Jumat pekan lalu, beberapa warga Riau mendatangi Komnas HAM. Mereka ingin mengadu kabut asap yang menyebabkan warga kesulitan beraktivitas dan mengalami gangguan kesehatan. Kebakaran hutan dan lahan ini berdampak panjang, dari sekolah diliburkan, banyak orang terserang penyakit infeksi saluran pernapasan akut (ISPA). Mereka menilai, kejadian ini telah merenggut HAM warga, terutama hak lingkungan sehat.
“Kami dari Gerakan Rakyat Riau Melawan Asap ke Komnas HAM karena telah terjadi pelanggaran hak hidup bebas dari pencemaran asap. Kami di Riau, selama sebulan tiap hari bernapas dengan udara beracun,” kata Helda Khasmy, aktivis Serikat Perempuan Indonesia (Seruni).
Data Dinas Kesehatan, ada 43.386 warga Riau terpapar ISPA, bahkan menimbulkan korban jiwa. Sudah sebulan anak-anak tak sekolah. Kegiatan ekonomi lumpuh. Namun, tak ada proses evakuasi dari pemerintah bagi kelompok rentan. Baik anak-anak, ibu hamil dan menyusui, serta manula. Evakuasi hanya inisiatif warga. “Itupun hanya segelintir. Bagi warga mampu, mereka mengevakuasi keluarga ke Bukit tinggi atau Padang. Masih banyak warga tetap bertahan di tengah kepungan asap.”
Data satelit NASA, sejak Januari-September 2015, titik api di Riau paling banyak Juli 2.085. Titik api di HTI PT Arara Abadi (336), PT RAPP (297), PT Bukit Batu Hutani (107), PT Inhil Hutani Pratama (103), PT Rimba Rokan Lestari (146) dan PT Sumatera Riang Lestari (208). Di perkebunan seperti PT Alam Lestari (43), non HGU (1.730), PT Langgam Inti Hibrindo (23), PT Pusaka Mega Bumi dan Nusantara (10).
“Kami menuntut pemerintah menindak tegas dan penegakan hukum terhadap perusahaan pembakar hutan,” katanya.
Helda mengatakan, kebakaran terulang tiap tahun karena pola penguasaan tanah tak berpihak pada masyarakat lokal. Lahan banyak didistribusikan pada perkebunan besar dan HTI. Imbasnya, kanalisasi membuat lahan gambut kering dan rentan terbakar.
“Ini karena monopoli lahan gambut Riau. Kami meminta pemerintah menghentikan monopoli penguasaan lahan, audit izin-izin pemanfaatan lahan.”
Dalam kesempatan sama anggota Komisi E DPRD Riau, Ade Hartati mengatakan, pemerintah memadamkan api tetapi tak menjawab persoalan mengapa kejadian terus berulang tiap tahun.
“Hutan Riau harus ditata kembali. Kalau tidak, kami tak akan pernah bebas dari asap. Apakah ini yang akan kami wariskan ke anak cucu? Tata kelola hutan harus jadi landasan. Riau sampai saat ini belum punya RTRW.”
Ade mengalami pengalaman buruk karena asap kebakaran hutan dan lahan. Saat melahirkan, bayinya harus dirawat intensif karena sakit pernapasan.
Kebakaran asap, katanya, bukan lagi menjadi bencana daerah, tetapi nasional. Proses penyelesaianpun, harus terintegrasi antara pemerintah daerah dan pusat agar kejadian tak terulang.
Menanggapi itu, Wakil Ketua Internal Komnas HAM Siti Noor Laila mengatakan, kebakaran yang menimbulkan asap itu ada hak-hak masyarakat terganggu, yakni, hak lingkungan sehat dan kesehatan.
Komnas HAM akan mempelajari dokumen-dokumen dan segera menerjunkan tim ke Riau dan daerah lain yang terserang asap. Setelah itu, Komnas HAM akan memberikan rekomendasi kepada pemerintah. “Evakuasi warga tanpa difasilitasi pemerintah. Mestinya pemerintah segera evakuasi, terutama bagi kelompok rentan.”
Pemerintah, katanya, juga harus menyediakan fasilitas pendidikan di ruang tertutup agar pendidikan dan ruang bermain anak tidak terganggu.”Diharapkan dengan kasus ini pemerintah menata ulang dan ada penegakan hukum sungguh-sungguh dan jujur,” katanya.
Roichatul Aswidah, Wakil Ketua Eksternal Komnas HAM mengatakan, terjadi pelanggaran serius pemerintah karena ada pembiaran.
“Pemerintah melanggar. Pemkab dan pemprov memiliki kewenangan tapi tidak dilakukan. Ada hal mendasar tak dilakukan pemerintah.”
Pemerintah, katanya, tidak menjalankan kewajiban untuk berupaya maksimal mengatasi masalah ini padahal asap terjadi bertahun-tahun.
Komisioner Komnas HAM Sandra Moniaga ikut berkomentar. Menurut dia, selain pemerintah, perusahaan yang membakar hutan harus ikut bertanggung jawab menanggung biaya kesehatan masyarakat dan kerugian lain.
“Masa’ bencana langganan tiap tahun? Tiap tahun sudah ada pemantauan. BMKG ada ramalan. Harusnya bisa persiapan atau alternatif. Sudah tau ada kemarau dan lahan gambut mudah terbakar, kenapa boleh kanalisasi?”
Seharusnya, kata Sandra, pemerintah bisa mengelola titik-titik rawan dengan baik sebelum kemarau. Dia merujuk UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang jelas mengatur peran pemerintah di setiap tingkatan.