tidak dibuang, kasihan nanti para petani yang ada di bagian bawah desa ini,”ujar Agus Murod, 46, salah seorang warga di Desa Pekuncen, Kecamatan Pekuncen, Banyumas.

Ia mengatakan kalau hampir seluruh warga desa setempat menggantungkan air bersih dari sumber mata air yang tersebar di seluruh perbukitan setempat. “Di perbukitan yang merupakan lereng sebelah barat daya Gunung Slamet ini sangat kaya sumber mata air. Yang paling besar adalah sumber mata air Bunton. Tetapi, umumnya warga memanfaatkan sumber mata air yang kecil-kecil. Meski kecil, tetapi memasuki kemarau yang panjang ini tetap mengalir,”ungkap Agus.

Dia menjelaskan biasanya warga mengalirkan ke sebuah bak penampungan. Dari tempat itu, nanti dibagi-bagi airnya. “Umumnya, penduduk di sini terus mengalirkan airnya, meski sudah penuh. Jadi, memang air istilahnya harus ‘dibuang-buang’, supaya air tetap mengalir ke tempat yang lebih rendah. Sebab, di desa-desa lain yang lebih bawah seperti Desa Banjaranyar, Pasiraman Lor dan Pasiraman Kidul masih banyak yang membutuhkan. Tidak saja untuk pengairan sawah, tetapi juga untuk kolam ikan,”katanya.

Bahkan, kata Agus, warga di sini justru lebih suka air pada musim kemarau. Karena air saat musim kering justru sangat bersih dan dingin. “Kalau musim kemarau seperti sekarang, air benar-benar murni dari sumber mata air. Sedangkan saat musim penghujan tiba, airnya agak kecoklatan karena tercampur tanah. Tetapi masih tetap bagus setelah diendapkan,”tambahnya.

Pembangkit Listrik

Berkah lereng Gunung Slamet sebelah selatan juga dirasakan oleh warga di Desa Gunung Lurah, Kecamatan Cilongok, Banyumas. Di Dusun Pesawahan, tepatnya, warga tidak hanya memanfaatkan air yang bersumber dari mata air Krangean untuk memenuhi kebutuhan air bersih saja. “Meski memasuki musim kemarau, air tetap lancar. Jangankan untuk memenuhi kebutuhan air minum, lahan pertanian dan kolam, untuk menggerakkan turbin saja masih baik,”kata tokoh desa setempat Ali Sahudin.

Menurutnya, sumber mata air Krangean masih mampu menggerakkan turbin dengan kapasitas 30 kilowatt (KW) tersebut. “Di sini ada pembangkit listrik tenaga mikrohidro (PLTMH) yang dibangun Pemprov Jateng pada 2010 silam.

Warga dusun Karanggondang Desa Sambirata, Banyumas,  tengah berjalan di depan PLTMH Karanggondang yang masih beroperasi pada saat musim kemarau seperti sekarang. Foto : L Darmawan
Warga dusun Karanggondang Desa Sambirata, Banyumas, tengah berjalan di depan PLTMH Karanggondang yang masih beroperasi pada saat musim kemarau seperti sekarang. Foto : L Darmawan

Pembangunan PLTMH tersebut dilakukan karena ada potensi air yang mampu menggerakkan turbin. Dari 30 KW yang diproduksi, mampu untuk  menerangi setidaknya 105 rumah di Dusun Pesawahan. Air yang keluar usai menggerakkan turbin dialirkan untuk mengairi sawah dan kolam,”ujar Ali.

Dia mengungkapkan air yang memberi berkah bagi warga Dusun Pesawahan juga harus dialirkan kembali ke daerah-daerah lebih bawah. Dusun yang berada pada ketinggian 800 meter di atas permukaan laut (mdpl) menyadari kalau dusun atau desa di bawahnya bergantung juga pada air di dusun setempat. “Makanya, kami juga harus menjaga supaya air yang ke bawah tetap mengalir. Kami harus berbagi dengan mereka yang ada di bawah. Kalau tidak dialirkan, bisa-bisa tanaman pertanian mereka bakal kekeringan dan kolam tidak terisi air,”tutur Ali.

Kondisi yang sama juga dialami oleh warga Dusun Karanggondang, Desa Sambirata, Kecamatan Cilongok. Di wilayah itu, warga juga memanfaatkan air tidak hanya sekadar untuk air minum, memenuhi kebutuhan sawah dan kolam saja, melainkan juga untuk listrik. “Dulunya, kampung sini gelap gulita. Sebelum ada PLTMH modern, kami menggunakan turbin dari kayu dengan memanfaatkan aliran Sungai Prukut. Dengan turbin kayu, kami bisa menghidupkan lampu. Tetapi dayanya terbatas. Nah, begitu ada PLTMH, maka daya listriknya bisa besar. Apalagi, debit air sungai tidak surut sepanjang waktu, pada musim kemarau sekalipun,”tutur tokoh pemuda Dusun Karanggondang, Sodirin Firdaus.

Menurut Sodirin, warga telah membentuk Kelompok Sido Padang, dusun setempat. “Kelompok itu bertujuan untuk mengelola dan memelihara PLTMH. Jadi, ada yang bertugas mengecek air dan instalasi PLTMH. Seluruhnya dikelola secara mandiri, setelah Pemprov Jateng menyerahkan pengelolaan PLTMH ke warga desa. Warga juga diberi kewajiban untuk memberikan iuran untuk listrik yang mereka pakai. Hal ini kami lakukan sebagai bentuk tanggung jawab warga,”jelasnya.

Dikatakan oleh Sodirin, PLTMH di Dusun Karanggondang dengan kapasitas 50 KW mampu mencukupi kebutuhan listrik bagi 270 keluarga di dusun setempat. Setiap bulannya warga memberi iuran sekitar Rp10 ribu hingga Rp75 ribu, sesuai dengan pemakaian masing-masing. Sejauh ini, warga lancar dalam memberikan iuran mereka,”katanya.

Jaga Lingkungan

Warga yang bermukim di sabuk Gunung Slamet tersebut boleh merasa bangga karena air masih melimpah dan mampu dimanfaatkan saat el nino tiba. “Dari nenek moyang kami sampai sekarang, cerita mengenai kekeringan di Desa Sambirata belum pernah ada. Karena sejak dulu, mata air sangat melimpah airnya pada saat musim kemarau panjang sekali pun,”ungkap Kepala Desa Sambirata Karwan.

Warga pulang dari hutan membawa ranting yang kering melewati selang-selang untuk mengalirkan air bersih. Foto : L Darmawan
Warga pulang dari hutan membawa ranting yang kering melewati selang-selang untuk mengalirkan air bersih. Foto : L Darmawan

Namun demikian, kata Karwan, masyarakat harus terus disadarkan agar terus menjaga lingkungan, khususnya hutan di perbukitan dan lereng Gunung Slamet. “Warga di sini menyadari jika masih ingin tetap menikmati listrik, syaratnya adalah menjaga lingkungan dan hutan agar tetap hijau serta lestari. Tanpa menjaga lingkungan, maka dipastikan air tidak mengalir dan akhirnya listrik tidak menyala lagi. Alhamdulillah, meski saat sekarang memasuki musim kemarau, tetapi air di Sungai Prukut tetap lancar sehingga turbin bisa jalan seperti halnya musim penghujan. Debit air saat kemarau sekarang memang masih bagus, karena hutan penyimpan air juga masih baik. Inilah yang kami tekankan, agar warga tetap menjaga lingkungan hutan tetap lestari,”tandasnya.

Hal itu juga dilakukan oleh masyarakat Desa Pekuncen dan Desa Gununglurah. Di Desa Gunung Lurah, menurut tokoh warga setempat, Ali Sahudin, wilayah perbukitan tempat mata air Krangean berada dikeramatkan sejak dulu. “Warga di sini jarang yang berani ke situ. Karena di dekat mata air Krangean ada pohon besar yang tidak pernah diganggu. Sejak dari nenek moyang sudah seperti itu,” katanya.

Menurut Ali, sampai sekarang masyarakat desanya juga terus disadarkan supaya tidak menebang pohon pada hutan di atas Dusun Pesawahan. Karena dampaknya bakal menyengsarakan. “Saya membayangkan kalau sumber mata air di sini mati. Warga harus mencari air bersih ke mana? Atau nanti bagaimana dengan listrik, apakah harus kembali gelap gulita? Inilah yang menjadi modal dasar untuk terus menyadarkan penduduk agar tetap menjaga lingkungan supaya tetap lestari,”tandasnya.

Dampaknya bisa lebih dari itu, masyarakat bakal kesulitan menanam padi dan budidaya ikan air tawar. Bukan saja “tuan rumah” mata air yang berada di di atas, melainkan juga desa-desa di bawahnya. Itu sebabnya, mereka sadar dan terus menjaga lingkungan terutama hutan. Karena tanpa hutan, mustahil air dari mata air bakal mengalir.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , , , ,