,

INDC Indonesia Belum Jelaskan Kebijakan Adaptasi dan Mitigasi Yang Komprehensif

Pemerintah Indonesia telah mengirimkan submisi Intended Nationality Determined Contribution (INDC) kepada Sekretariat United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC).  Dalam INDC tersebut, Indonesia berkomitmen menurunkan emisi karbon sebesar 29 persen dari tahun dasar 2030.

Indonesia berkeinginan untuk mencapai ketahanan iklim sebagai hasil dari program adaptasi dan mitigasi yang komprehensif dan strategi pengurangan resiko bencana, dengan melakukan pembangunan rendah emisi negeri ini akan fokus pada sektor energi, pangan dan sumber daya air serta memperhatikan Indonesia sebagai negara kepulauan.

Staf pengajar Ilmu Lingkungan Program Pascasarjana Universitas Indonesia, Ari Muhammad mengatakan penjelasan mengenai ketahanan iklim, adaptasi dan mitigasi dalam INDC Indonesia masih bersifat umum dan belum memunculkan kebijakan, program dan aktivitas yang menjawab persoalan yang diungkapkan dalam dokumen tersebut.

Padahal gambaran kebijakan dan program adaptasi penting untuk menentukan prioritas pembangunan nasional dan sumber daya yang dibutuhkan untuk mencapai hal tersebut, seperti pendanaan yang diperlukan dan teknologi yang digunakan.

Prioritas pembangunan menjadi penting untuk membuat matriks program dan aktivitas yang menentukan kebutuhan pendanaan yang apakah cukup dipenuhi dari dalam negeri atau butuh bantuan pendanaan dari luar negeri.

“Juga perlu dibuat kajian kerentanan iklim yang komprehensif, yang kemudian menentukan program dan aktivitas sesuai kebutuhan suatu daerah.  Dalam konteks kajian kerentanan di level nasional dan di daerah, akan ditentukan tujuannya kajian, apakah untuk menyelamatkan ekonomi nasional atau atau ekonomi daerah,” jelas pendiri Green Voice Indonesia itu.

Menurutnya, basis pendekatan adaptasi Indonesia juga harus jelas apakah berdasarkan daratan atau pesisir. “Kalau dikaitkan dengan Nawacita, mestinya ketangguhan iklim dibangun berbasis pesisir. Karena sebagian besar ibukota propinsi berada di pesisir,” kata Penilik Thamrin School of Climate Change and Sustainability itu.

Sedangkan profesor Klimatologi khususnya Manajemen Resiko Iklim, Adaptasi dan Mitigasi Perubahan Iklim IPB Bogor, Rizaldi Boer mengatakan  komitmen penurunan emisi Indonesia dalam INDC, harus disesuaikan dengan kapasitas dan kemampuan negara, serta tidak boleh mengorbankan kelanjutan pembangunan.

Senada dengan Ari, Rizaldi Boer juga menegaskan kebijakan dan program adaptasi serta mitigasi harus dijelaskan kebutuhannya sehingga kontribusinya dapat dilaksanakan dengan baik sesuai dengan dukungan baik pendanaan maupun teknologi yang tersedia. Bila dukungan tersebut tidak tersedia, maka harus juga disebutkan bahwa penurunan emisi hanya bisa dilakukan pada level tertentu.

Kepala Pusat Center for Climate Risk and Opportunity Management in Southeast Asia and Pacific (CCROM-SEAP) itu mengatakan target penurunan emisi 29 persen dari tingkat emisi 2030 itu harus diterjemahkan bagaimana target itu bisa dicapai oleh masing-masing sektor dan harus dijelaskan rujukannya.

Selain itu tahun dasar (baseline) yang dipilih, harus dijelaskan secara transparan, dan bagaimana alasan pemilihan kebijakan program untuk penurunan emisi seperti kebijakan bauran energi dan pengelolaan limbah.

“Kalau tahuan dasar sudah ditetapkan, maka bisa dibuat modeling, teknologi, program dan implikasi untuk target penurunan emisi seperti apa,” kata Rizaldi.

Tetapi dia melihat kajian komprehensif terhadap penjelasan terperinci taregt 29 persen emisi karbon itu belum dilakukan. “Kita belum melakukan kajian sejauh itu. Kita belum tahu apa implikasinya. Apakah 29 persen itu bisa dicapai atau tidak? Apakah membebani ekonomi kita? Kajian belum sedalam itu. Sehingga memang angka 29 persen cukup bisa mengandung resiko buat kita,” katanya.

Rizaldi melihat kajian tersebut perlu dilakukan untuk menyusun strategi dan aksi dalam mencapai target penurunan tersebut.

“Dari sisi adaptasi, sejauh mana dampak dari perubahan iklim terhadap pembangunan kita. Apa yang sudah kita lakukan di dalam merespon dalam perubahan iklim dan perencanaan seperti apa. Dukungan apa yang kita perlukan untuk tangguh pembangunan. Berapa pendanaan untuk mencapai kondisi tangguh itu,” katanya.

Dia melihat masalah pendanaan perubahan iklim sangat penting bagi negara maju yang akan membantu negara berkembang dalam mengembangkan ketangguhan iklim yang membutuhkan biaya yang besar.

Dilihat dari trend global, emisi dari negara maju mulai menurun, tetapi emisi dari negara berkembang malah merangkak naik karena keberhasilan pembangunan/ “Kalau pola pembangunan business as usual, maka negara Asia berkontribusi 50 persen emisi global. Bagaimana itu bisa diubah? Harus ada leap frog (lompatan). Jadi teknologi rendah emisi harus diterapkan meski mahal. Tetapi negara maju harus mendukung dengan subsidi teknologi dan dukungan finansial sehingga orang mau beralih ke teknologi tersebut,” katanya.

Selain penjelasn mengeni komitmen dan strategi untuk mencapai target penurunan emisi 29 persen, dia melihat perlu juga diungkapkan tentang kebutuhan pendanaan dalam mencapai hal tersebut.

“Dalam INDC seharusnya disebutkan apa komitmen kita, bagaimana strateginya dan usaha apa yang telah dilakukan seperti RAN GRK. Support need perlu dituangkan dalam INDC dan bagaimana harapan kita terhadap komitmen internasional,” katanya.

Sehingga kontribusi nasional pengurangan emisi karbon yang telah ditetapkan dan diniatkan dengan sungguh-sungguh bisa dilaksanakan, karena apa yang telah dituangkan pasti akan diteliti secara global.

“Sehingga bagaimana komitmen itu tidak boleh mengorbankan kelanjutan pembangunan dan harus disesuaikan dengan kapasitas dan kemampuan kita,” tambahnya.

Artikel yang diterbitkan oleh
,