Nelayan Butuh Segera RUU Perlindungan dan Pembedayaan Nelayan

Pekerjaan rumah yang hingga saat ini masih belum terselesaikan adalah bagaimana menumbuhkan minat masyarakat untuk kembali menekuni profesi nelayan. Hal itu, karena profesi nelayan bisa menjadi tulang punggung kemajuan dari sektor kelautan dan kemaritiman.

Hal itu diungkapkan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti di Jakarta, Rabu (30/9/2015). Menurut dia, masalah utama yang saat ini ada, adalah profesi nelayan tidak mendapatkan perlindungan utuh,

“Karenanya, dari tahun ke tahun jumlah nelayan terus menyusut. Ini sangat berbahaya. Masa iya, nanti profesi nelayan diisi oleh orang-orang dari luar Indonesia. Nggak lucu ini,” tutur Susi.

Susi menyebutkan, dari data yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah nelayan pada 2003 mencapai 1,6 juta jiwa. Namun, sepuluh tahun kemudian atau pada 2013, jumlahnya menyusut hingga menyisakan 800 ribu nelayan saja.

“Itu sangat mengkhawatirkan sekali. Karenanya, dari KKP berinisiatif untuk menumbuhkan kembali minat masyarakat untuk menjadi nelayan. Selain itu, program yang akan diluncurkan pada 2016 juga sebagian besar untuk nelayan tradisional,” jelas dia.

Namun dari semua itu, menurut perempuan asal Kabupaten Pangandaran, Jawa Barat itu, yang harus dilakukan oleh Pemerintah saat ini, adalah bagaimana memberikan perlindungan penuh kepada nelayan.

“Perlindungan tersebut bisa berupa asuransi, regulasi, dan juga profesi. Itu harus bisa diwujudkan segara,” cetus dia.

Bentuk perlindungan dari sisi regulasi, dijelaskan Susi, adalah Pemerintah mengeluarkan kebijakan yang sifatnya untuk memberikan perlindungan nelayan dalam menjalankan profesinya. Contohnya, perlindungan dengan memberantas aksi illegal fishing.

Kata Susi, dampak dari illegal fishing memang terasa hingga lapisan terbawah di masyarakat. Hal itu, karena sumber daya ikan di laut juga terus mengalami penyusutan. Dia mencontohkan, saat ini sudah tidak ditemui lagi penjual udang udang atau kepiting dalam ember di Cirebon, Jawa Barat.

“Padahal, dulu itu Cirebon dikenal luas sebagai kota penghasil udang yang sangat banyak. Tapi sekarang, itu sudah susah. Itu mengindikasikan bahwa produksi udang atau kepiting disana sudah semakin tipis,” tutur dia.

“Punahnya profesi seperti itu juga menjelaskan bahwa kita harus segera melakukan introspeksi segera. Ini agar masalahnya bisa selesai,” tandas dia.

Segera Wujudkan RUU Perlindungan Nelayan

Sementara itu menurut Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) Abdul Halim, permasalahan yang terjadi saat ini dalam profesi nelayan, bisa segera diatasi secara bertahap. Tetapi, syaratnya Pemerintah punya kemauan untuk segera mengesahkan rancangan undang-undang (RUU) tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam.

“RUU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam merupakan instrumen yang dapat digunakan untuk mengeliminasi tumpang-tindihnya kebijakan di bidang kelautan dan perikanan,” ucap Abdul Halim.

Selain untuk mengatasi masalah tersebut, dia meyakini, kehadiran RUU juga bisa melindungi sektor lainnya yang mengancam hajat hidup masyarakat pesisir lintas profesi, seperti perlindungan terhadap wilayah tangkap nelayan dan lahan budidaya/tambak garam, dan lain-lain.

Dia menambahkan, sisa waktu tiga bulan di tahun 2015 ini harus sungguh-sungguh dimanfaatkan untuk menyegerakan pembahasan dan pengesahan RUU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam. Karena, kewajiban Negara adalah melindungi dan memberdayakan nelayan.

Nelayan mengangkat ikan hasil tangkapannya di Pelabuhan Ikan Melonguane, Kepulauan Talaud, Sulawesi Utara. Foto : Jay Fajar
Nelayan mengangkat ikan hasil tangkapannya di Pelabuhan Ikan Melonguane, Kepulauan Talaud, Sulawesi Utara. Foto : Jay Fajar

Terkait dengan terus menyusutnya profesi nelayan di Cirebon, Ketua Serikat Nelayan Indonesia (SNI) Cirebon, Ribut Bachtiar, mengatakan bahwa kondisinya saat ini memang sudah sangat memprihatinkan. Namun, dia yakin jika RUU selesai dibuat, masalah tersebut perlahan akan hilang.

“RUU ini harus memberikan kepastian kepada nelayan, pembudidaya ikan, dan petambak garam, khususnya terkait dengan harga produk yang dihasilkan, seperti ikan, udang, dan garam. Dengan kepastian harga, maka nelayan, pembudidaya ikan, dan petambak garam akan termotivasi untuk memproduksi pangan khas pesisir tersebut,” sebut dia.

Nelayan Disudutkan

Kemunduran yang dialami nelayan juga diungkapkan Ketua Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) Riza Damanik. Menurut dia, masalah yang saat ini ada, Pemerintah di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo terkesan tidak memperhatikan hak-hak yang dimilliki nelayan.

“Padahal, nelayan itu bagian dari sektor kelautan dan perikanan. Sektor tersebut saat ini sedang digenjot oleh Jokowi untuk dijadikan komoditas utama, sesuai dengan visi dia menjadikan Indonesia sebagai negara maritim yang kuat,” ungkap dia.

Kondisi ironis tersebut, sangat disayangkan. Karena menurut Riza, nelayan dalam kondisi apapun seharusnya mendapatkan hak-hak yang diperlukannya. Tidak hanya hak perlindungan keselamatan kerja saja, tapi juga hak yang lain seperti kesejahteraan dan regulasi.

“Contohnya saja, ada nelayan yang harus kehilangan tempat tinggalnya karena ada proyek reklamasi pantai. Siapa yang harus disalahkan jika sudah demikian? Tetap saja nelayan yang susah kan? Nelayan pada akhirnya dikebiri hak-haknya,” papar dia.

Jadi, menurut Riza, jika memang Pemerintah peduli dengan nasib nelayan, maka mulai dari sekarang segera perhatikan keberadaan mereka dan lindungilah mereka melalui regulasi yang jelas. Jangan sampai, Indonesia berambisi menjadi negara maritim kuat, tapi nelayannya justru sangat lemah.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , , , ,