Matahari terik. Sejumlah anak tampak bermain. Mereka berlari ke sana, kemari. Kokok ayam jantan bergema. Sesekali terdengar tawa riuh warga. Begitulah suasana kala saya berkunjung ke Kampung Baru Sidomukti, Kampung Baru Sidomukti, Kecamatan Aek Kuo, Kabupaten Labuhanbatu Utara, Sumatera Utara, belum lama ini.
Kampung ini tampak tenang. Apakah kampung itu benar-benar setenang penampakan saat ini? Ternyata, dari pemberian nama kampung saja mengandung cerita kelam. Dulu, tempat mereka menyambung hidup ini, berdiri desa bernama Sidomukti. Sekarang, desa itu hilang, lima desa lainpun makin tersudut dan hampir hilang. Itulah mengapa kampung ini mereka berinama Kampung Baru Sidokmukti.
Mengapa bisa demikian? Mbah Rasyim (84), saksi hidup menceritakan bagaimana dulu Desa Sidomukti ini ada. Dia bersama keluarga dan ribuan warga hidup bahagia, sampai suatu hari datang truk dan buldozer menghancurkan desa mereka. Dia tak mampu melawan. Ada aparat bersenjata lengkap siap siaga menghadang yang melawan.
Dia bercerita, pada 1965, Presiden Soekarno melalui radio memerintahkan rakyat Indonesia, menduduki lahan perkebunan yang dikuasai Jepang dan menanami lahan buat makan. Dia bersama ribuan warga, menuruti perintah dan menduduki lahan seluas 3.000 hektar. Mereka membangun delapan desa di Padang Halaban. Perjalanan hidup dilalui tanpa ada masalah apapun, bahkan pemerintah memberikan surat keterangan kepemilikan lahan eks penjajah Jepang itu.
Pada 1954-1965, pemerintah membuat UU Darurat Nomor 8, dan keluar surat Kartu Tanda Pendaftaran Pendudukan Tanah (KRPPT). Surat itu diterima dia dan ribuan warga di enam desa di Padang Halaban. Atas dasar surat itulah, mereka mulai bercocok tanam. Sudah ada pengakuan penguasaan lahan.
Mempertahankan lahan dituding PKI
Namun pada 1968, mulailah terjadi rekayasa dari orang-orang tidak bertanggungjawab. Orang-orang itu menyebutkan tanah yang selama puluhan tahun dikuasai masyarakat berdasarkan surat pengakuan negara melalui KRPPT, akan diduduki sang pemilik. Dia dan warga desa dikumpulkan di balai agung–saat ini dikenal dengan balai desa–, sambil membawa surat KRRPT. Surat itu dikumpulkan, dengan alasan diperbaharui. Mereka ditipu. Setelah surat diambil, mereka diusir dan tanah. Siapa yang melakukan perlawanan, dianggap pemberontak negara dan dianggap anggota Partai Komunis Indonesia (PKI).
“Kalau gak mau kasih surat tanah itu, kita dianggap orang PKI. Gak ada yang berani, karena kalau melawan, akan digorok sampai mati, ” kata Mbah Rasyim, mengenang seraya menahan air mata. Tanaman mereka dirusak. Rumah dihancurkan.
Setidaknya ada 3.000 hektar lahan direbut, diambil paksa, dan diberikan pada perusahaan perkebunan dikenal bernama Plantagen AG (Plantagen Aktiengeschlischaft), saat ini menjadi milik PT Smart Tbk, grup Sinar Mas.
Cerita serupa disampaikan Syamsiah (76). Menurut dia, polisi dan tentara mengawal penghancuran rumah dan perusakan lahan yang sudah ditanamani palawija. Bulldozer merobohkan rumah. Ladang jagung, padi, dan tebu, juga hancur. Dia punya sekitar tiga hektar.
Gelora perlawanan tak pupus dari Eyang Syamsiah. Dia masih ingin mengambil hak yang direbut paksa.
Pada 1965, ketika suami dia melawan arogan aparat dibantu perusahaan kala menghancurkan rumah dan mengambil paksa lahan mereka, langsung ditangkap dan dipenjara tujuh tahun tanpa peradilan. Beberapa warga juga ditangkap. Ada diculik, kemudian dibawa ke sebuah tempat dan dibunuh. Ada juga hingga kini tidak diketahui dimana kuburnya.
“Diturutin ajalah perintahnya Pak Soeharto, waktu itu Presiden Pak Harto. Kalau melawan nanti awak dibunuh, anak awak gak ada yang kasih makan, karena suami saya sudah dipenjara. Awak dikasih tempat tinggal di ujung jalan, dibangunkan gubuk sama kawan seperjuangan, nanami apa yang bisa dimakan.”
Perusahaan perkebunan terus menakuti warga. Pasukan TNI dan Polri, membawa sejumlah warga Desa Sidomukti ke pos polisi. Nasib mereka tidak jelas hingga kini. Warga lain yang mengintip dari bilik jendela tidak berani melawan atau keluar rumah. Mereka tidak mau ditangkap dan dituding anggota PKI.
“Mereka yang selamat sembunyi, takut mati. Saya gak takut mati, karena mati cuma sekali, demi memperjuangkan tanah ini. Bukan kita serakah tanah. Karena kitapun pulang ke tanah nanti. Tetapi anak saya ini mau ditarok kemana, karena tanah kami sudah dirampas perusahaan menggunakan tangan oknum aparat. Dengan menuding kami PKI agar bisa mengambil lahan 3.000 hektar itu, ” ujar Syamsiah.
Kini, dia tetap bertahan di lahan yang berkonflik dengan perusahaan. “Kalau mau digusur digusurlah. Aku gak takut. Yang diperjuangkan hakku sebagai warga negara Indonesia yang tanah dirampas dengan modus anggota PKI. Ini jahat sekali. Kami hanya petani. Aku gak akan pergi, sampai mati akan bertahan di tanah ini. ”
Nyak Triani (65) menyatakan, perjuangan merebut lahan dari tangan perusahaan akan dilakukan sampai titik darah penghabisan. Dulu saat merebut lahan mereka, perusahaan menggunakan aparat bersenjata lengkap, tidak ganti rugi sedikitpun dan tanpa proses hukum. Tanaman mereka tidak bisa diambil, karena dirusak.
“Bertahun tahun saya bersama warga menunggu hasil panen palawija, hancur dibuldozer perusahaan. Padahal itu harapan kami bertahan hidup buat biaya sekolah anak cucu. Kami bukan merampas tanah kebun karena kami perjuangkan ini tanah kami sendiri yang dirampas.”
Triani, berharap Presiden Joko Widodo mau turun tangan dan membantu ribuan warga mendapatkan tanah mereka kembali. Perlawanan mereka, terus diganjal kekuasaan dan uang.
“Pak Jokowi, saya mohon bantulah kami. Kembalikan tanah kami 3.000 hektar. Proses hukum siapa yang terlibat penculikan, pembunuhan, teror, dan ancaman lain serta warga yang menjadi korban penembakan karena menolak tanah direbut.”
Siti Nurbaya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, kala ke Medan, belum lama ini mengatakan, memang masih banyak konflik lahan antara perusahaan (pemilik izin) dengan masyarakat maupun pihak tertentu. Menurut dia, harus ada uji dan penelitian bersama soal tata ruang, termasuk peta lokasi, dan pemerintah mendorong suatu peta.
Kelemahan selama ini, katanya, saat menberikan izin pengelolaan lahan kepada perusahaan, mereka tidak mengikuti aturan dengan baik. Jadi, perlu ada upaya memperbaiki semua itu. Pemerintah tengah peninjauan kembali izin-izin pengelolaan lahan, termasuk yang berkonflik dengan masyarakat.
Bukti pengusiran paksa
Sedangkan Swardi, Ketua Ikatan Korban Hilang (IKOHI) Sumut, yang mendampingi keluarga korban penculikan dan penghilangan nyawa paksa, menyatakan, warga sudah melakukan gugatan kepada perusahaan untuk mendapatkan hak mereka, tetapi perjuangan sampai di Pengadilan Tinggi Medan, dimenangkan perusahaan.
Perusahaan, kata Swardi, menolak memberikan lahan yang dituntut warga seluas 3.000 hektar. Komnas HAM ikut memediasi, membawa warga bertemu Bupati Labuhan Batu Utara. Bupati menawarkan warga pindah tempat dan diberikan 300 hektar. Namun warga tak bersedia, meskipun tak mendapatkan 3.000 hektar tetapi mereka tetap mau di tempat sama. Mereka tetap mempertahankan lahan tempat hidup kini. Perusahaan juga belum menerima.
Dia mengatakan, hasil penelitian mereka, terbukti terjadi pengusiran orang secara paksa. Masyarakat dipaksa meninggalkan desa.
Pada peristiwa tahun 1969-1970, intimidasi todongan senjata api laras panjang, pembunuhan, dan penghilangan orang dengan paksa. Tidak bisa dipungkiri, ada kejahatan kemanusiaan saat itu.
Proses pengusiran paksa itu, masuk katagori pelanggaran HAM berat. Komnas HAM pada 2012, menyatakan proses pengusiran orang paksa, pembunuhan, dan penghilangan orang, masuk dalam pelanggaran HAM berat. “Ini dialami masyarakat Padang Halaban, Labuhan Batu Utara. Negara diharapkan hadir memenuhi hak korban sebagai korban pelanggaran HAM berat.”
Dari penelitian mereka, ternyata dalam pengambil alihan tanah ribuan hektar, masyarakat dituduh PKI.
“Banyak diculik, dibunuh dan diteror. Dampak banyak warga desa pergi dari desa mereka. Akhirnya lahan mereka dikuasai perusahaan. Hilanglah desa itu. Ketika warga kembali menuntut hak mereka, perusahaan sawit ini tidak mengakui dan menyatakan disini tidak ada desa dulu. Padahal banyak bukti kuat, salah satu kuburan yang ditulis di bawah tahun 1970. ”
Bagaimana hingga perusahaan bisa memiliki dan menduduki lahan perkebunan lebih dari 3.000 hektar milik warga “desa hilang” ini?
Menurut Haris, Sosiolog Pedesaan, juga mendampingi masyarakat enam desa di Padang Halaban sejak 2011 mengatakan, merujuk dari fakta, termasuk komunikasi dengan banyak saksi hidup, sebelum 1970, nama perusahaan sawit Plantagen AG. Ada juga perusahaan Suncama yang bersatu, diduga terlibat mengusir ribuan warga dengan paksa di Padang Halaban.
Keterlibatan perusahaan mengusir warga ini bisa terlihat dalam selembar surat yang dikeluarkan Heldebran, salah satu petinggi Plantagen AG. Plantagen AG, atas nama Heldebran, pimpinan perusahaan menerbitkan surat ganti rugi tanah. Padahal, masyarakat tidak menerima, hingga terusir dari desa.
Dalam pengusiran, juga ditemukan fakta keterlibatan sejumlah oknum penegak hukum dan pekerja perkebunan. Meski saat ini, Smart, menolak mengakui mereka melakukan pengusiran melainkan Plantagen AG.
Padahal, Plantagen AG adalah dasar mereka menjadi perusahaan besar saat ini. Awalnya, pada 1970, perusahaan ini bernama PT Sinar Mas, berkembang menjadi multi nasional, dan membuat beberapa cabang, salah satun PT Smart Tbk, Asian Pulp and Paper dan lain-lain.
“Keterlibatan Plantagen AG ketika itu menjadi dasar Smart, termasuk penuturan banyak orang yang pernah bekerja di perusahaan, dari Padang Halaban inilah kualitas tanaman sawit menjadi awal pertumbuhan Sinar Mas menjadi yang besar. Di Padang Halaban ini, sebelumnya masuk Kabupaten Labuhan Batu Induk, akhirnya dimekarkan menjadi Labuhan Batu Utara, ” jelas Haris.
Kala itu, katanya, sebenarnya tak terima pengusiran. Enam desa digusur paksa. Mereka harus meninggalkan desa agar perusahaan bisa dibangun. Desa-desa itu adalah Desa Sudomukti, Sidodadi, Panigoran, Karanganyar, dan Sidodadi Karanganyar.
Warga desa protes. Pada 1970, protes pertama kali oleh bapak bernama Simajuntak. Namun, dalam tekanan situasi politik saat itu, siapa yang bersuara dituding sebagai kelompok partai terlarang, PKI. Perjuangan mereka berujung penculikan hingga kini. Bukan berarti mereka patah arang. Perjuangan berlanjut.
Warga berupaya mengembalikan semangat desa yang pernah hilang. Dahulu, desa ini lumbung pangan Sumut.“Ini dibuktikan disediakan dua gerbong kereta api ke Kota Rantau Parapat, Labuhan Batu Induk, guna mengangkut hasil panen dari Padang Halaban.”
Smart menanggapi. Jawaban perusahaan kepada Mongabay mengatakan, kepemilikan tanah perkebunan Padang Halaban sah dipegang Smart sejak 1975, ketika perusahaan bernama PT. Maskapai Perkebunan Sumcamma Padang Halaban. Ini berdasarkan keputusan Gubernur Daerah Tingkat I Sumatera Utara Cq. Kepala Direktorat Agraria Sumut dalam surat tertanggal 22 Agustus 1975. HGU diperpanjang melalui SK Menteri Negara Agraria, pada 6 Agustus 1997 selama 25 tahun.
Gugatan disampaikan Kelompok Tani Padang Halaban dan Sekitar (KTPHS) atas Smart kepada PN Rantau Parapat sampai pada pengajuan kasasi kepada Mahkamah Agung. Perusahaan menyatakan, menjalani proses peradilan sesuai prosedur. Hasil keputusan peradilan, memenangkan perusahaan dan ada surat perintah membongkar pondok-pondok KTPHS di dalam lahan perkebunan Padang Halaban yang dikeluarkan PT Medan Maret 2015.
Dalam keterangan tertulis ini, perusahaan juga menyatakan telah menjalankan prosedur penanganan konflik sejalan dengan kebijakan perusahaan yakni, kebijakan sosial dan keberperanan komunitas (KSKK) yang dikeluarkan Smart. Kebijakan ini menyebutkan, setiap konflik sosial harus diselesaikan dengan cara bertanggung jawab. Kebijakan ini kemudian diimplementasikan dalam Standard Operational Procedure (SOP) tentang Penanganan Konflik Sosial yang diterbitkan Juli 2014. Smart melibatkan pemerintah daerah, Gubernur Sumut dan Kanwil BPN serta Komnas HAM untuk memediasi konflik ini untuk mencapai kesepakatan. Namun, hingga kini, belum ada penyelesaian masalah antara warga dan perusahaan.
Respon lengkap perusahaan di sini.