Saat ini pemerintah bertahap mengeluarkan kebijakan ekonomi guna memudahkan investasi termasuk kemudahan sana sini diberikan bagi perizinan sektor kehutanan dan lingkungan.
Dekan Fakultas Kehutanan Univesitas Gajah Mada (UGM), Satyawan Pudyatmoko memberikan pandangan. Katanya, luas lahan 124 juta hektar seharusnya bisa dikelola hingga memberikan peningkatan kesejahteraan bagi masyarakat. Kenyataan, akses masyarakat bagi pengelolaan hutan sangat kecil dibanding perusahaan. “Akses hutan tidak berimbang, ini ada ketidakadilan,” katanya, Kamis (1/10/15).
Satyawan mengapresiasi upaya pemerintah menyederhanakan perizinan. “Namun pemberian izin kepada perusahaan untuk mengelola hutan harus lebih selektif agar tidak memunculkan persoalan baru seperti kebakaran hutan.”
Dia mencontohkan, izin sawit sering menimbulkan persoalan pembukaan lahan dengan membakar. Pemerintah , katanya, harus memperhatikan pemberian izin untuk pengembangan ekowisata, yang mendatangkan ekonomi bagi masyarakat.
Nirarta Samadhi, Country Director World Resoursce Institute mengatakan, penerimaan negara minim dari pemberian izin pembukaan lahan hutan karena pencatatan tidak rapi. Bahkan tidak terdata Kementerian Keuangan sebagai Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). “Dari pencatatan tak rapi berpotensi kehilangan pendapatan negara 60%.”
Direktur Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) UGM, Zainal Arifin Mochtar mengatakan, mengantisipasi banyak kebocoran penerimaan negara sektor kehutanan ini, mengusulkan ide membentuk satu informasi perizinan diperkuat dengan peraturan perundang-undangan. Selain itu, perlu ada political will pemerintah, koordinasi lintas kementerian dan lembaga penegak hukum. “Jangan sampai kebijakan dibuat digugat hukum kemudian hari.”
Plt Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Johan Budi beberapa waktu lalu mengatakan, perbaikan kebijakan sektor kehutanan, terutama berkaitan usaha pertambangan, dapat menyelamatkan keuangan negara hingga triliunan rupiah. Jika isu kehutanan bisa dikendalikan pemerintah dengan baik, dapat membawa kemaslahatan masyarakat di sekitar hutan.
“Tambang di hutan, kalau bisa dikendalikan lebih dari Rp15,9 triliun bisa diselamatkan,” katanya.
Dari kajian KPK, ada jual beli izin pengelolaan hutan. Sebagian besar pengusaha mengakui, rekomendasi kepala daerah mendapatkan izin tidak gratis. Kajian KPK menunjukkan pengawasan dan pengendalian pemerintah atas ketertiban pelaporan penyetoran PNBP lemah. Juga seringkali muncul konflik lahan di kawasan hutan, antara negara dengan masyarakat adat.
“Selain ketidakjelasan status hukum kawasan hutan, persoalan lain adalah tumpah tindih perizinan.”
KPK menemukan korupsi sektor minerba 2014 melibatkan sekitar 1,3 juta hektar izin tambang dalam kawasan hutan konservasi dan 4,9 juta hektar dalam hutan lindung. KPK juga menemukan, pengawasan dalam pengelolaan hutan lemah hingga menyebabkan potensi PNBP hilang.
“Ini disebabkan 1.052 usaha pertambangan dalam kawasan hutan tidak melalui prosedur pinjam pakai. Belum lagi kerugian negara akibat pembalakan liar mencapat Rp35 triliun.”