Lakukan Illegal Transhipment, Kapal Asal Thailand yang Ditangkap di Sabang Ini Malah Melawan

Kapal kargo Silver Sea 2 berbendera Thailand yang ditangkap Tentara Nasional Indonesia pada 13 Agustus 2015, di sekitar 80 mil laut dari Pulau Weh, Sabang, Aceh melakukan perlawanan. Perusahaan kapal tidak terima dianggap melakukan illegal transhipment meski tidak memiliki Surat Izin Kapal Pengangkut/Pengumpul Ikan (SIKPI), dan mempraperadilan Lanal Sabang dan KKP (Kementerian Kelautan dan Perikanan).

Silver Sea Reefer Co. LTD, perusahaan asal Thailand  yang merupakan pemilik kapal Silvers Sea 2, melakukan gugatan karena menilai penangkapan tersebut tidak sesuai dengan hukum pidana.

Kuasa Hukum Silver Sea, Hendri Rivai mengatakan, gugatan praperadilan tersebut di tujukan kepada Pemerintah Indonesia cq. Markas Besar Angkatan Laut, cq. Pangmabar dan Danlanal Sabang.

“Kami telah mendaftar gugatan tersebut ke Pengadilan Negeri Sabang pada Rabu (9/9/15) dan gugatan diterima langsung oleh Panitera Sekretaris PN Sabang, Zulfikar. Gugatan pra peradilan kami lakukan karena penangkapan kapal Silver Sea 2 tidak sesuai dengan Hukum Acara Pidana.”

Hendri menambahkan, ada kejanggalan penangkapan tersebut. Padahal, kapal memiliki dokumen sah, baik izin pelayaran dari Papua New Guinea maupun Thailand, serta mengikuti hukum International.

Kejanggalan lainnya, sambung Hendri, hingga saat ini belum ada bukti tertulis atau berita acara yang dikeluarkan oleh Angkatan Laut maupun Kementerian Kelautan dan Perikanan terkait penagkapan atau penyitaan. “Padahal kapal tersebut telah 28 hari ditangkap, tapi berita acaranya belum ada.”

Selain menggugat Lanal Sabang, Silver Sea juga mengajukan gugatan praperadilan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Gugatan tersebut di daftarkan ke Pengadilan Negeri Sabang pada 21 September 2015.

“Ini gugatan kedua, gugatan ini dilakukan karena adanya ketidakjelasan hukum atas petugas KKP dalam menanggani penangkapan, penahanan, dan penyitaan Silver Sea 2 serta penetapan Kapten Kapal Yotin Kuarabiab sebagai tersangka.

Menanggapi gugatan tersebut, Komandan Lanal Sabang Kolonel Laut Sujatmiko menyatakan, gugatan tersebut salah alamat karena kapal tersebut dibawah penyelidikan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).

Sujatmiko menyebutkan, penangkapan Kapal Silver Sea 2 oleh KRI Teuku Umar 385 merupakan bentuk dukungan TNI AL terhadap upaya pemerintah dalam mewujudkan poros maritim dunia dan memberantas penangkapan ikan secara ilegal. “Informasi yang kami dapatkan, Silver Sea 2 melakukan alih muat ikan dengan kapal penangkap ikan yang diduga kuat menangkap ikan di wilayah RI. TNI AL berwenang melakukan pemeriksaan/penangkapan terhadap kapal yg diduga melakukan tindak pidana perikanan sesuai UU Perikanan,” jelasnya.

Sujatmiko juga menjelaskan, tindak lanjut penanganan Silver Sea 2, Lanal Sabang telah menyerahkan penyelesaianya kepada Kementerian Kelautan dan Perikanan yang tertuang dalam berita acara pada 20 Agustus 2015. “Terkait materi gugatan praperadilan, kami akan berkoordinasi dengan KKP dan akan mendukung penuh KKP dalam menyelesaikan penyidikan.”

Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti saat berkunjung ke Dermaga TNI AL di Sabang, tempat Silver Sea 2 di tahan, Jumat (25/9/15) mengatakan, KKP memiliki bukti kuat kalau kapal tersebut telah melakukan illegal transhipment. “Kami juga memiliki bukti kuat kalau kapal itu telah menampung ikan yang ditangkap secara ilegal di perairan Indonesia.”

Kapal itu, sebut Susi menampung ikan hasil tangkapan dari kapal-kapal eks Mabiru dan Benjina yang ada di wilayah Indonesia. Selain itu, Silver Sea 2 juga mematikan Vessel Monitoring System (VMS) dan Automatic Identification System (AIS) selama berlayar di Indonesia. “Kapal dijerat pidana karena mengangkut ikan keluar Indonesia tanpa sertifikat kesehatan, sementara mematikan VMS dan AIS saat masuk ke wilayah Indonesia, dilakukan untuk menghindari pemantauan kita.”

Anak buah kapal Silver Sea 2 yang ditangkap sekitar 80 mil laut dari Pulau Weh, Sabang, Aceh. Foto: Junaidi Hanafiah

Sidang

Senin (5/10/15) Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Sabang mengeluarkan keputusan terkait gugatan praperadilan Lanal Sabang. Ketua Ketua majelis Hakim Dennie Arsan Fatrika dalam putusannya mengatakan, permohonan  Kapal Silver Sea-2, terhadap Lanal Sabang tidak dapat diterima.

“Praperadilan terkait penangkapan Kapal Silver Sea 2 yang diajukan pemohon terhadap Pemerintah Indonesia, cq Pangarmabar, cq Lanal Sabang salah alamat. Lanal Sabang bukanlah pihak yang melakukan upaya paksa berupa penangkapan, ataupun penyidikan terhadap kapal tersebut.”

Dalam pembacaan putusan tersebut hakim berpendapat yang digugat seharusnya pihak Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), bukan pihak Lanal Sabang. “Setelah diteliti, yang berkompeten untuk digugat adalah KKP bukan Lanal Sabang. Selain itu, penangkapan kapal atas perintah KKP dan selanjutnya diserahkan ke KKP. Dengan demikian, dalam putusan ini, hakim menilai bahwa gugatan salah alamat,” sebut Dennie.

Tangkap kapal asing

Sementara di Kalimantan Barat, Kapal Patroli Antasena-7006 milik Ditpolair Polda Kalbar BKO dari Mabes Polri, berhasil menangkap satu unit kapal motor BD-95360-TS milik nelayan Vietnam. Para pelaku kedapatan tengah asik panen ikan tanpa izin di perairan Natuna, Indonesia, akhir September 2015.

“Kapal Vietnam ini tertangkap tangan saat Kapal Antasena melakukan patroli rutin dalam mengamankan dan mencegah pencurian sumber daya alam, terutama kekayaan laut dari pencurian nelayan asing,” kata Kepala Bidang Humas Polda Kalbar, Ajun Komisaris Besar Polisi Arianto.

Dari penangkapan tersebut, kata Arianto, polisi menyita satu ton ikan hasil tangkapan yang kemudian dijadikan barang bukti. “Jenisnya campuran. Penanganannya kami serahkan kepada pihak Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) Tarempah, Kabupaten Kepulauan Anambas, Kepulauan Riau.”

Jika terbukti melalukan pelanggaran tindak pidana pencurian ikan, Nakhoda KM Vietnam dijerat Pasal 93 ayat (2) jo pasal 27 (2) UU No. 45/2009 tentang perubahan atas UU No. 31/2004 tentang Perikanan. Ancaman pidana maksimal enam tahun, dan denda maksimal Rp20 miliar.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , ,