Saat sebagian besar provinsi di Sumatera diselimuti pekatnya kabut asap akibat kebakaran hutan dan lahan, Aceh justru diterjang banjir.
Ribuan rumah warga di Kabupaten Aceh Utara, Aceh Timur, Aceh Tamiang, dan Kota Langsa, kembali dihantam banjir akibat meluapnya sejumlah sungai di daerah tersebut. Di Aceh Utara, banjir terjadi sejak Selasa (29/9/15), yang merendam sebagian besar rumah dan lahan pertanian warga di Kecamatan Lhoksukon, Matangkuli, Cot Girek, dan Pirak Timu.
Usman, Camat Cot Girek menyebutkan, dalam setahun banjir terjadi tiga hingga empat kali. Selain rumah, ratusan hektar areal pertanian masyarakat juga gagal panen akibat bencana itu. “Rata-rata ketinggian air 50 – 100 centimeter,” jelasnya kemarin.
Akibat banjir ini, kegiatan belajar mengajar di empat sekolah terpaksa di hentikan. Sekolah yang diliburkan adalah SMP Negeri 4 Lhoksukon, SDN 9 Lhoksukon, SDN 11 Cot Girek, dan SMPN 2 Cot Girek.
Di Aceh Timur, ratusan rumah warga di Kecamatan Simpang Jernih terendam. Berdasarkan keterangan Camat Simpang Jernih, Ahmad, pihaknya sedang melakukan pendataan jumlah perumahan warga dan luasan sawah yang terendam akibat meluapnya Sungai Ranto Panjang dan Sungai Tampor.
Sementara di Aceh Tamiang, akibat diguyur hujan lebat dalam sepekan terakhir, sembilan kecamatan di kabupaten tersebut terendam banjir. Data dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Aceh Tamiang menyebutkan, 1.181 unit rumah warga terendam. “Banjir terparah terjadi di Kecamatan Kuala Simpang. Ketinggian air di daerah tersebut mencapai dua meter, untuk beraktivitas, masyarakat harus menggunakan rakit atau sampan,” sebut Munawar, Warga Kuala Simpang.
Banjir memang telah menjadi menu tahunan bagi sejumlah daerah di Provinsi Aceh. Wilayah yang paling rawan terdampak adalah Kabupaten Aceh Utara, Aceh Jaya, Aceh Barat, Subulussalam dan Nagan Raya. Dalam setahun, wilayah ini bisa dihantam air lebih empat kali.
Terkait kondisi ini, Walhi Aceh menyatakan, baik banjir, tanah longsor maupun kekeringan yang terjadi di Aceh akibat maraknya pembukaan hutan untuk perkebunan dan pertambangan. “Hutan dibuka tanpa kendali menyebabkan sumber air berkurang. Bila hujan akan banjir, sebaliknya saat kemarau terjadi kekeringan,” ujar M. Nur, Direktur Walhi Aceh.
Menurut M. Nur, kejadian ini harusnya menjadi perhatian semua pihak, khususnya Pemerintah Aceh untuk menata kembali menata sektor kehutanan. “Kejadian ini membuat petani menderita. Padahal, yang melakukan perusakan hutan adalah para pemilik lahan perkebunan dan pertambangan.”
Jika dilihat dari seringnya terjadi bencana di Aceh, baik itu banjir maupun tanah longsor, seharusnya, pemerintah tingkat provinsi maupun kabupaten/kota, sigap menghadapi kondisi tersebut. “Tapi, berkali bencara terjadi, penanganannya masih lambat.”
Pemerintah Aceh dan emerintah kabupaten/kota, harus memiliki metode pembangunan ramah lingkungan. Mengingat, menangani bencana alam bukanlah perkara mudah. “Butuh anggaran besar, tenaga, dan dampak psikologis yang dialami masyarakat. Untuk itu, tata kelola pembangunan yang baik harus dipikirkan,” ungkap M. Nur.