Pagi, 22 September 2015, warga di Dusun Pelansi, Desa Kuala Satong, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat, dikejutkan dengan kedatangan dua individu orangutan di kebun karet masyarakat setempat. Ketika itu, warga tengah mengambil air sumur untuk kebutuhan sehari-hari. Kemarau panjang menyebabkan sumur di kediaman mereka kering. “Yang terlihat orangutan dewasa dan anaknya. Keduanya tengah mencari air minum,” ujar Kepala Seksi Konservasi Wilayah III Ketapang, Balai Konservasi Sumber Daya Alam Kalimantan Barat, Junaidi, baru-baru ini.
Sekitar 700 meter dari kebun warga, memang merupakan kawasan hutan. Namun, sebagian luasanya terbakar. Parit kecil yang membatasi hutan dan kebun karet pun mengering. Isinya hanya daun-daun yang gugur. Kondisi udara di dusun pun berkabut asap.
“Siang hari, saat kami tiba di lokasi, dua orangutan itu masih ada. Namun, agaknya keduanya tidak bisa kembali lagi ke hutan karena sudah dilalap api,” tambahnya. Junaidi lantas menghubungi Yayasan Inisiasi Alam Rehabilitasi Indonesia (YIARI) Ketapang, untuk melakukan strategi evakuasi.
Tim YIARI cepat bertindak. Karmele Sanchez, didampingi drh Ayu dan tenaga bantu lapangan, serta Staf Seksi Konservasi Wilayah III Ketapang, langsung bergegas ke lokasi. “Orangutan ini merupakan orangutan betina dewasa yang diberi nama Mama Kasih, sedangkan anaknya yang berusia 7 tahun dipanggil Kasih,” kata Heribertus Suciadi, Humas YIARI.
Menurut warga, hutan di dusun mereka itu sudah terbakar lima hari, sebelum kedua orangutan tersebut ditemukan. Di tempat itu pula, setahun lalu, YAIRI pernah menyelamatkan satu orangutan bernama Pelansi. “Selain ekspansi perkebunan kelapa sawit, kebakaran merupakan ancaman besar bagi orangutan yang sering mati terbakar atau karena kelaparan,” tambahnya.
Menurut laporan tim gabungan, kondisi hutan yang terbakar memang sangat parah, menyisakan dominasi warna hitam dan kuning di segala arah. Kondisi ini, dikhawatirkan akan mengancam kelangsungan hidup orangutan di sana. “Tim penyelamat YIARI menggunakan senapan bius sebagai tindakan penyelamatan karena orangutan ini orangutan liar. Tim memutuskan untuk mengambil sang induk terlebih dulu baru kemudian anaknya,” jelas Heribertus.
Butuh waktu satu jam sebelum tim bisa menembakkan peluru bius ke orangutan dewasa. “Untuk menembak bius dengan aman kita perlu memperhatikan beberapa hal, salah satunya posisi orangutan dan ranting pohon. Orangutan yang mau ditembak, tidak boleh terlalu tinggi dari tanah karena berbahaya bila jatuh nanti. Ranting juga harus diperhatikan agar tidak menghalangi peluru dan tidak menyebabkan orangutan yang dibius tersangkut,” ujar Argito, koordinator lapangan YIARI.
“Depp..,” satu peluru bius ditembakkan. Tim Rescue langsung membuka jaring, menyambut jatuhnya orangutan. Namun, satu peluru bius sepertinya tidak mempan. Sang induk masih berayun lincah dari satu pohon ke pohon lain.
Selama 15 menit tanpa rekasi, drh. Ayu kembali menyiapkan satu dosis peluru bius untuk melumpuhkan Mama Kasih. Tembakan kedua menancap tepat di bokongnya. Tanpa menunggu lama, Mama Kasih mulai terkantuk sebelum jatuh lima menit kemudian. Tangan sang ibu sempat tersangkut di ranting sehingga salah seorang anggota tim harus memanjat setinggi 18 meter.
Dari hasil pemeriksaan diketahui bila Mama Kasih mengalami dehidrasi sehingga harus diberikan cairan infus. “Dia kelaparan dalam beberapa hari terakhir, mungkin belum makan atau minum sejak kebakaran terjadi,” kata drh Ayu selaku koordinator tim medis YIARI. “Untungnya kami berhasil menyelamatkan tepat waktu. Sedikit terlambat, kondisinya bisa lebih kritis,” sambungnya.
Setelah pemeriksaan selesai, Mama Kasih diletakkan di kandang transport untuk kemudian dibawa ke hutan konservasi PT. Kayung Agro Lestari (PT. KAL). Selain karena dekat, hutan konservasi ini dipilih karena menyediakan cukap ruang gerak dan pakan bagi orangutan. Tim satuan tugas PT. KAL berkomitmen untuk terus memantau orangutan tersebut.
“Kami berharap, kedua orangutan ini mendapat kesempatan hidup yang lebih baik di lokasi barunya,” kata Karmele Sanchez, Direktur Program YIARI. Habitat orangutan dengan cepat menghilang karena konversi hutan di Kalimantan. “Setiap hutan yang tersisa layak untuk diselamatkan. Keterlibatan industri kelapa sawit dalam melindungi habitat orangutan sangat penting untuk kelangsungan hidup spesies ikonik ini.”
“Untuk menyelamatkan orangutan, kita tidak bisa bersandar pada kawasan konservasi semata, karena 70% lebih populasi orangutan berada di luar kawasan konservasi. Untuk itu pihak swasta –baik itu perkebunan sawit, HTI dan logging– pemerintah serta pemangku kepentingan harus lebih meningkatkan kerja sama,” jelas Tantyo Bangun, Ketua Umum YIARI.