,

Air Bersih Tetap Jadi Masalah Utama di Pulau-pulau Kecil

Keberadaan pulau-pulau kecil di Indonesia hingga saat ini terkesan masih kurang diperhatikan oleh pemerintah, swasta, ataupun pihak lain. Padahal, pulau-pulau kecil keberadaannya dinlai sangat penting karena berapa di antaranya adalah titik terpenting untuk menjadi barisan pertahanan negara.

Demikian kesimpulan dari bahasan pulau-pulau kecil dalam gelaran UN Sustainable Development Solutions Network bertema “Solution Initiatives for Urban Development in Island and Coastal Environment” yang berlangsung di Depok, Jawa Barat, 16-17 September lalu.

Saat ini, pulau-pulau kecil di Indonesia jumlahnya mencapai 17.520 dan menyebar di seluruh wilayah Indonesia. Menurut Staf Ahli Dirjen Pengelolaan Ruang Laut Kementerian Kelautan dan Perikanan Adipati, pulau-pulau kecil adalah pulau yang luasnya di bawah 2.000 kilometer persegi.

“Itu definisi pulau-pulau kecil di Indonesia. Saat ini keberadaannya banyak yang belum tertata dengan baik, terutama infrastrukturnya,” ucap Adipati.

Dia menyebutkan, dari seluruh pulau-pulau kecil yang saat ini ada, hampir semuanya memiliki masalah yang sama dalam tata kelola air. Menurutnya, ada yang bermasalah karena ketergantungan pada mata air, ketergantungan pada musim hujan, dan ada juga yang tergantung langsung pada air hujan.

“Biasanya, masalah yang ketiga adalah karena di pulau tersebut tidak ada mata air dan saat turun hujan pun tanah di pulau tersebut tidak bisa menyerap air hujan dengan baik. Jadilah, air hujan langsung diambil melalui wadah-wadah oleh warga,” papar Adipati.

Akan tetapi, Adipati mengungkapkan, faktor keterbatasan air karena ketiadaan mata air dan serapan air hujan yang baik jumlahnya hanya sekitar 20 persen saja dari total pulau kecil yang ada. Sementara, sisanya adalah karena faktor mata air (52 persen) dan ketergantungan musim hujan (28 persen).

“Pemerintah saat ini sedang fokus untuk menyediakan sumber air di pulau-pulau tersebut. Namun, sekarang masih ada kendala, karena Pemerintah belum memiliki manajemen aset. Padahal, itu menjadi masalah jika nanti pengadaan air dilakukan melalui alat,” jelas Adipati.

Pendapat Adipati tersebut senada dengan akademisi dari Universitas Udayana, Bali, Dharma Putra. Menurut dia, masalah utama dalam pengelolaan sumber air di sebuah pulau kecil, adalah pemeliharaan alat. Hal itu sudah terjadi di Pulau Nusa Penida, Bali.

“Di Nusa Penida itu sudah dipasang teknologi untuk pengadaan air. Tapi itu hanya bertahan enam bulan saja karena memang masyarakatnya tidak siap,” jelas Dharma.

Karena ketidaksiapan masyarakat tersebut, Dharma berpendapat kalau pemerintah harus mencari cara agar penyediaan air untuk masyarakat di pulau kecil bisa tersedia dengan baik tapi juga bisa memelihara alatnya.

Hujan Mikro

Sementara itu menurut akademisi dari Universitas Cendrawasih, Samuel, jika memang mengadakan alat dinilai terlalu mahal untuk menyediakan air bersih di sebuah pulau kecil, maka pilihan untuk membuat hujan mikro harusnya bisa menjadi salah satu solusi.

“Hujan mikro ini terjadi karena penguapan di pulau tersebut. Jadi ini sangat hemat dan tidak perlu perawatan ekstra seperti halnya sebuah alat berharga mahal. Di Papua sudah ada yang seperti itu, ada hujan mikronya,” ungkap Samuel.

Hujan mikro ini, menurut Samuel, berbeda dengan hujan makro yang biasa turun di musim hujan. Karenanya, jika sudah bisa menghasilkan hujan mikro sendiri, pulau tersebut tidak akan tergantung lagi pada hujan makro yang datang hanya saat musim penghujan saja.

Akan tetapi, walau sudah ada di beberapa pulau di Papua, namun Samuel hingga saat ini belum mempelajari secara ilmiah bagaimana proses hujan mikro terjadi di atas sebuah kawasan. Hal itu, karena hujan mikro yang terjadi di Papua berbeda seperti hujan mikro yang dibuat sengaja oleh Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG).

“Harus ada penelitian lebih lanjut. Bagaimana agar hujan mikro bisa terjadi di sebuah kawasan. Apakah itu karena dipengaruhi oleh keberadaan hutan di kawasan tersebut atau tidak. Lalu, tanaman atau pohon apa yang bisa memicunya? Dan berapa jumlahnya?” cetus Samuel lebih detil.

Karena itu, Samuel berharap, penelitian tentang hujan mikro bisa dilakukan oleh kampus ataupun oleh lembaga kajian tertentu. Yang jelas, dia berpendapat kalau hujan mikro bisa menjadi solusi penyediaan air bersih di pulau kecil di Indonesia.

Menanggapi usulan hujan mikro tersebut, Guru Besar Emeritus Institut Teknologi Bandung Prof Bambang Hidayat berpendapat, hujan mikro bisa saja dikembangkan, tapi tentu tidak semua pulau kecil bisa melakukannya.

“Contohnya di Pulau Nusa Penida, Bali. Di sana tangkapan airnya sudah bagus. Jadi walau kecil pulaunya, di pesisir pantai sudah ada mata air yang rasanya tawar. Itu tinggal dikelola saja bagaimana agar bisa sampai ke masyarakat di sana,” jelas Bambang.

Oleh itu, Bambang mengatakan, sebelum diputuskan untuk menggunakan metode apa dalam menyediakan air bersih di pulau kecil, sebaiknya dilakukan dulu studi tentang geologi di pulau tersebut dan bagaimana sistem tata air yang pas untuk kondisi geologi setempat.

“Itu penting dilakukan. Hingga sekarang, masalah air bersih masih menjadi isu penting untuk pulau-pulau kecil. Kalau bukan kita yang memikirkannya, maka siapa lagi yang akan peduli?” tandas dia.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , , ,