,

Mendesak, Inilah 4 Poin Rekomendasi Penyelamatan Badak Sumatera

Untuk pertama kalinya para ilmuwan dan praktisi konservasi menggunakan teknik survey populasi yang lebih canggih dalam mengidentifikasi zona perlindungan hutan untuk menyelamatkan badak sumatera (Dicerorhinus sumatrensis) dari kepunahan.

Hal tersebut terangkum dalam sebuah publikasi ilmiah baru dari Wildlife Conservation Society (ECS) dan University of Massachusetts-Amherst (UMass). Hasil penelitian tersebut dipublikasikan di Public Library of Science (PLoS) ONE pada edisi 16 September 2015.

Penelitian ini memberikan informasi yang sangat dibutuhkan mengenai distribusi badak sumatera yang tersisa. Penelitian dilakukan dengan permodelan habitat yang eksplisit secara spasial, menggunakan data tanda keberadaan badak yang dikumpulkan dalam tiga wilayah yang diduga menjadi tempat tinggalnya. Luas area yang disurvey lebih dari 3 juta hektar.

Wulan Pusparini, peneliti dari WCS menjelaskan bahwa dari hasil penelitian tersebut, diperkirakan bahwa sekarang badak hanya menempati 237.100 hektar di bentang alam Leuser, 63.400 hektar di Taman Nasional Way Kambas dan 82.000 hektar di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan. Secara total, badak sumatera hanya menghuni 13% dari total area yang disurvei.

Bahkan di Leuser, ditemukan badak sumatera yang menempati kawasan di luar taman nasional, yang berarti tingkat keterancamannya sangat tinggi baik dari minimnya keamanan maupun potensi konversi hutan yang menjadi habitatnya saat ini.

“Melalui penelitian ini, teridentifikasi lokasi penting dimana kita harus melindungi mereka (badak sumatera-red) dihabitat asalnya, mengingat begitu banyak yang tidak diketahui mengenai pengelolaan badak sumatera, baik di alam maupun di penangkaran,” jelas Wulan yang merupakan penulis utama publikasi tersebut.

Penelitian ini merekomendasikan empat aksi penting, yaitu 1) menetapkan secara formal 5 Zona Perlindungan Intensif (ZPI), dengan memastikan angka perburuan nihil di area tersebut; 2) memastikan kelayakan (ZPI) dengan menganulir rencana pembangunan jalan baru yang akan membelah Taman Nasional Bukit Barisan Selatan dan Taman Nasional Leuser; 3) Mengkonsolidasikan seluruh populasi kecil dan terpisah di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan dan di luar populasi inti di bentang alam Leuser; dan 4) menyadari bahwa badak sumatera akan punah apabila tidak ada upaya apapun yang secepatnya dilakukan, seperti punahnya badak jawa di Vietnam tahun 2010.

Rosa, badak sumatera betina di SRS-TNWK (Foto Haerudin R. Sadjudin-Dokumen YABI-TFCA-Sumatra)
Rosa, badak sumatera betina di SRS-TNWK (Foto Haerudin R. Sadjudin-Dokumen YABI-TFCA-Sumatra)

Direktur Konservasi Keanekaragaman Hayati, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Bambang Dahono Adji menyambut baik hasil penelitian ini. Menurutnya, hasil penelitian ini sangat mendukung untuk implementasi dokumen Strategi dan Rencana Aksi Badak Sumatera, sebagaimana telah ditetapkan melalui Permenhut P.43/Menhut-II/2007.

“Kami menyambut dengan baik hasil penting ini untuk mendukung usaha Indonesia dalam sepenuhnya mengimplementasikan Rencana Aksi Badak Sumatera.” kata Bambang yang juga menjabat sebagai Ketua Sekretariat Bersama Komisi Nasional Penyelamatan Badak Indonesia.

Area sebaran badak sumatera yang dilakukan dalam penelitian ini. Map courtesy: Wulan Pusparini.

Badak Sumatera Benar-Benar di Ambang Kepunahan

Badak sumatera merupakan salah satu spesies yang paling terancam keberadaannya pada saat ini. Sejak dideskripsikan secara scientific 200 tahun yang lalu, badak sumatera yang tadinya memiliki distribusi yang sangat luas di Asia Tenggara, tersisa hanya di tiga lokasi di Sumatera dan satu lokasi di Kalimantan, Indonesia. Konversi hutan secara besar-besaran untuk kepentingan ekonomi, telah menyumbang penyusutan habitat badak sumatera secara masif dari tahun ke tahun.

Ketiga habitat badak yang tersisa itupun, tak luput dari ancaman kerusakan. Terdapat rencana pembangunan jalan yang akan semakin memfragmentasi habitat badak di Taman Nasional Leuser dan juga Taman Nasional Bukit Barisan Selatan. Padahal, kedua Taman Nasional ini termasuk dalam Situs Warisan Tropis UNESCO karena sangat penting bagi konservasi keragaman hayati. Kondisi ini diperparah dengan tingginya minat pasar gelap terhadap cula badak. Oleh pelaku, cula tersebut kebanyakan diselundupkan ke luar negeri sebagai bahan obat tradisional.

“Kami menyadari upaya konservasi badak sumatera membutuhkan kemauan politik yang kuat serta pendanaan yang tidak sedikit,” jelas Wulan yang saat ini sedang menempuh pendidikan di UMass untuk meraih gelar Ph.D.

Populasi badak sumatera cenderung mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Lebih dari 200 tahun yang lalu diperkirakan populasi badak terkecil di dunia ini masih sekitar 10.000 individu. Semenjak tahun 1985, populasi terus menurun dari angka sekitar 600 ekor menjadi kurang dari 100 ekor saat ini.

Dengan diketahuinya lokasi penting pelestarian badak sumatera ini, Joe Walston, Wakil Presiden WCS untuk Global Program, menekankan perlunya upaya gabungan dari seluruh lembaga yang peduli akan nasib badak sumatera untuk mencegahnya dari kepunahan.

“Untuk pertama kalinya kami memiliki informasi mengenai lokasi wilayah prioritas badak, sekaligus sarana dan teknik untuk melindungi mereka. Saatnya semua pihak bergabung untuk menyelamatkan satwa kritis ini,” jelasnya.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,