Kabut asap yang menyelimuti Kota Pontianak dalam sebulan terakhir, telah memicu berbagai spekulasi tentang asal-muasal api. Sebagian orang menuding petani. Namun, tak sedikit pula yang menyebut sumber api berasal dari lahan konsesi.
Pemantik spekulasi panjang seperti ini sesungguhnya dipicu oleh sikap pemerintah sebagai regulator yang terkesan abai dengan fenomena asap. Apalagi, diperparah dengan lemahnya proses penegakan hukum, yang menjadikan bencana tahunan ini seperti lagu lama yang terus bersenandung.
Tercatat, tidak kurang dari 42.183 hektar lahan di Kalimantan Barat ludes terpanggang api. Areal terbakar di atas lahan 40 perusahaan perkebunan kelapa sawit menempati peringkat tertinggi dengan luasan mencapai 24.529 hektar. Lalu, api memanggang kawasan hutan tanaman industri (HTI) yang dikuasai tiga perusahaan seluas 1.728 hektar.
Si jago merah juga terpantau mengamuk di atas lahan masyarakat seluas 15.926 hektar. Dari jumlah total luas areal yang terbakar, 25.613 hektar di antaranya adalah lahan gambut dan masuk dalam Peta Indikatif Penundaan Izin Baru (PIPIB) 7.
Data di atas terdeteksi melalui pantauan Citra Landsat 8 pada Juli hingga 20 September 2015. Citra satelit menyebut, pemasok utama asap ke Kota Pontianak bersumber dari kombinasi tiga kawasan terbakar. Yakni, konsesi perkebunan sawit, hutan tanaman industri, dan lahan masyarakat.
Penyumbang asap terbesar
Pada 9 September 2015, Citra Landsat 8 kembali mendeteksi kawasan terbakar di Kabupaten Ketapang. Hasil deteksi satelit kemudian di-overlay dengan peta konsesi dan menemukan 10 perusahaan sawit sedang mengalami kebakaran lahan yang sangat besar.
Perusahaan-perusahaan itu adalah PT. Abadi Mulia Sentosa, PT. Agro Lestari Mandiri, PT. Bumi Perkasa, PT. Fajar Saudara Lestari, PT. Gerbang Benua Raya, PT. Jalin Vaneo, PT. Kalimantan Agro Pusaka, PT. Kayong Agro Lestari, PT. Kusuma Alam Sari, dan PT. Sebukit Inter Nusa.
Koalisi Rakyat Kalbar Menggugat mencoba melakukan langkah-langkah verifikasi lapangan pada 11-14 September 2015. Hasilnya, konsesi yang dikuasai PT. Agro Lestari Mandiri (GAR/SMART) di Kabupaten Ketapang mengalami kebakaran hebat dengan luasan sekitar 918 hektar. Bahkan, api masih berkobar di kawasan yang sama sekali belum ditanami sawit.
Melihat pergerakan angin yang bertiup ke arah tenggara wilayah Ketapang, kian memperkuat persepsi para pegiat lingkungan bahwa sumber utama penyuplai asap di Pontianak adalah kebakaran di konsesi sawit 10 perusahaan sawit dimaksud.
Sebagai imbas dari luasnya lahan terbakar, Kota Pontianak pun terpapar asap. Indeks standar pencemaran udara (ISPU) terburuk dari level tidak sehat hingga berbahaya, terjadi pada 10-12 September 2015.
Pelajar libur sekolah selama sepekan. Begitu pula dengan jadwal penerbangan dari dan ke Bandara Supadio Pontianak, turut tersendat. Sementara korban infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) mengalami lonjakan signifikan.
Pemerintah akhirnya berupaya menekan laju pencemaran udara akibat paparan asap kebakaran hutan dan lahan. Upaya itu meliputi modifikasi cuaca dan water bombing. Inisiatif lainnya, pembagian masker kepada pengguna sepeda motor. Namun langkah-langkah itu tak juga mampu menjawab kenapa bencana kabut asap tahunan selalu ada di Kalimantan Barat.
Citizen lawsuit
Merujuk fakta di atas, Koalisi Rakyat Kalbar Menggugat yang terdiri dari sejumlah elemen masyarakat sipil bertekad mengajukan citizen lawsuit atau gugatan warga negara. “Ini salah satu jalan bagi warga untuk menggugat tanggung jawab negara atas kegagalannya memenuhi hak-hak warga,” kata Anton P Widjaya, Koordinator Koalisi Rakyat Kalbar Menggugat di Pontianak, Senin (21/9/2015).
Anton menjelaskan bahwa gugatan warga negara yang akan diajukan pada 26 September mendatang tidak hanya berkutat pada pemenuhan hak warga sebagai korban bencana asap. Tetapi gugatan juga bertujuan untuk mendorong perbaikan penanganan korban.
Selain itu, kata Anton, koalisi mendesak pemerintah untuk segera menindak korporasi pembakar lahan di Kalimantan Barat. “Persekongkolan kejahatan korporasi dan negara yang abai telah menimbulkan korban dan kerugian yang tidak ternilai,” jelasnya.
Komitmen IPOP
Sebagai tindak lanjut dari komitmen para CEO perkebunan kelapa sawit Indonesia di forum internasional tentang road map pengurangan emisi karbon terkait perubahan iklim, baik di The Consumer Goods Forum maupun World Economic Forum, empat grup top produsen perkebunan kelapa sawit Indonesia difasilitasi Kamar Dagang dan Industri (KADIN) pada 23 September 2014 menandatangani ikrar Indonesian Palm Oil Pledge (IPOP).
Ke empat grup top produsen itu adalah Golden Agri, Wilmar, Asian Agri, dan Cargill. Musim Mas juga bergabung dalam komitmen IPOP ini pada Maret 2015. Belakangan, Astra Agrolestari juga mendukung komitmen IPOP walaupun belum secara resmi. Jika digabungkan, enam grup ini akan melingkupi 90 persen dari produksi kelapa sawit Indonesia.
Ikrar ini meliputi: Larangan ekspansi kebun sawit yang menyebabkan deforestasi (no deforestasi); Larangan pengembangan kebun sawit di lahan gambut (no peatland); Larangan pengembangan kebun sawit menggunakan lahan berkarbon tinggi/High Carbon Stock (no HCS); dan Larangan menampung TBS/CPO dari kebun sawit hasil deforestasi, lahan gambut, dan HCS (traceability).
Komitmen IPOP ini melingkupi semua operasi dari perusahaan tersebut di seluruh dunia termasuk anak-anak perusahaan, pabrik pengolahan minyak sawit dan turunannya (palm oil mills and refinery) serta perkebunannya. Produk-produk di sepanjang rantai pasokan dan perusahaan supplier juga termasuk dalam komitmen IPOP.
Peneliti dari Aidenvironment, Haryono mengatakan bencana kabut asap di Kota Pontianak sesungguhnya masih menjadi bagian dalam lingkup komitmen ikrar IPOP. “Tapi saya tidak melihat pernyataan dari IPOP maupun member signatory-nya terkait bencana kabut asap yang telah diyakini publik berasal dari perkebunan kelapa sawit,” katanya di Pontianak, Senin (21/9/2015).
Menurut Haryono, bencana kabut asap ini adalah tantangan bagi IPOP-Kadin agar bereaksi lebih cepat melakukan implementasi dari rencana aksi pelaksanaan komitmen yang telah dituliskan. Semua itu bertujuan agar cita-cita pembangunan keberlanjutan dan pengurangan emisi gas rumah kaca dapat terpenuhi.
Haryono menjelaskan, IPOP diikrarkan untuk meningkatkan daya saing kelapa sawit Indonesia (competitiveness) di pasar dunia. “Bencana kabut asap ini sangat kontradiktif dengan komitmen yang telah disampaikan. Ini terlihat dari ketiadaan upaya dari signatory IPOP untuk berkomunikasi dengan Pemerintah Indonesia terkait bencana kabut asap,” tandasnya.