, , ,

Menggantung Asa pada Bioenergi Lestari Kalteng

Orang bilang tanah kita tanah surga. Tongkat kayu dan batu jadi tanaman. Orang bilang tanah kita tanah surga. Tongkah kayu dan batu jadi tanaman

Penggalan lirik lagu Kolam Susu yang dinyanyikan Koes Plus ini menginspirasi Tisnaldi, Direktur Bioenergi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, untuk mengedepankan pengembangan bionergi lestari di lahan tergedradasi, lahan kritis dan bekas tambang. Salah satu wilayah sasaran Kalimantan Tengah.

“Tanah kita subur. Apa saja bisa tumbuh. Dari bumi pertiwi ini kita punya potensi limbah biomassa yang bisa dijadikan energi. Potensi nasional 32.000 MW,” katanya, saat pembukaan Sosialisasi Program Pengembangan Bioenergi Lestari di Lahan Terdegradasi di Kalimantan Tengah,” pekan lalu. Sejumlah pejabat pemerintahan provinsi dan kabupaten, perwakilan BUMN, perguruan tinggi dan kelompok LSM terlihat hadir.

Tisnaldi mewakili Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi KESDM menyebut sawit, tebu, karet, padi, jagung, ubi kayu, kayu, hewan peliharaan dan sampah perkotaan sebagai sumber energi baru.

Sosialisasi ini tindak lanjut dari nota kesepakatan bersama dan perjanjian kerjasama selama lima tahun dari Program Pengembangan Bioenergi Lestari antara KESDM dengan Pemerintah Kalteng pada Juli 2015.

Potensi energi baru

Dalam siaran pers, Pemerintah Kalteng dan Satgas Percepatan dan Pengembangan Energi Baru Terbarukan KESDM menyebut program pengembangan bioenergi lestari adalah upaya pemerintah mengembangkan potensi energi baru terbarukan (EBT) di Indonesia. Program ini juga berupaya meningkatkan bauran energi nasional yang ditetapkan pemerintah pada 2014, sebesar 41% minyak bumi, 30% batubara, 23% gas, dan 6% EBT.

Pemerintah mengakui sulitnya memadukan produksi bahan baku di hulu dengan konsumen pengguna atau hilir. Sudah banyak kasus kegagalan industri bioenergi karena tidak ada interkoneksi antara hulu dan hilir. Maka, program pengembangan bioenergi lestari di Kalteng, ini langkah mengurai sumbatan selama ini.

Syahrin Daulay, Asisten II Pemerintah Kalteng bidang Perekonomian dan Pembangunan yang mewakili Pejabat Gubernur menyatakan, Kalteng siap mendukung program ini. “Kami akan memulai dari Pulang Pisau dan Katingan.”

Tisnaldi, Direktur Bioenergi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (berkacamata) kala diwawancarai wartawan. Foto:  Jenito
Tisnaldi, Direktur Bioenergi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (berkacamata) kala diwawancarai wartawan. Foto: Jenito

Dengan pemanfaatan lahan terdegradasi, lahan kritis, dan bekas tambang,  katanya, potensi kebakaran lahan hutan bisa diperkecil. Pmerintah akan mengajak peranserta masyarakat menanam, memeliharaan dan menjaga tanaman bioenergi dan memfasilitasi pemasaran. Tentulah, masyarakat tidak ingin tanaman bioenergi dilalap api. “Mereka akan menjaga.”

Dia mengatakan, kebakaran lahan menjadi penyebab terbesar lahan terdegradasi di Kalteng. Daulay mencatat, rata-rata 45.000 hektar lahan terbakar tiap tahun. “Tahap awal, Pulang Pisau akan siapkan 19.000 hektar dan Katingan 43.500 hektar,” ucap Daulay. Dua lokasi pencadangan bioenergi lestari adalah Desa Petuk Liti (Pulang Pisau) dan Desa Hampalit  (Katingan).

Status Desa Petuk Liti adalah hutan produksi, telah ditanami karet warga, sawit oleh perusahaan perkebunan dan warga, peladangan dan semak belukar. Desa Hampalit merupakan hutan produksi konversi dengan penambangan emas tradisional oleh warga dan lahan kosong.

Hutan energi

Selain Pulang Pisau dan Katingan, Pemerintah Kalteng juga akan membangun percontohan skala kecil di Kalampangan, Palangkaraya. “Sebagai etalase,” kata Daulay.

Jimmy Wilopo, Satgas PPEBT KESDM, menambahkan, etalase ini miniatur hutan dan kebun energi berkonsep bioenergi lestari dari hulu hingga hilir. Ia dibangun di tanah Pemerintah Kalteng.

Miniatur hutan energi ini akan mendukung fungsi wisata, pendidikan, kampanye, dan pemberdayaan masyarakat.  Ia juga mengundang parapihak yang ingin mengetahui dan belajar bioenergi dan potensi di Kalteng.

Wilopo menyebutkan, sejumlah tanaman penghasil bionergi yang memungkinkan di Kalteng, seperti akasia, ekaliptus, kaliandra, nyamplung, sagu, tebu, ubi jalar, sorghum, pome, kayu-kayuan dan kemiri sunan.

Siti Maimunah, Dekan Fakultas Pertanian dan Kehutanan Universitas Palangkaraya, sedang penelitian kemiri sunan sebagai tanaman untuk reklamasi lahan bekas pertambangan. Demplot yang diteliti dua hektar di Kelurahan Mungku Baru, Rakumpit, Palangkaraya.

“Kemiri sunan bernilai ekonomi. Kami juga melatih masyarakat membudidayakan.”

Setop pengembangan sawit

Mustofa dari JARI Kalteng dan Simpun Sampurna dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Kalteng justru menyangsikan program ini.

Musofa mengingatkan, jangan sampai ada pertambahan perkebunan sawit untuk tujuan bioenergi. Perkebunan yang ada banyak menyisakan masalah sosial dan lingkungan.

Sedang Sampurna khawatir masyarakat adat malah terpinggirkan karena Peraturan Daerah No, 5 tahun 2015 tentang RTRW Kalteng 2015-2035. “Perda itu tidak tegas memasukkan wilayah masyarakat adat.”

Sigit Hardiwanto, Tenaga Alhi Menteri ESDM Bidang Bioenergi dan Reklamasi, menanggapi Sampurna, permasalahan degradasi lahan erat kaitan dengan tata ruang. Kelonggaran kebijakan tata ruang masa lampau turut mengakibatkan lahan terdegradasi makin luas.

Dengan program ini, diharapkan bersepakat pada RTRW yang mengadopsi kepentingan bersama, termasuk masyarakat adat.

Nully Nazlia dari Satgas PPEBT KESDM menegaskan pentingnya forum komunikasi yang mewadahi parapihak dalam program ini. Karena komunikasi adalah kunci keberhasilan program.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , ,