,

Pengamat : Penurunan Emisi Dari Energi Dalam INDC Indonesia Belum Jelas. Kenapa?

Pemerintah Indonesia secara resmi telah menyampaikan komitmen untuk berkontribusi dalam penurunan emisi global pasca 2020 dalam Intended Nationally Determined Contribution (INDC) kepada United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) menjelang Konferensi Perubahan Iklim (COP) ke-21 di Paris, Perancis pada akhir November 2015 nanti.

Dalam INDC tersebut, Indonesia menyampaikan rencana penurunan emisi 29% dengan tahun dasar 2030 dari skenario business as usual (BAU) dan tambahan 12% dengan bantuan internasional.

Penurunan emisi tersebut ingin dicapai Indonesia dengan menekankan ketahanan iklim sebagai hasil dari program adaptasi dan mitigasi yang komprehensif dan strategi pengurangan resiko bencana, dengan melakukan pembangunan rendah emisi negeri ini akan fokus pada sektor energi, pangan dan sumber daya air serta memperhatikan Indonesia sebagai negara kepulauan.

Direktur Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa melihat sebagai langkah awal, INDC Indonesia cukup baik. “Tetapi masih membutuhkan banyak perbaikan untuk menjadikan janji aksi penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) yang jelas dan transparan,” kata.

IESR melihat dalam INDC Indonesia, ada beberapa kelemahan dalam aspek kejelasan dan transparansi dalam komponen mitigasi, antara lain mengenai prediksi emisi sesuai BAU yang disebutkan 2881 giga ton setara karbon (GtCO2-eq) pada 2030.

“Dokumen INDC tidak memberikan penjelasan proyeksi emisi dengan atau tanpa adanya INDC. Salah satu milestone yang perlu mendapatkan perhatian adalah keberhasilan Indonesia dalam menurunkan 26-41% emisi GRK dari BAU pada 2020 akan menentukan keberhasilan dalam menurunkan 29-41% emisi GRK pada 2030,” kata Fabby yang juga koordinator Climate Action Network South East Asia (CANSEA).

Pemerintah juga tidak menjelaskan bagaimaan niatan (intention) ini akan diterapkan/diimplementasikan untuk mencapai penurunan emisi yang ditargetkan pada tahun 2030.

“Naskah INDC Indonesia tidak memberikan informasi tentang jenis aksi mitigasi yang akan dilakukan dalam bentuk kebijakan atau proyek. Dalam draft INDC yang disiapkan oleh Bappenas, sejumlah aksi untuk ke-5 sektor (lahan, energi, industri, transportasi, dan limbah) dijabarkan dengan cukup rinci dalam bentuk skenario implementasi pada periode 2020-2030. Sayangnya, informasi ini tidak tercantum dalam naskah INDC Indonesia yang disampaikan kepada UNFCCC,” lanjutnya.

Khusus mengenai energi dalam sektor mitigasi di INDC, Fabby melihat ada dua hal yang ditekankan yaitu mendorong target pencapaian energi terbarukan (renewable energy) dalam rencana umum nasional Kebijakan Energi Nasional (KEN) dengan trajectory 23 persen dari bauran energi pada 2025 dan menjadi 25 persen pada 2030.

Selain energi bersih, INDC Indonesia juga menyebutkan mendorong konservasi dan efisiensi energi,  yang sudah dicanangkan pemerintah melalui KEN pada tahun 2025 – 2050.

“Akan tetapi pemerintah tidak menjelaskan dalam INDC, berapa persen dan bagaimana energi terbarukan serta konservasi dan efesiensi energi untuk mendukung pencapaian penurunan emisi. Target energi terbarukan didalam KEN harus dituangkan dalam implementasi rencana subsektor, misal penyediaan bahan bakar untuk pembangkitan listrik,” lanjut Fabby.

Perpaduan energi dari matahari dan angin untuk keperluan listrik warung kuliner dan lampu jalan di Bantul. Foto: Tommy Apriando
Perpaduan energi dari matahari dan angin untuk keperluan listrik warung kuliner dan lampu jalan di Bantul. Foto: Tommy Apriando

Pemerintah sendiri telah menargetkan untuk menambah kapasitas suplai energi sebesar 35.000 MW, termasuk pembangkitan listrik dari energi terbarukan.  Indonesia memang harus segera membangun pembangkit listrik dengan jumlah dan kapasitas besar, karena telah mengalami defisit energi listrik sekitar 15-18.000 MW dalam 10 tahun terakhir.

“Untuk mengejar kebutuhan energi sesuai RPJMN 2015-1019, konsumsi listrik diharapkan naik dari 700 kwh menjadi 1200 kwh per kapita per tahun. Ada kenaikan konsumsi listrik sekitar 50 persen dari saat ini, sehingga harus ada pembangunan pembangkitan listrik sekitar 50 persen dari kapasitas sekarang. Tapi apakah mungkin membangun itu dalam waktu 5 tahun ke depan,” tanya Fabby.

Ini menjadi tantangan berat pemerintah, karena dari pengalaman pembangunan pembangkis listrik dalam lima tahun terakhir hanya berkapasitas 12.000 MW.

“Sedangkan proyek listrik ini 35.000 MW, berarti dua kali lipat kapasitasnya. Ini tugas berat. Saya tidak terlalu yakin. Tetapi yang penting, dalam lima tahun ke depan adalah menyelesaikan berbagai PR yang selama ini mengganjal, seperti penyediaan lahan untuk pembangkitan dan transmisi. Karena lahan menjadi ganjalan utama dalam pembangunan infrastruktur,” kata Fabby yang juga Pemerhati Isu Energi Thamrin School of Climate Change and Sustainability.

Mengenai komitmen pemerintah untuk menggunakan sumber-sumber  energi terbarukan,  dia menegaskan pengembangan energi terbarukan menjadi keniscayaan, meski dalam RPJMN, target peningkatan bauran energi hanya 5 persen. Target pembangkitan listrik dari energi bersih tersebut setara dengan 45 Gigawatt,

“Kapasitas itu harus naik paling tidak lebih dari hampir 4 kali lipat dari kapasitas sekarang dalam 10 tahun mendatang termasuk setelah 2020. Pemerintah harus mendorong pengembangan energi terbarukan khususnya dari mikrohidro dan panas bumi,” pungkas Fabby.

Artikel yang diterbitkan oleh
, ,