Rusman, Murtini dan Paidah, ketiganya warga Kecamatan Gunem, Rembang, Jawa Tengah. Pada 26-27 November tahun lalu, mereka menjadi korban pemukulan polisi ketika memblokir jalan tapak pabrik PT Semen Indonesia. Kepala lebam, kuku jempol kaki kanan berdarah terinjak sepatu aparat.
“Saya bingung, di kantor polisi tertulis “Melayani dan menganyomi masyarakat 24 jam”, tapi kok di Rembang, justru menindas hak masyarakat dengan kekerasan,” kata Sukinah, warga Tegaldowo, Rembang.
Pada 16 Juni 2015, tepat setahun ibu-ibu Rembang, berjuang demi sumber air dan lingkungan menolak tambang semen dengan mendirikan tenda. Itu berawal dari aksi spontan 16 Juni 2014, ketika perusahaan meletakkan batu pertama pendirian pabrik. Ratusan warga didominasi kaum perempuan mendatangi tapak pabrik. Mereka berkebaya dan bercaping.
Sukinah sedih dan prihatin. Sejak kehadiran pabrik semen di Rembang, warga desa tidak rukun. Mereka terpecah belah, antara mendukung dan menolak tambang.
Penolakan warga lahir bukan sebagai bentuk kekhawatiran mereka terhadap ancaman kehilangan mata pencaharian mereka sehari-hari sebagai petani dan peternak. Mayoritas masyarakat di Desa Tegaldowo dan Desa Timbrangan, petani dan peternak.
Sumber air untuk keperluan sehari-hari, baik buat mereka, minum ternak sampai irigrasi sawah. Itu berasal dari berbagai sumber mata air dan sungai karst Watuputih. Bagi mereka, gunung itu “ibu.” Harus dihormati, dijaga, dan dilestarikan. Sukinah tidak akan pernah mundur dari perjuangan. Warga akan terus melawan hingga tuntutan dipenuhi yakni pembatalan pendirian pabrik dan penambangan semen.
“Pabrik Semen Indonesia harus angkat kaki dari Rembang.”
Meskipun ada intimidasi, mereka tak gentar. Mereka sudah melaporkan kekerasan polisi Rembang ke Polda Jateng, ke Komisi Komnas HAM. Namun, tak ada aparat kena sanksi. Laporan warga bak angin lalu.
“Kami sudah lapor termasuk ke Presiden, namun tidak ada tindak lanjut. Hak asasi kami direnggut.”
Zainal Arifin, pendamping warga dari LBH Semarang mengatakan, terkait kekerasan kepolisian, Komnas HAM mengeluarkan rekomendasi kepada Polres Rembang untuk menghormati hak warga dan bersikap netral. Namun rekomendasi diabaikan. Sseharusnya, dalam menjalankan tugas kepolisian berpijak pada implementasi dan standard HAM. Itu sebagaimana diatur dalam Perkap No 8 tahun 2009. Akibat kekerasan aparat, beberapa ibu luka-luka langsung dilarikan ke rumah sakit.
Saat ini, di tapak pabrik dijaga kepolisian dengan alasan SI obyek vital negara. Untuk membawa hasil tani dari ladang, warga harus memarkirkan sepeda motor di depan portal. Polisi di tapak pabrik, katanya, bentuk intimidatif secara psikologi dan pengisoliran ibu-ibu yang bertahan di tenda.
Joko Priyanto, warga Tegaldowo, Rembang, sudah berulang kali diteror dan diintimidasi. Dia tetap berjuang mempertahankan lahan pertanian. Dia menyayangkan ada portal dan penjagaan kepolisian di jalan akses menuju tenda ibu-ibu. Jika memang SI menghormati HAM dan taat hukum, seharusnya tidak ada pemortalan.
Warga resah dengan pemortalan dan intimidasi aparat. Selain menghambat para pegiat HAM menjenguk ibu-ibu, polisi juga mengganggu akses warga menuju tenda bahkan untuk mengirim makanan dan bertani di ladang.
Dia mengatakan, perjuangan mereka tulus dengan harapan besar bisa menjaga air, Gunung Kendeng, hutan dan ladang agar bisa menjadi warisan basgi anak cucu. “Berjuang untuk Kendeng yang lestari,” kata Joko, penuh harap.
Saya datang ke Goa Temu di Desa Bitingan, Kecamatan Gunem, Rembang, bersama warga. Di mulut Goa, saya menemukan kupu-kupu berwarna coklat. Untuk masuk, harus turun di ketinggian sekitar dua meter. Di dalam, saya melihat tulang-tulang di dinding goa. Juga tetesan dan genangan air. Air bersih, mengalir tenang.
“Masih adalagi Goa Wiyu. Goa itu ada sungai bawah tanah dan terancam hilang dengan pertambangan,” kata Joko.
Investasi peduli HAM dan lingkungan?
Pemerintah mengundang investor sebanyak-banyaknya, dengan alasan menggerakkan perekonomian. Namun, di lapangan, investasi banyak menyebabkan derita warga, pelanggaran HAM dan konflik sosial serta kerusakan lingkungan. Perbankan, sebagai penyalur modal kepada investor, bisa jadi salah satu jalan menekan investasi harus ramah HAM dan lingkiungan.
Muhnur Setyaprabu dari Walhi Nasional mengatakan, peran strategis Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bank Indonesia seharusnya memastikan setiap uang yang mengalir kepada perusahaan tidak merusak lingkungan dan melanggar HAM. Penting komitmen dua lembaga ini demi mewujudkan investasi ramah HAM dan lingkungan serta mendukung pembangunan berkelanjutan.
OJK telah bekerjasama dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, mewujudkan pembangunan berkeadilan ekologis. Kerjasama ini program lanjutan KLHK dengan Bank Indonesia sejak 2010 dalam kerangka nota kesepahaman green banking.
Kala itu, Deputi Gubernur Bank Indonesia, Ronald Waas mengatakan, green banking satu upaya mengubah paradigma dalam pembangunan nasional dari greedy economy menjadi green economy. Greedy economy, istilah fokus ekonomi terbatas pada pertumbuhan ekonomi dinilai melalui pertumbuhan gross domestic product (GDP), eksploitasi kekayaan alam, dan aktivitas ekonomi bertumpu pada utang.
Sedangkan green economy merupakan perubahan pandang terhadap pembangunan ekonomi dengan memperhatikan keseimbangan people, profit, planet, perlindungan dan pengelolaan kekayaan alam, serta partisipasi masyarakat.
Munhur mengatakan, melihat kasus SI dengan masyarakat Rembang penolak eksploitasi CAT Watuputih, bukti konsep pembangunan berkalanjutan didorong perbankan belum berjalan. Ekspolitasi CAT Watuputih– sumber air lebih 600.000 jiwa— seharusnya menjadi pertimbangan perbankan untuk tak ikut terlibat memberikan bantuan keuangan.
Pendanaan SI dari Bank Mandiri. Saya sudah menghubungi Bank Mandiri Pusat untuk mengkonfirmasi namun tidak ada respon. Email kepada Dicky Kristanto dan Eko Nopiansyah, humas perusahaan, awal Agustus lalu, juga tak berbalas.
Dalam laporan tahunan mereka juga saya tidak menemukan komitmen dan audit HAM, selaku pemberi pinjaman pada SI di Rembang. (Bersambung)