,

Asap juga Mengganggu Migrasi Burung Pemangsa

Setiap tahun pada September atau Oktober, burung pemangsa yang hidup di bumi bagian utara akan melakukan perjalanan panjang ke arah selatan. Migrasi ini biasanya dilakukan oleh para raptor, biasa disebut, pada saat musim dingin di wilayahnya ke daerah tropis di selatan yang beriklim hangat atau bersahabat terkait dengan ketersedian pakan. Dengan kata lain, migrasi merupakan cara beradaptasi burung terkait ketersedian pakan di alam, demi keberlangsungan hidup, akibat perubahan cuaca yang terjadi. Musim pengembaraan ini biasanya akan terjadi hingga seputaran Maret.

Bila dilihat dari jumlah burung pemangsa yang bermigrasi biasanya akan ada tiga kategori yaitu menyeluruh, sebagian, dan lokal. Migrasi keseluruhan terjadi bila hampir seluruh individu yang ada atau di atas 90 persen jumlahnya benar-benar terbang meninggalkan wilayah berbiaknya, alias pindah. Sedangkan migrasi sebagian terlihat dari jumlah individu yang migrasi kurang dari 90 persen. Bagaimana dengan migrasi lokal? Kondisi ini erat kaitannya dengan keadaan habitat dan dilakukan kurang teratur. Pastinya, diluar dari kriteria migrasi menyeluruh dan sebagian tadi.

Elang-alap cina. Foto: Khaleb Yordan
Elang-alap cina. Foto: Khaleb Yordan

Untuk mencapai Indonesia yang berada di ujung selatan Jalur Asia Timur (Eastern Asia Flyway), burung pemangsa akan bermigrasi melalui dua koridor. Koridor pertama adalah Koridor Daratan Timur (East Asian Continental Flyway). Melalui jalur ini para raptor akan terbang dari tenggara Siberia melalui timur Tiongkok menuju semenanjung Malaysia, lalu mendarat di Indonesia yaitu Jawa, Bali, dan Lombok. Sementara Koridor Pasifik (East Asian Oceanic Flyway) akan dilalui oleh burung-burung dari timur Rusia yang melewati Kepulauan Jepang dan Taiwan, lalu ke selatan Filipina dan menepi di wilayah Sunda Besar.

Diperkirakan, sekitar satu juta individu burung pemangsa ini akan melintasi Koridor Daratan Timur yang panjangnya diperkirakan sekitar tujuh ribu kilometer. Sikep-madu asia (Pernis ptilorhynchus) maupun elang-alap nipon (Accipiter gularis) selalu menggunakan jalur ini saban tahunnya. Sedangkan yang mengunakan jalur Koridor Pasifik yang diperkirakan panjangnya sekitar lima ribu kilometer ini adalah elang-alap cina (Accipiter soloensis) maupun elang buteo (Buteo buteo).

Pada dasarnya, jalur yang dipakai burung-burung ini saat migrasi merupakan jalur yang tetap. Umumnya, wilayah daratan yang digunakan dan menghindari perairan, terlebih yang lebarnya mencapai 25 kilometer. Karena jalurnya yang tetap ini, pengembaraan yang dilakukan kala menuju maupun meninggalkan tempat persinggahannya saat musim dingin dapat diketahui. Wilayah yang akan dilaluinya juga memiliki tanda seperti daratan yang sempit, punggung bukit yang panjang, maupun daerah semenanjung.

Elang-alap nipon. Foto: Khaleb Yordan
Elang-alap nipon. Foto: Khaleb Yordan

Namun, Pulau Sumatera yang dalam tiga bulan terjadi terbakar, turut mempengaruhi perjalanan burung-burung yang  bermigrasi tersebut. Bila tahun lalu perhitungan telah dimulai September 2014, akan tetapi, tahun ini baru dapat dihitung pada Oktober 2015. “Selama beberapa hari pengamatan dilakukan, hanya satu hari saja terlihat sikep-madu asia yang melintas sekitar 300 individu. Esoknya, tidak bisa terdeteksi karena asap yang menghalangi pemantauan kami,” kata Heri Tarmizi, pengamat burung di Riau yang mengamati migrasi burung pemangsa di Bengkalis Baru, Riau, pertengahan pekan ini.

Benarkah, pengaruh asap dapat mengganggu perjalanan migrasi burung pemangsa? Dewi Malia Prawiradilaga, ahli burung di Indonesia dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menuturkan, kebakaran yang terjadi di Sumatera jelas berpengaruh terhadap migrasi burung pemangsa.”

Kondisi ini bahkan buruk bagi raptor, termasuk elang saat bermigrasi, karena mereka mengandalkan indra penglihatannya untuk menentukan arah terbang. “Kemungkinan, mereka akan menghindar untuk berkunjung ke Sumatera atau mengalihkan arah terbangnya ke lokasi lain. Meski kemungkinan, masih ada pula yang tetap melakukan perjalanan ke Sumatera seperti tahun sebelumnya,” ujar Dewi.

Ratusan burung migrasi yang terpantau di Bukit Gantole, kawasan Puncak, Bogor, Jawa Barat. Foto: Fransisca Noni
Ratusan burung migrasi yang terpantau di Bukit Gantole, kawasan Puncak, Bogor, Jawa Barat. Foto: Fransisca Noni

Migrasi memang merupakan perjalanan panjang penuh risiko yang harus dihadapi burung pengembara. Tidak hanya wilayah yang jauh, kondisi alam yang tidak bersahabat sebagaimana kebakaran hutan yang menimbulkan asap maupun badai merupakan serangkaian rintangan yang harus dihadapi. “Panduan sinar mentari, letak bintang, atau magnet bumi biasanya akan dijadikan petunjuk arah bagi burung untuk menemukan wilayah idealnya saat migrasi,” ujar Fransisca Noni dari Burung Nusantara.

Bagi burung pemangsa, migrasi merupakan perjalanan rutin yang harus dilakukan tanpa kata lelah. Di wilayah tujuannya, para burung pengembara ini biasanya akan tinggal sekitar setengah tahun. Saat tempat asalnya sudah kembali ke musim panas, tanpa diminta, pastinya mereka akan pulang ke wilayah asalnya.

Untuk pengamatan di Puncak Gantole, kawasan Puncak, Bogor, Jawa Barat, burung migrasi yang terdata sebanyak 3.221 individu. “Meski cuaca mendung dan berangin dalam empat hari ini, namun kehadiran sikep-madu asia, elang-alap cina, dan elang-alap nipon tetap terpantau,” jelas Khaleb Yordan dari Jakarta Birder.

Begitu juga jumlah yang terhitung di Kawasan Lembang, Bandung. “Hingga awal Oktober, jumlah total dari sikep-madu asia, elang-alap cina dan elang-alap nipon yang terdata sekitar 3.234 individu,” terang Budi Hermawan dari Banten Wildlife Photography.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , ,