,

Resahnya Masyarakat Dayak Kenyah-Kayan akan Wilayah Adat Tana’ Ulen

Seruan tegas disampaikan para Tetua Adat dan Ketua Lembaga Adat Dayak Kenyah-Kayan kepada pemerintah daerah dan Provinsi Kalimantan Utara agar memberikan pengakuan dan perlindungan terhadap hak masyarakat adat Dayak guna melestarikan hutan adat mereka. Komunitas yang meliputi masyarakat adat Apokayan, Hulu Bahau, Pujungan, Kenyah-Kayan dari Mahakam Hulu dan Kutai Timur, serta Bulungan ini meminta agar hutan adat mereka dalam bentuk Tana’ Ulen diperhatikan serius.

Para tokoh dan tetua adat Dayak Kenyah-Kayan ini meminta Pemerintah Kalimantan Utara agar melakukan koordinasi saat hendak menerbitkan izin kehutanan, pertambangan, dan perkebunan yang bersentuhan langsung dengan lahan dan hutan masyarakat. Seruan ini merupakan hasil Musyawarah Tana Ulen yang diselenggarakan di Tanjung Selor, Kabupaten Bulungan, Kalimantan Utara, pada 17-18 September 2015.

“Tana’ Ulen adalah tradisi unik dan langka karena tidak dimiliki oleh semua Komunitas Adat Dayak dan komunitas adat lainnya,” kata Ketua Umum Lembaga Adat Dayak Kalimantan Utara, Henoch Merang.

Tana’ Ulen merupakan tanah larangan berupa kawasan rimba atau hutan primer dengan tingkat keanekaragaman hayati tinggi yang dimanfaatkan untuk menjaga kelangsungan hidup masyarakat adat Dayak. Di wilayah ini tumbuh berbagai jenis rotan, daun sang, kayu manis, damar, sagu, gaharu, dan aneka kayu untuk bahan bangunan selain hidup juga berbagai satwa dan ikan di sungai.

Namun begitu, Tana’ Ulen yang merupakan wilayah adat, kini mengalami banyak tekanan. “Pemerintah dengan kewenangannya mulai dari Menteri LHK, hingga provinsi dan kabupaten/kota berulangkali menetapkan wilayah hutan adat sebagai hutan lindung, cagar alam, kawasan HTI, pertambangan, dan perkebunan tanpa koordinasi dengan masyarakat adat setempat,” lanjutnya.

Kebijakan pemerintah melalui sistem perizinan, menurut Henoch, telah mengorbankan hutan primer termasuk wilayah Tana’ Ulen mereka. “Akibatnya, wilayah adat kami dirampas karena masuk dalam penguasaan izin dari pemerintah itu.”

Penegasan serupa disampaikan Apuy Laing, perwakilan masyarakat adat Dayak Kenyah Desa Long Ketaman, yang menyebutkan bahwa gangguan terhadap Tana’ Ulen bukan hanya dari kebijakan pemerintah. Tetapi juga, dari para pengusaha dan pencari gaharu yang berasal dari luar daerah. “Pembukaan lahan di sekitar Tana’ Ulen baik untuk jalan, tambang, dan perkebunan membuat kondisi lingkungan berubah dan sungai tercemar.”

Terkait penegasan masyarakat tersebut, Zainuddin HZ, Assiten I Bidang Pemerintahan dan Kesra Provinsi Kalimantan Utara, mengatakan bahwa Pemprov Kaltara memiliki komitmen untuk menghormati, melindungi, dan melestarikan nilai dan praktik budaya suku-suku asli yang mendiami wilayah Kalimantan Utara.

“Di Kalimantan Utara (Kaltara) baru ada satu kabupaten yang memiliki peraturan daerah terhadap perlindungan wilayah dan masyarakat adat yaitu Kabupaten Malinau. Inisiatif dari pemerintah provinsi saat ini, masih berupa draf yang tengah dibahas DPRD. Sedikit tertunda, karena persiapan pilkada serentak akhir tahun ini.”

Menurut Zainuddin, meski belum ada peraturan daerah namun tidak membuat pemerintah berpangku tangan terkait keberadaan suku-suku asli Kalimantan Utara yang kerap disingkat Bundayanti atau Bulungan, Dayak, Tidung. “Tana’ Ulen adalah warisan tradisi yang memang harus dilindungi.”

Jalan logging yang telah membelah Tana’ Ulen di Desa Metun Sajau. Foto: Yustinus S. Hardjanto
Jalan logging yang telah membelah Tana’ Ulen di Desa Metun Sajau, Bulungan, Kaltara. Foto: Yustinus S. Hardjanto

Konsep konservasi

Anye Apuy, Kepala Adat Besar Bahau Hulu menyatakan, budaya Tana’ Ulen membuktikan bahwa komunitas masyarakat adat Kenyah-Kayan telah memiliki konsep konservasi dan kearifan lokal dalam menjaga kelestarian alam. “Tana’ Ulen adalah rimba yang dilindungi aturan adat. Siapa yang melanggar akan mendapatkan denda.”

Sumber daya alam yang boleh diambil adalah gaharu, rotan, kayu manis, buah-buahan, daun sang, ikan dan binatang buruan. Namun, untuk mengambilnya harus seizin kepala adat dengan waktu tertentu. Misal, saat ada kegiatan desa. Untuk keperluan sehari-hari atau pribadi, masyarakat bisa mengambil sayuran, ikan dan binatang buruan dalam jumlah yang dibatasi. “Semua aktivitas harus sepengetahuan kepala adat dan apa yang diambil bukan untuk diperjualbelikan,” lanjut Anye.

Berapa luasnya kawasan Tana’ Ulen yang dimiliki masyarakat Kenyah-Kayan di Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara saat ini, belum bisa dipastikan karena masih dalam pendataan. Namun, dalam sebuah petisi yang digagas Mohammad Nasir di Change.org disebutkan, luasan Tana’ Ulen di Kabupaten Bulungan berkisar 30.000 hektar.

Sanksi adat menjadi kunci pelestarian Tana Ulen. Sanksi ini bukan hanya dikenakan kepada mereka yang mengambil hasil di Tana’ Ulen tanpa izin, tetapi juga kepada mereka yang menggunakan peralatan  merusak kelestarian alam. Menangkap ikan dengan menggunakan setrum, misalnya.

“Besaran sanksi atau denda tergantung pada kesalahan. Tidak selalu uang, bisa juga benda adat seperti mandau, parang, atau gong. Aturan tegas ini dibuat agar hutan rimba dan segala kekayaannya terjaga, sehingga bisa dinikmati anak cucu kelak,” tegas Anye.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , ,