,

Nelayan Teluk Jakarta Gugat Ahok Batalkan Izin Reklamasi

Izin pelaksanaan proyek reklamasi Pulau G yang dipegang PT Muara Wisesa Samudera digugat legalistasnya oleh nelayan Teluk Jakarta, Selasa (15/9/2015). Gugatan tersebut dilayangkan kepada Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta di Pulogebang, Jakarta Timur.

Dalam gugatannya, para nelayan mempertanyakan Surat Keputusan (SK) Gubernur DKI Jakarta No 238 Tahun 2014 tentang Pemberian Izin Pelaksanaan Reklamasi Pulau G kepada PT Muara Wisesa Samudera.

Menurut nelayan, walau ada SK, namun kepentingan hak-hak nelayan tradisional kecil tetap dilanggar. Selain itu, pelestarian lingkungan hidup pesisir Teluk Jakarta dan prosedur hukum yang dilakukan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dinilai sudah terjadi pelanggaran.

“Para nelayan menilai apa yang dilakukan dalam proyek reklamasi sudah sangat mengganggu. Karenanya, mereka menuntut untuk segera dicabut SK 2238 Tahun 2014 yang dikeluarkan Ahok,” ungkap Marthin Hadiwinata dari Koalisi Rakyat untuk Kedilan Perikanan (KIARA) yang ikut mendampingi para nelayan di PTUN.

Menurut Marthin, desakan untuk segera dicabut SK Gubernur DKI Jakarta tersebut, tidak lain karena reklamasi yang dilakukan sekarang hanya fokus pada pembangunan saja dan itu merugikan para nelayan. Kata dia, tak ada perlindungan nelayan kecil dan terlebih untuk lingkungan hidup di sekitar lokasi reklamasi.

“Apalagi, reklamasi tersebut ditetapkan di masa orde baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto. Ini jelas sudah tidak relevan lagi,” sebut Marthin.

“Di sana total ada 13 rumah tangga nelayan,” tambah dia.

Dengan fakta tersebut, maka penetapan SK tidak tepat lagi untuk dijadikan dasar pembangunan reklamasi seperti sekarang. Terutama, karena Indonesia saat ini sudah memiliki regulasi lebih baru seperti Undang-Undang No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil dan beberapa UU lainnya.

Selain KIARA, proses pendaftaran gugatan administratif yang dilakukan para nelayan Teluk Jakarta juga didampingi WALHI (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia), ICEL (Indonesian Center for Environmental Law), LBH (Lembaga Bantuan Hukum), PBHI (Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia) dan IHCS (Indonesian Human Rights Committee for Social Justice).

Koalisis tersebut memutuskan menjadi pendamping, karena melihat fakta kalau pembangunan reklamasi Pulau G sudah melampaui tata aturan yang ada di Indonesia. Hal itu diakui oleh Muhammad Taher, dari KNTI.

“Di masa orde baru, proses untuk reklamasi dilakukan secara tertutup dan sentralistik,” ungkap Taher. Menurut dia, fakta tersebu harusnya bisa dievaluasi di masa reformasi yang sudah berjalan hingga saat ini.

Apalagi, Kementerian Lingkungan Hidup sendiri sudah menegaskan bahwa proyek reklamasi di Teluk Jakarta sebenarnya tidak layak. Tetapi, ketetapan yang dikeluarkan melalui Kepmen LH No 14 Tahun 2003 itu kemudian dicabut proses peradilannya karena bertentangan dengan prosedur hukum administrasi.

“Saat itu, hakim tidak melakukan penilaian atas dampak buruk reklamasi terhadap lingkungan hidup,” jelas Taher.

Setelah Kepmen tersebut dicabut, proses perizinan proyek reklamasi ternyata terus berlanjut. Puncaknya, pada Desember 2014 lalu, Ahok menerbitkan SK No 2238 Tahun 2014. Ketetapan tersebut dinilai sudah melawan ketetapan yang dikeluarkan Pemerintah jauh sebelumnya.

“SK Gubernur Ahok saat itu bertentangan dengan Perpres No 54 Tahun 2008 tentang Penataan Ruang Kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, Cianjur. Selain itu, juga bertentangan dengan Permen LH No 5 Tahun 2012 tentang Jenis Rencana Usaha dan/Kegiatan yang Wajib Memiliki Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup,” papar dia.

Di luar dua ketetapan diatas, SK yang dikeluarkan Gubernur Ahok juga ternyata bertentangan dengan Perpres No 122 Tahun 2012 tentang Reklamasi di Di Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil; PP No 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional; PP No 27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan; UU No 31 Tahun 2004 tentang Perikanan; UU No 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang; UU No 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil beserta dengan perubahannya yang diatur dalam UU No 1 Tahun 2014;

“Juga bertentangan dengan UU No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan HIdup  dan UU No 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan hingga Pasal 27 ayat 92) dan 28H ayat (1) UUD 1945,” tambah dia.

Para penggugat terdiri dari lima orang nelayan tradisional yang tergabung dalam Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia, tiga orang aktivis lingkungan serta WALHI yang menggunakan mekanisme Hak Gugat Organisasi Lingkungan Hidup. Kepentingan para penggugat telah dilanggar dengan terbitnya Kepgub No. 2238 Tahun 2014 sehingga menuntut dicabutnya Kepgub tersebut dan memintah hakim untuk memerintahkan kepada Gubernur DKI Jakarta untuk melakukan pengembalian fungsi-fungsi ekosistem lingkungan hidup yang telah rusak.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , , , , , ,