, , ,

Kala Protes PLTU Batang Berujung di Polres Jakarta Pusat

Sejak Senin (5/10/15), sekitar pukul 11.00, puluhan warga Batang, Jawa Tengah,  dan aktivis Greenpeace, menggelar aksi penolakan pembangunan PLTU Batang di depan Istana Negara. Mereka ini warga yang tergabung dalam Paguyuban Ujungnegoro, Karanggeneng, Ponowareng, Wonokerso, Roban (UKPWR) Batang, kelompok warga yang mewakili desa-desa di sekitar lokasi PLTU Batang, termasuk Ujungnegoro, Karanggeneng, Ponowareng, Wonorekso dan Roban.

Mereka membawa beragam spanduk penolakan. Berdiri di antara aksi mereka ‘monster’ berperawakan besar berjubah hitam dengan kepala berisi perusahaan-perusahaan yang bercokol dalam pembangkit listrik batubara itu. Warga sholat, dan membacakan doa dan shalawat bersama-sama sampai petang di sana. Mereka ingin bertemu Presiden Joko Widodo. Ingin mengetuk pintu hati sang Presiden, untuk membatalkan mega proyek yang rencana didanai Japan Bank for International Cooperation (JBIC) itu.

Mereka bertahan. Namun, petang menjelang malam, 43 warga itu diamankan jajaran kepolisian Jakarta Pusat karena aksi melewati batas waktu yang ditentukan.

“Kami berusaha bertahan agar tidak dibawa. Jumlah polisi banyak, kami kalah,” kata warga Batang, Dwi Saloka.

Saat pembubaran terjadi, beberapa warga digotong polisi karena berusaha bertahan. Warga digiring ke Monumen Nasional. Setelah itu dibawa ke kantor Polres Jakpus di Kramat menggunakan mobil tahanan.

Dwi mengatakan, warga Batang sudah puluhan kali aksi di Jakarta tetapi tak sekalipun bertemu Presiden.

Kami atas inisiatif sendiri datang dari Batang. Berangkat Sabtu, tiba di Jakarta, Minggu. Sampai kapanpun kami menuntut pembatalan pembangunan PLTU.”

Warga lain, Zaeni mengatakan, meskipun batal bertemu Presiden dan aksi dibubarkan polisi mereka tak gentar. “Saya dari Ponowareng. Mayoritas warga bertani. Yang jelas kerugian materil terjadi. Sekarang ada pengurugan, orangtua tak bisa bertani. Saluran irigasi ikut diurug meski lahan tidak dijual,” katanya.

Waga tiba di Polres Jakpus pukul 19.30. Saat pemeriksaan, sikap polisi dinilai kooperatif. Ke-43 warga ditempatkan di koridor ruangan. Mereka hanya didata dan dimintai dokumentasi. Meski saat digiring ke Polres, beberapa anggota polisi ada yang meledek.

Zaeni, seorang nelayan khawatir dengan pembangunan PLTU. Dia membandingkan, kehidupan nelayan di daerah yang sudah ada PLTU seperti Cilacap dan Jepara. Kehidupan nelayan disana susah. Mencari ikan harus menempuh jarak sangat jauh, ongkos melaut menjadi mahal. Bahkan nelayan Cilacap dan Jepara mencari ikan ke Batang.

Sholat di tempat aksi. Aksi warga Batang seharian di depan Istana Negara yang berujung di Polres Jakpus. Foto: Sapariah Saturi
Sholat di tempat aksi. Aksi warga Batang seharian di depan Istana Negara yang berujung di Polres Jakpus. Foto: Sapariah Saturi

“Laut di Batang itu wilayah konservasi, seharusnya dilindungi. Ada karang harus dilindungi. Memang sekarang tidak rusak, tapi kalau PLTU dibangun pasti hancur. Laut kami bersih, tak mau dicemari batubara.”

Arif Fiyanto, Pimpinan Tim Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Asia Tenggara yang mendampingi warga membenarkan kalau aksi melebihi waktu aturan. Namun, warga ingin bertemu Presiden Jokowi. Jika sesuai aturan, aksi seharusnya selesai pukul 18.00.

“Tak ada perlawanan sama sekali. Ikut digiring ke polres. Ini aksi damai ala Greenpeace. Tanpa kekerasan.”

Warga dibebaskan pukul 21.00, setelah tim pengacara datang. Aksi ini bersamaan dengan pembacaan putusan oleh PTUN Semarang. Warga dinyatakan kalah tetapi perjuangan tak selesai. Mereka akan banding.

Desak JBIC batalkan pendanaan

Arif mengatakan, setelah warga mengajukan gugatan ke JBIC di Jepang, perwakilan JBIC pada 28-30 September datang ke Indonesia. Mereka datang ke Batang, bertemu dengan warga yang mengadu. Ke Jakarta, bertemu Komnas HAM, dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Aksi warga dengan membawa spanduk dan monster, protes pembangunan PLTU Batang, yang belum lama diresmikan Presiden Joko Widodo. Foto: Sapariah Saturi
Aksi warga dengan membawa spanduk dan monster, protes pembangunan PLTU Batang, yang belum lama diresmikan Presiden Joko Widodo. Foto: Sapariah Saturi

“Itu diperintahkan parlemen agar melihat langsung yang terjadi. Warga sudah sampaikan jelas fakta-fakta, Bahwa setelah warga pulang dari Jepang, bukannya intimidasi dan berbagai kekerasan bukan berhenti malah menjadi-jadi. Hari ini hampir seluruh irigasi warga dihancurkan,” katanya. Warga, kata, Arief, seperti tak diberi pilihan, semua dihancurkan. Memang, katanya, saat ini belum memasuki masa tanam tetapi nanti, mereka jelas jadi sulit bertani. “JBIC tahu itu dan ikuti langsung. Mereka katakan masih kumpulkan fakta.”

Untuk itu, Greenpeace mendesak JBIC setop rencana pendanaan kepada proyek PLTU Batang ini.  “Karena bukan hanya penolakan warga yang luar biasa. Kalau JBIC mendanai sudah langgar seluruh pedoman investasi mereka. Karena dalam pedoman JBIC proyek tak boleh timbulkan konflik , picu pelanggaran HAM, penolakan  dari warga. Ini semua sudah terjadi.”

“Bahkan ada tujuh warga pernah dipenjara. Tak terhitung intimidasi baik verbal maupun fisik. Menurut pedoman mereka, jika warga menolak pembebasan lahan, tak bisa memaksa. Pembebasan lahan harus normal, tak boleh menuai penolakan. Kalau pemerintah paksakan  UU No 2 tahun 2012., otomatis itu bukan proses pembebasan lahan yang berlangsung normal.” Jadi, katanya, JBIC seharusnya memenuhi pedoman mereka.

Pada Selasa 6 Oktober ini, kali keempat jatuh tempo financial closing proyek ini, setelah tiga kali gagal. PLTU Batang sudah melewatkan tiga tahun tenggat waktu yang diperlukan untuk persetujuan yakni pada 6 Oktober 2012, 6 Oktober 2013, dan 6 Oktober 2014.

“Kalau besok proyek ini gagal memenuhi batas waktu penutupan keuangan keempat kali, memunculkan pertanyaan legalitas proyek ini jika pemerintah masih bersikeras memperpanjang financial closing.”

Presiden, katanya, sebaiknya mengumumkan pembatalan dan mulai fokus pengembangan energi terbarukan untuk kepentingan warga Indonesia, lingkungan dan menghindari dampak perubahan iklim mengerikan.

Warga bertahan dengan doa dan shalawat bersama. Foto: Sapariah Saturi
Warga bertahan dengan doa dan shalawat bersama. Foto: Sapariah Saturi
Aksi warga Batang di depan Istana Negara. Foto: Sapariah Saturi
Aksi warga Batang di depan Istana Negara. Foto: Sapariah Saturi
Warga minta bubar oleh polisi tetapi tetap bertahan, akhirnya dipaksa bubar dan dibawa ke Polres Jakpus. Foto: Debby N/Greenpeace
Warga diminta bubar oleh polisi tetapi tetap bertahan, akhirnya dipaksa bubar dan dibawa ke Polres Jakpus. Foto: Oscar Siagian/Greenpeace
Sesaat usai dibebaskan dari Polres Jakpus. Foto: Indra Nugraha
Sesaat usai dibebaskan dari Polres Jakpus. Foto: Indra Nugraha
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , ,