,

Drone Pertanian, Teknologi Deteksi Dini untuk Berbagai Persoalan Tanaman

Setelah menjadi pionir untuk pemetaan partisipatif komunitas adat dengan menggunakan pesawat tanpa awak alias drone, Swandiri Institute- sebuah lembaga konsultan di Kalimantan Barat- kini mengembangkan drone untuk bidang pertanian.

Konsep ini, sebenarnya bukan barang baru, karena telah ada di Thailand dan Australia yang melakukan uji coba menggunakan teknologi tersebut untuk mendeteksi gangguan nutrisi, hama, penyakit bahkan kehadiran gulma di lahan pertanian.

Uji coba penggunaan drone ini, pertama kali dilakukan Swandiri Institute pada 16 September 2015. Lokasi yang dipilih adalah Dusun Cempaka, Desa Sungai Itik, Kecamatan Kakap, Kabupaten Kubu Raya, sebagai lumbung padi di Kalimantan Barat, setelah Kabupaten Sambas.

“Program ini didukung oleh United Nations Development Programme Indonesia dan Pulse Lab Jakarta, “kata Direktur Swandiri Institute, Hermawansyah. Cara kerjanya tidak berbeda dengan  drone untuk pemetaan wilayah. Hasil pencitraan udara dari dua kamera tersebut akan merekam fotosintesis dari tanaman di bawahnya.

Arif Munandar, Peneliti Swandiri Institute menambahkan, drone akan terbang sekitar 150 hingga 200 meter dari permukaan lahan. Data dari dua kamera yang merekam gambaran fotosintesis tanaman akan tersimpan di komputer program. Setelah dianalisis, akan dihasilkan angka Normalize Difference Vegetative Index (NDVI). “Untuk tanaman yang sehat, kisarannya dari warna yang sesuai angka 0,4 – 0,9. Sedangkan yang tidak sehat dari angka 0,1 – 0,3. Pengembangan program ini, sudah dilakukan dalam tiga bulan terakhir.”

Angka-angka tersebut, juga tergambar dalam spektrum yang akan mencerminkan faktor stres tanaman. Sehingga, dapat dideteksi sedini mungkin sebelum masalah tanaman tersebut meluas. “Treatment untuk tanaman tentunya akan lebih tepat, sehingga hanya akan diberikan pada  tanaman yang membutuhkan saja. Ini jelas sangat efisien,” tambah Arief.

Menurut Arief, perbedaan pencitraan melalui drone dan satelit sangat besar. Jika satelit mampu mencitrakan permukaan lahan dengan tingkat detil sebesar 15×15 meter, sedangka drone mampu menghasilkan citra lahan hingga 2 cm per pixel. Bulir padi juga terlihat.

Sebagai early warning system, pemantauan untuk lahan pertanian harus dilakukan pada bulan pertama penanaman. Sehingga, petani bisa memberikan dosis yang tepat untuk pemupukan, pencegahan hama dan penyakit bagi tanaman yang membutuhkan, serta mengontrol pertumbuhan tanaman. “Dengan sumber daya minim, pengawasan dapat dilakukan,” ujar Arief.

Dengan menggunakan drone, diharapkan para petani tidak kesulitan lagi memantau sawahnya dan juga dapat memberikan perlakuan yang tepat pada padi yang ditanam. Foto: Rhett Butler

‘Mata’ Petani

Drone diharapkan menjadi ‘mata’ petani. Areal persawahan yang ribuan hektar pun bisa diawasi dengan teknologi ini. Di Eropa, kata Hermawansyah, penggunaan drone membantu petani anggur mendeteksi kesehatan tanaman di kebunnya. Areal perkebunan anggur yang luas menyebabkan teknologi drone menjadi sangat praktis dan efisien.

Dia mengharapkan agar penggunaan drone dapat diadopsi oleh pemerintah dan dimaksimalkan untuk meningkatkan produksi pertanian. “Sejalan dengan rencana Presiden Joko Widodo, dengan Drone Desa,” tukasnya. Pada kampanye pemilu Presiden 2014, Jokowi mengatakan akan memborong satu skuadron drone untuk kepentingan pertanahan dan perbatasan. Tak hanya itu, drone juga bisa digunakan untuk mengawasi illegal logging dan illegal fishing di Indonesia.

Herwadi (37) pemilik lahan pertanian yang diujicobakan untuk drone pangan mengungkapkan, untuk dua hektar lahan pertanian, dia mengupah buruh harian. Biayanya bisa di atas Rp500 ribu per orang. “Belum lagi untuk pemupukan, satu hektar bisa mencapai Rp1 juta. Demikian juga untuk menanggulangi hama dan penyakit tanaman,” katanya.

Dalam hamparan lahan padi tadah hujan yang dimiliki, Herwadi mengatakan, beberapa bagian tanamannya terkena penyakit Blast (Pyricularia oryzae), Fusarium dan Rhizotomy. Penyakit-penyakit yang menyerang batang tanaman tersebut, selama ini dideteksi secara manual. “Jika bulirnya ada yang coklat, artinya kena Blast. Yang paling saya takutkan Blast dan Rhizotomy, cepat menyebar,” katanya. Penyakit ini menjadi ancaman ketika curah hujan yang tinggi berselang dengan hari panas. Gangguan lainnya adalah hama wereng dan tikus, namun tidak terlalu banyak.

Dosen Fakultas Pertanian Universitar Tanjungpura, Tris Haris Ramadhan mengatakan, dalam pertanian alami, masalah hama dan penyakit tanaman merupakan permasalahan yang tidak dapat dihindari. “Dimana ada sumber makanan, otomatis akan ada rantai makanan,” tukasnya. Dengan penggunaan drone, kata Tris, diharapkan petani bisa meminimalisir potensi kerugian akibat terserang hama dan penyakit tanaman. Termasuk, menentukan perlakuan yang paling cocok untuk tanaman tersebut.

“Teknologi ini paling mungkin dilakukan oleh petani secara berkelompok. Karena, hama dan penyakit tanaman itu menyebar dari satu lahan ke lahan lain, tanpa sekat. Jadi, perlakukan dalam suatu lahan juga sama,” jelasnya. Dia pun mengatakan, petani harus optimis memanfaatkan teknologi untuk areal lahan pertanian mereka. Dengan penekanan biaya untuk pemupukan, tenaga kerja, dan pemeliharaan tanaman, untung yang didapat semakin besar.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , ,