,

Ternyata, Industri Pengalengan Ikan Tuna di Indonesia Masih Buruk

Fakta mengejutkan diungkapan Greenpeace Indonesia tentang industri perikanan di Indonesia. Organisasi nirlaba yang fokus di lingkungan hidup itu membeberkan, hingga saat ini ada 13 perusahaan yang bergerak dalam industri pengalengan ikan tuna kondisinya masih memprihatinkan.

Bahkan, Greenpeace menilai, perusahaan-perusahaan tersebut saat ini masuk dalam kelompok rapor merah yang gagal menjalankan perusahaan dengan baik. Fakta tersebut diungkapkan Greenpeace saat menggelar jumpa pers di Hotel Akmani, Jakarta Pusat, Senin (21/9).

Juru Kampanye Laut Greenpeace Arifsyah Nasution mengatakan, walau dari segi bisnis perusahaan-perusahaan tersebut dinilai sukses, namun tidak jika dinilai dari sisi lingkungan hidup. Menurut dia, saat ini tidak ada satupun perusahaan pengalengan ikan tuna di Indonesia sudah melaksanakan prinsip-prinsip ramah lingkungan.

“Padahal, kita semua sudah tahu kalau ikan tuna itu adanya di dalam laut. Itu artinya, prinsip menjaga kelestarian lingkungan itu sudah menjadi harga mati yang harus dilaksanakan oleh perusahaan-perusahaan di Indonesia,” ungkap Arif.

Arif menyebutkan,penyebab masuknya 13 perusahaan yang masuk dalam kelompok rapor merah tersebut, karena mereka belum berhasil memenuhi tiga kriteria dasar sebagai perusahaan, yaitu keterlacakan, keberlanjutan, dan kesetaraan.

Tiga komponen dasar dan penting tersebut, dijelaskan Arif, sangat penting dimiliki oleh perusahaan yang ada di Indonesia. Keterlacakan misalnya, perusahaan dan konsumen harusnya bisa melacak dari mana asal ikan tuna yang digunakan untuk konsumsi.

“Kunci dari keterlacakan adalah mengetahui ditangkap dan bagaimana tuna ditangkap,” jelas dia.

Kemudian, komponen kedua yang juga penting, adalah keberlanjutan. Di Indonesia, khususnya 13 perusahaan yang sudah disurvei, menurut Arif, faktor keberlanjutan masih belum diterapkan. Adapun, keberlanjutan adalah perusahaan harus bisa berkomitmen melalui kebijakan penggunaan sumber tuna yang bebas dari praktisi perikanan ilegal, merusak, dan tidak bertanggung jawab.

“Komponen ketiga yang tidak ditemukan dalam 13 perusahaan, adalah kesetaraan. Kriteria  ini mendesak perusahaan untuk mengetahui siapa yang menangkap tuna dan bagaimana mereka diperlakukan,” papar Arif.

Dalam komponen terakhir ini, perusahaan harus bisa berkomitmen untuk memastikan kesejahteraan para pekerja di seluruh rantai pasokan dan aktif melakukan aktivitas perbudakan di lautan.

”Ini memang komponen yang tidak bisa dihilangkan sama sekali. Ketiganya saling terkait. Semakin bagus perusahaan mengungkapkannya, maka itu semakin mudah publik memahami kondisinya,” cetus dia.

Merek Popular Bukan Jaminan

Melalui studi dan survei yang sudah dilakukan, Greenpeace ingin mengingatkan kepada masyarakat yang menjadi konsumen ikan tuna dalam kaleng. Menurut Arif, dengan hilangnya tiga komponen di atas, maka sebenarnya konsumen sedang dibiasakan untuk buta terhadap produk yang mereka konsumsi.

Dengan demikian, menurut Arif, produk ikan tuna dalam kaleng yang bermerek populer di Indonesia tidak memiliki jaminan bahwa tuna yang dijual berasal dari proses yang legal dan benar. Kondisi tersebut, sebaiknya diperhatikan oleh masyarakat yang menjadi konsumen tetap ikan tuna dalam kaleng.

“Saat menelusuri praktik bisnis di perusahaan pengalengan tuna, kami menemukan banyak dari merek-merek besar ternyata tidak memilki kendali dalam rantai pasokannya. Hingga akhirnya mereka tidak dapat menelusuri dengan akurat distribusi tuna dari kapal penangkap ikan ke pengalengan, hingga ke konsumen,” papar dia.

Keterangan: DNR : Did not respons ( tidak merespon dan berpartisipasi dalam survei)
Keterangan:
DNR : Did not respons ( tidak merespon dan berpartisipasi dalam survei)
 Destructive Fishing

Faktor lain yang menyebabkan 13 perusahaan diatas masuk dalam rapor merah, menurut Arifsyah Nasution adalah karena perusahaan-perusahaan tersebut diketahui ada yang mengambil ikan tuna dengan cara menggunakan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan.

“Cara ini merusak ekosistem yang ada di lautan lepas. Perusahaan-perusahaan ini harusnya memang bisa mulai mengubah kebiasaan menangkap ikan dengan cara yang tidak sehat. Ini semua demi keberlangsungan laut di masa mendatang,” jelas Arif.

Tuna, salah satu produk perikanan andalan Indonesia di pasar global. Mirisnya, penangkapan tuna masih banyak dilakukan dengan cara-cara tidak ramah lingkungan, seperti yang terjadi di Kabupaten Flores Timur. Para nelayan di daerah ini banyak menangkap tuna dengan bom. Foto: WWF Indonesia
Tuna, salah satu produk perikanan andalan Indonesia di pasar global. Mirisnya, penangkapan tuna masih banyak dilakukan dengan cara-cara tidak ramah lingkungan, seperti yang terjadi di Kabupaten Flores Timur. Para nelayan di daerah ini banyak menangkap tuna dengan bom. Foto: WWF Indonesia

Sebelumnya, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti menegaskan bahwa siapapun perusahaan yang menangkap ikan dengan cara yang tidak ramah lingkungan, maka dia harus bertanggung jawab. Menurutnya, perusahaan harus segera mengubah kebiasaan tersebut karena keberlangsungan laut dan ekosistemnya harus tetap terjaga hingga masa mendatang.

“Kita tidak mau praktik-praktik seperti itu tetap ada di Indonesia. Cara-cara seperti menggunakan bahan peledak atau menggunakan alat tangkap yang bisa merusak ekosistem laut, itu sudah harus ditinggalkan,” tandas dia.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , , , , , ,